Mula Harahap


Mula Harahap: Dari ‘Si Kuntjung’ ke Gunung Mulia mula-harahap
Perawakannya khas. Tinggi dan berambut gondrong sebahu. Melihat penampilannya, orang tak akan menduga, jika dunia Mula Harahap adalah buku. Sejak kecil, sosok ini sudah mencintai buku dan berharap suatu saat nanti semua orang akan mudah mengakses buku di mana saja dan terjangkau masyarakat luas.
Mula Harahap memulai karir dengan menulis cerita untuk anak-anak takala penulis Julius R Sjiranamual dan Asmara Nababan menggembalakan majalah anak-anak “Kawanku.” Kemudian dia selama bertahun-tahun menjadi editor penerbit buku BPK Gunung Mulia, sebelum akhirnya mendirikan penerbit buku sendiri yaitu “Komindo Mitra Utama,” sekaligus aktif menjadi Sekertaris IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) sejak tahun 1988 sampai 2006. Meskipun tidak lagi menjabat sebagai Sekertaris IKAPI, aktivitas Mula Harahap bukannya surut, dia tetap memberi waktu dan perhatiannya pada IKAPI, lewat Yayasan Adi Karya, sebuah yayasan di bawah naungan IKAPI yang memberikan award untuk buku-buku terbaik setiap tahun. Kesibukannya yang lain sebagai care taker YOKOMA (Yayasan Komunikasi Massa), sebuah organisasi di bawah naungan Persatuan Gereja Indonesia (PGI), yang di masa lalu sempat jadi tempat mangkal seniman-seniman yang cukup punya nama, seperti Teguh Karya, Enteng Tanamal, Julius R Sjiranamual, Franky Rorimpande dan banyak lagi lainnya.
Menjadi penerbit bukanlah pekerjaan sesederhana yang dianggap banyak orang. Tidak semudah menjadi calon anggota legislatif (caleg). Maka, tak heran begitu kecilnya minat orang untuk menjadi penerbit. Cintanya pada buku membuat Mula tak terpisahkan dari penerbitan, meskipun secara finansial dia lebih banyak menghitung kerugian daripada laba.
Mula Harahap beranggapan penerbit buku itu satu keharusan. “Entah bagaimana pun caranya, penerbit buku ‘Mitra Utama’ harus tetap jalan terus,” kata pria yang lahir di Palangkaraya tahun 1953 ini. Pemikirannya selama aktif menjadi Sekertaris IKAPI selalu mendapat respon dari para penerbit dan pemerhati buku. Antara lain, kritiknya terhadap Undang-Undang Perbukuan, yang ditulisnya secara komperhensif dan dengan sikap yang membela kepentingan penerbit.
Menurutnya Undang Undang Perbukuan justru ikut membuat lesu dunia penerbitan buku itu sendiri. Para penerbit buku jadi kehilangan motivasi, karena sudah terbiasa dapat proyek dan menyerahkan segala kebijakan pada pemerintah. Dalam hal ini, Mula merujuk pada pemerintahan Orde Baru yang disebutnya Otoritarianisme ala Suharto. Dampak lain dari undang-undang perbukuan itu, adalah bubarnya PMGM (Pehimpunan Masyarakat Gemar Membaca).
Pada waktu PMGM itu dibentuk, IKAPI sebagai lembaga yang memayungi berbagai penerbit buku, ikut masuk dalam lingkaran PMGM, karena arah angin politik waktu itu memang ke sana, ditambah lagi keyakinan bahwa PMGM akan dapat menyelesaikan masalah dan menyamakan persepsi antar penerbitan buku. Namun, dalam perjalanannya, perhimpunan itu merasa tidak nyaman lagi. Karena ada usaha dari struktur organisasi PMGM untuk menggolkan Undang-Undang Perbukuan itu di parlemen.

Gagasan
Sebagai sekertaris IKAPI, Mula Harahap mengkritik dan tidak setuju dengan gagasan serta usaha di balik semangat para penggagas Undang-Undang itu. Baginya, hal tersebut hanyalah upaya orang-orang yang tidak memahami dunia penerbitan buku itu sendiri. Dari judul undang-undangnya saja, yang mencantumkah kata “Perbukuan” menggambarkan ketidak seriusan para penggagas undang-undang itu. Katanya, mereka hanya mau bikin proyek undang-undang, karena dunia penerbitan buku belum membutuhkan pengaturan melalui sebuah perundang-undangan. Lagi pula, bukankah membuat undang-undang biasanya atas gagasan dari pemerintah atau parlemen?
Tatkala sekelompok orang yang menyatakan dirinya anti terhadap buku-buku kiri dan melakukan penggeledahan di beberapa toko buku alternatif, Mula Harahap sangat gusar bercampur geram. Dalam tulisannya yang disiarkan oleh sebuah media cetak terbitan Jakarta, dia memprotes tidakan itu dan menegaskan: “Layak tidaknya sebuah buku untuk diedarkan di tengah masyarakat, bukanlah urusan sebuah organisasi massa.”
Mula faham liku-liku distribusi dan buku-buku apa saja yang baru terbit dan menarik di muka bumi ini. Buku referensi, ilmu pegetahuan, juga sastra merupakan kebutuhan sehari-hari Mula Harahap. Selintas, dia menggambarkan keterlibatannya dalam penerjemahan. Setelah melalui beberapa kali koreksi yang rinci, biasanya naskah terjemahan baru bisa naik cetak dan siap di pasarkan. Di toko buku, katanya, buku baru tadi hanya bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu saja, terletak di rak pemajangan buku yang disediakan. Kalau tidak laku, buku itu segera diturunkan oleh pemilik toko dan dikembalikan kepada penerbitnya.
Sialnya, kataMula, jika buku baru tadi laku, ancaman dari pembajak justru telah menanti. Selama ini, buku-buku baru yang laku di pasarlah yang rentan terhadap pembajakan. Dia menjadi sebuah usaha yang lebih besar tingkat kegagalan penjualannya ketimbang untung.
Sebelum jadi penerbit, Mula Harahap menghabiskan waktunya sebagai manajer/editor BPK Gunung Mulia. Di sini, dia bekerja selama 13 tahun. Di sini pula dia bertemu dengan Alfred Simanjuntak, orang yang dikaguminya, karena sangat fasih berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Pada suatu ketika, Mula Harahap di ajak Alfred untuk menghadiri sebuah konferensi internasional di Singapura. Sebelum berangkat, dia mempersiapkan diri dengan miningkatkan kemampuan berbahasa Inggerisnya. Namun, waktu konferensi berlangsung, Mula lebih banyak jadi pendengar. Sebab, ketika dia baru mulai menyimak jalannya diskusi dan mempersiapkan sebuah pertanyaan, Alfred sudah siap di depan forum, dengan bertanya sana-sini dan bicara dalam bahasa Inggeris yang fasih dalam mengungkapkan pikiran-pikirannya. Ketika forum sudah sampai pada sesi ramah-tamah, lagi-lagi Alfred dikelilingi perempuan-perempuan cantik, karena kemampuannya berkomunikasi. Menurut Mula Harahap, peristiwa itu menjadi salah satu motivasinya untuk bisa berkomunikasi dan menggunakan bahasa Inggeris dengan baik.

Ompung, sepasang pengantin
Saat bekerja di Gunung Mulia itu, Mula Harahap menemukan tulang rusuk kirinya atau belahan jiwanya, seorang gadis berdarah Ambon marga Tahapary, yang di kemudian hari melahirkan dua orang anak. Anak perempuannya yang bungsu kini telah memberinya seorang cucu untuk ditimang dimanja. Bercermin pada hatinya, tahulah Mula bahwa sekarang dia sudah menjadi seorang ompung (kakek).
Dalam strata budaya Batak, ompung sangat dihormati dan dianggap sepuh. Apa mau dikata, Mula yang lebih suka dipanggilan abang ini, justru ingin mengembara, layaknya anak muda, memotret kehidupan yang bersahaja dan menuangkannya dalam esai atau cerita pendek. “Apalagi yang mau dilakukan orang seperti saya ini, ya menulis apa yang mau saya tulislah. Sekarang saya juga suka pada apa yang disebut jurnalisme sastra. Saya juga suka menuliskan catatan perjalanan,” ceritanya sambil memperlihatkan salah satu cerita pendek yang dia gubah. Cerita pendek itu sendiri, ditulisnya setelah menjadi penumpang sebuah bus trans Sumatera. Bus yang dia tumpangi berangkat dari sebuah kota kecil Siborong-borong, dekat Tarutung sana, kata Mula Harahap sambil mulai membaca:
Waktu itu, sepasang pengantin baru juga naik dari Siborong-borong. Pasangan ini membawa kasur yang ditaruh di bagasi atas bus. Sang sopir sudah protes pada agen penumpang di stasion bus itu. “Untuk apa bawa kasur ke Jakarta? di Jakarta kan bisa beli kasur! Protes sang sopir. Namun, tak digubris agen bus itu. Pendek kata, tibalah mereka di wilayah Sumatera Barat, pada pagi dini hari. Semua penumpang pada tertidur pulas, tak terkecuali kedua pengantin baru itu. Hanya sopir yang bangun mengendalikan laju bus trans Sumatera itu. Karena di Sumatera Barat itu ada jalur kereta, suatu saat bus itu masuk terowongan yang di atasnya adalah lintasan kereta api. Bus berhasil melintasi terowongan itu dan melanjutkan perjalanan. Sampai beberapa waktu kemudian, sebuah truk di belakang bus trans Sumatera itu, memberi sinyal klakson berkali-kali. Akhirnya sang sopir bus menepikan bus ke pinggir jalan dan memerintahkan sang kernek untuk bergegas menghampiri truk di belakang tadi dan bertanya ada apa? Tak menunggu terlalu lama sang kernek kembali dengan membawa berita, bahwa kasur pengantin yang dinaikkan dari Siborong-borong itu, rupanya jatuh di terowongan tadi. “Bagaimana, apakah kita jemput?” tanya sang kernek pada si sopir. Akh nggak usah lah! Kan sudah kuperingatkan waktu di Siborong-borong, tidak usahlah bawa kasur itu ke Jakarta. Di Jakarta kan banyak yang jual kasur,” katanya sambil meneruskan perjalanan menuju Jakarta. Kedua sejoli pengantin baru itu pun diam saja. Begitulah nukilan salah satu cerita pendek yang ditulis Mula Harahap berlatar sebuah perjalanan sepasang pengantin baru. Getir, juga menggelitik.
Orang yang paling dikaguminya, selain Alfred Simanjuntak, adalah Tulang-nya (paman dari garis marga ibu) sendiri, yaitu Saur Hutabarat dan Manahan Hutabarat (anak amang tua Ibunya). Bahkan, menurut pengakuannya, Manahan Hutabaratlah yang telah banyak memberi masukan padanya di akhir tahun 1960-an. Ketika Mula menemukan sebuah tulisan Manahan Hutabarat yang dimuat majalah “Ragi Buana” dalam tumpukan peti buku-buku milik sepupunya itu, ia tak dapat mengekang rasa ingin tahunya. Maklumlah, waktu itu Mula baru duduk di bangku sekolah menengah pertama.

“Si Kuncung”
Mula sering bertanya-tanya pada sepupunya itu, bagaimana cara mengirimkan tulisan pada sebuah media agar bisa dimuat. Sementara Manahan Hutabarat mencari tempat tinggal menetap, karena akan mengajar di IKIP Medan, maka berpeti-peti buku milik sepupunya itu untuk sementara dititipkan dirumahnya. Betapa gembiranya Mula saat itu, selama berminggu-minggu, setiap pulang sekolah dia menghabiskan waktu untuk membaca buku-buku Manahan Hutabarat, sepupunya itu. Satu persatu buku-buku yang menarik perhatiannya itu dibacanya. Kalau sudah selesai dimasukkanya kembali ke dalam peti dengan rapi. Itulah awal mula Mula Harahap berkenalan dengan buku. Waktu itu juga dia mulai membaca “Si Kuntjung.” Walau jauh, dengan bersemangat dia mengayuh sepeda cukup untuk mendapatkan majalah anak itu. Majalah itu memupuk keinginannya untuk terus membaca, satu upaya atau kegemaran yang konon dianggap orang-orang bijak sebagai pelita hati menuju hidup yang bermartabat.
Waktu Mula dicalonkan kembali menjadi Ketua IKAPI, dia menolak, dengan alasan tidak tertarik dengan struktur kekuasaan di IKAPI. Padahal, waktu itu banyak orang menjagokan dia jadi ketua. “Sekarang waktunya bagi saya untuk berkecimpung dalam kebudayaan dalam pengertian yang lebih luas,” jawabnya ketika kongres IKAPI mendaulatnya awal tahun 2009 lalu.
Sebagai penulis, penerjemah, penerbit buku dan pemerhati budaya, Mula sangat prihatin melihat perkembangan sastra Batak saat ini. Menurutnya, bahasa Batak juga akan hilang. “Bahasa itu seperti hutan tropis, setiap tahun akan ada yang hilang,” katanya menganalisa dengan serius.
Di samping menerbitkan umpasa (perumpamaan) Batak, diperlukan juga sastra Batak yang bisa berdaptasi dengan perkembangan zaman, katanya lebih lanjut. Selama menjadi care taker Yakoma, yang pertama dia lakukan adalah menghidupkan sanggar YAKOMA seperti dulu. Ya, paling tidak seperti Komunitas Utan Kayu bagi anak-anak muda, khususnya pemuda Batak. Tapi, tidak tertutup bagi siapa saja yang mau bergabung, katanya menguraikan.
Dia akan menyediakan hot spot untuk pengemar media on line, bengkel kerja film dokumenter serta workshop penulisan, sebab Mula Harahap belum juga melihat adanya regenerasi kaum muda Kristiani yang muncul sebagai penulis-penulis berbakat, seperti IAIN yang menghasilkan banyak penulis-penulis handal dan tenaganya banyak diserap media cetak. Mula Harahap memang selalu gelisah, dan tak henti dari aktivitas yang satu ke aktivitasnya yang lain. Suatu saat dia sedang berada di luar kota, entah di mana, pekan kemarin dia menuju Bandung dan tadi pagi dia sudah mendarat di Medan. *** Jeffar Lumban Gaol

10 tanggapan untuk “Mula Harahap”

  1. Insan langka seperti Pak Mula Harahap ini harus dilestarikan seperti melestarikan hutan tropis:-) sebab merekalah akar-akar kebudayaan kita. Batangnya boleh digergaji ditebang tetapi selama akarnya masih ada pohon itu masih hidup dan akan bertunas.

    1. Terimakasih amang Jansen H Sinamo atas komentarnya.

      Waktu bertemu dengan amang Mula Harahap, banyak sekali masukkan yang diberikan pada kita: membangun etos batak-lah, membangun mitos batak-lah. Mudah-mudahan ini bisa tercapai.

  2. Hari ini Kamis 16 September 2010 Bapak Mula Harahap telah dipanggil pulang kepada Tuhan Sang Penciptanya, bangso batak kehilangan satu lagi putra terbaiknya. Selamat Jalan Bapak…. Selamat Jalan Sang Penulis… Namamu akan tetap harum di persada Negeri ini…

  3. Selamat JALAN ABANG, smoga KARYA2mu tetap TERTANAM dlm JIWA & PIKIRAN Kami smua, Teriring DOAku, Kiranya TUHAN Menyertai PERJALANANmu Ke SURGA yg BAKA. ~JESUS LOVE U Abang MULA
    AMIN

  4. Saya ketemu web ini waktu mencari berita mengenai Alm.
    Saya pribadi merasa sangat kehilangan sosok beliau. Saya pernah berkeinginan untuk mengikuti workshop mengenai penulisan dimana beliau sebagai pembicara, ternyata belum sempat keinginan itu terkabut, beliau sudah pergi menghadap Bapa. Mungkin cukuplah bagiku belajar dari blog nya yang selama ini selalu kunantikan update-an terbarunya. Selamat Jalan Amang Mula. Semoga suatu saat generasi batak yang cinta dunia sastra, seperti apa yang engkau impikan akan lahir kembali.

  5. Hasil karya dan pemikirannya semoga menjadi kenangan untuk menambah inspirasi dan motivasi bagi generasi muda orang Batak didalam memajukan budaya orang Batak. Selamat jalan amang Mula Harahap,..semoga keluarga cepat terhibur.

Tinggalkan komentar