Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang


Wilmar Simanjorang

Wilmar Eliaser Simandjorang adalah bupati pertama di Samosir. Pria kelahiran 11 Oktober 1954, dia seorang akademisi dan birokrat yang menjadi penjabat Bupati Samosir, dari tahun 2004 hingga 2005. Dia merupakan seorang aktivis lingkungan yang berperan dalam pelestarian Kawasan Danau Toba. Memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat di Desa Sagala, lulus dari sekolah, tahun 1966, lalu melanjutkan pendidikan menengahnya di Sekolah Menengah Pertama Limbong, yang ditamatkannya tahun 1966, dan Sekolah Menengah Atas 1 Pangururan, yang ditamatkannya, tahun 1972. Selepas kelulusannya dari Sekolah Menengah Atas Pangururan, Wilmar merantau ke Jawa Barat dan menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Sosial Politik Universitas Katolik Parahyangan di Bandung.

Karier birokrasinya dimulai kariernya sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada tahun 1979. Dia hanya bekerja sebagai peneliti selama setahun dan mengundurkan diri pada tahun 1980. Pada tahun itu, Wilmar mulai berkarier di dalam Departemen Perindustrian dan ditugaskan sebagai Staf Khusus untuk Sosial Ekonomi di Otorita Pengembangan Proyek Asahan. Wilmar juga bertugas sebagai Penatar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila di Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila untuk Provinsi DKI Jakarta hingga tahun 1989.

Namun setelah empat tahun bekerja di otorita tersebut, Wilmar kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai pegawai di Biro Pengumpulan Data dan Analisa hingga tahun 1990. Setelah itu, Wilmar bekerja sebagai Kepala Balai Latihan Industri Sumatera Bagian Utara di Medan. Wilmar meninggalkan Departemen Perindustrian pada tahun 2000[2] dan pindah ke dalam lingkungan pemerintahan Kabupaten Toba Samosir (yang baru saja dibentuk) sebagai Kepala Badan Pembangunan Daerah (Bappeda). Selama menjadi Kepala Bappeda, salah satu masalah utama yang ditangani oleh Wilmar adalah kekeringan pada sejumlah anak sungai di Pulau Samosir yang berdampak pada sulitnya pengembangan saluran irigasi teknis. Simanjorang lalu merencanakan proyek percontohan pertanian hortikultura dengan sistem irigasi tetes yang pada awalnya diterapkan untuk tanaman bawang.

Alternatif lainnya yang diusulkan oleh Wilmar adalah pemberdayaan cekdam atau bendungan alam (embung) sebagai sumber air.Dalam kapasitasnya sebagai Kepala Bappeda Toba Samosir, Wilmar turut terlibat dalam pemekaran kabupaten tersebut menjadi Kabupaten Samosir. Setelah melalui proses birokrasi dan peninjauan oleh pemerintah pusat dan provinsi, Kabupaten Samosir ditetapkan menjadi kabupaten sendiri pada tanggal 7 Januari 2004. Wilmar ditunjuk oleh Gubernur Sumatra Utara sebagai penjabat Bupati Samosir dan dilantik untuk jabatan tersebut delapan hari setelah kabupaten tersebut diresmikan. Meskipun masa jabatan Wilmar berakhir pada tanggal 15 Januari 2005, Wilmar ditetapkan kembali sebagai penjabat bupati pada tanggal 21 Februari 2005 setelah ia menyatakan bahwa dirinya tidak akan mencalonkan diri dalam Pemilihan Bupati Samosir tahun 2005. Dia menyerahkan jabatannya kepada Mangindar Simbolon, bupati definitif Samosir pertama, pada tanggal 13 September 2005.

Kabupaten Samosir ditetapkan sebagai kabupaten otonom, Wilmar menyatakan bahwa ia menerima dukungan dari kelompok diaspora Samosir. Para perantau tersebut memberikan dukungan moral dan finansial bagi pembangunan di kabupaten tersebut. Wilmar juga melakukan kerja sama dengan 500 perantau Samosir yang hidup di Amerika Serikat yang akan membantu pemerintah kabupaten Samosir dalam menyalurkan pemuda Samosir yang dianggap berprestasi untuk belajar di Amerika Serikat. Salah satu hutan terbesar yang terletak di Samosir adalah Hutan Tele.

Selama menjadi penjabat bupati, Wilmar acap kali menerima saran dari rekan-rekannya agar menjual pohon di hutan tersebut untuk kepentingan industri, tetapi ditolaknya. Wilmar juga pernah disogok uang tiga miliar rupiah oleh seorang pemilik perusahaan yang menyatakan niatnya untuk mengolah hutan tersebut dan mengelola peternakan domba. Wilmar juga menolak pengusaha tersebut karena mengetahui bahwa pengusaha tersebut akan mengeksploitasi hutan tersebut. Ia berpendapat bahwa pohon merupakan komoditas yang tak ternilai di Samosir dan keuntungan ekonomi yang didapat melalui eksploitasi tidak akan mengganti kerugian yang timbul akibat pohon dan hewan yang hilang.

Wilmar aktif terlibat dalam pelestarian Danau Toba. Wilmar juga turut terlibat sebagai anggota tim penilai (analis) mengenai dampak lingkungan dari PT AJS Agro Mulya Lestari yang mengusahakan agrobisnis dan tanaman hias di Hutan Tele yang juga terletak di dekat Danau Toba. Wilmar menilai bahwa perusahaan tersebut tidak paham mengenai syarat peraturan lingkungan dan keilmuan. Dia menerima sejumlah penghargaan melalui aktivitasnya dalam bidang lingkungan. Pertama, penghargaan Wana Lestari yang diterimanya pada bulan Agustus 2011 atas penanaman pohon sengon di Desa Huta Ginjang. Penghargaan kedua diterima Wilmar pada bulan Desember pada tahun yang sama, yakni Danau Toba Award dari Badan Pengelolaan Ekosistem dan Kawasan Danau Toba karena dianggap berjasa dalam penyelamatan lingkungan di Parapat. Namun, penghargaannya yang terakhir dikembalikan pada September 2013 karena menganggap bahwa penghargaan tersebut bersifat seremonial saja dan tidak disertai komitmen pemerintah untuk pelestarian Danau Toba. Pengembalian penghargaan tersebut didukung oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia yang juga meminta pemerintah untuk tidak perlu malu dan presiden agar langsung menerima penghargaan tersebut bersama dengan anggota kabinet.

Bahkan, 16 Mei 2013, Wilmar menerima ancaman pembunuhan dari seorang pria dengan marga Hutasoit yang diduga merupakan karyawan Gorga Duma Sari, perusahaan pengelola Hutan Tele. Pada saat itu, Wilmar bersama dengan anaknya Laurence Ricardo Simanjorang sedang merekam truk yang keluar masuk dari Hutan Tele dengan membawa kayu. Sebelumnya, perusahaan Gorga Duma Sari telah dilarang oleh Pemerintah Samosir untuk menebang dan mengambil kayu dari hutan alam Tele dan menghentikan operasional perusahaan tersebut. Ketika sedang merekam, pria bermarga Hutasoit tersebut keluar dari mobil Escudo yang terletak di belakang sebuah truk. Pria tersebut mengancam akan membunuh Wilmar dengan kelewang yang dibawanya jika ia tidak menyerahkan rekaman tersebut. Setelah rekamannya dirampas, Wilmar dan anaknya sempat berlindung di rumah warga sebelum melaporkan kasusnya ke Polisi Resor Samosir bersama sejumlah aktivis lingkungan lainnya dan warga setempat.

Tahun 2016, Wilmar ditunjuk sebagai Manager Area Geopark Kaldera Danau Toba oleh Bupati Rapidin Simbolon. Selama periode awal pekerjaannya di geopark tersebut, Wilmar menilai bahwa pemerintah Indonesia tidak serius berupaya untuk menjadikan Geopark Kaldera Danau Toba sebagai salah satu Global Geopark UNESCO. Wilmar menunjukkan bahwa pemerintah juga belum membayar gaji pengelola geopark dan kenyataan bahwa pemerintah belum memaparkan pola induk pengembangan geopark tersebut.[13] Wilmar beberapa kali mengkritik dan keluar dari rapat-rapat yang diadakan oleh pemerintah mengenai Geopark Kaldera Danau Toba.

Setelah Geopark Kaldera Danau Toba gagal diusulkan sebagai salah satu Global Geopark UNESCO pada tahun 2016, Wilmar menyarankan kepada pemerintah agar memperhatikan pengembangan Geopark Kaldera Danau Toba agar teori yang diusulkan oleh Badan Pengelola Geopark Kaldera Danau Toba dapat diterapkan. Geopark Kaldera Danau Toba pun menjadi Global Geopark UNESCO, tahun 2019 dan namanya berubah menjadi Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark. Wilmar kembali duduk dalam badan pengelola tersebut sebagai Koordinator Bidang Edukasi dan Penelitian Pengembangan. Struktur dari badan pengelola tersebut menerima kritikan karena didominasi oleh birokrat dan unsur pemerintahan alih-alih kalangan profesional yang bebas dari kepentingan politik.

Pada bulan Januari 2019, Wilmar diduga menerima bantuan dari Toba Pulp Lestari (TPL), sebuah perusahaan yang dikritik oleh pemerhati lingkungan karena perusakan hutan di Danau Toba. Wilmar menolak tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa ia hanya mengunjungi TPL untuk mengamati pembibitan haminjon dan membeli bibit dari TPL selaku penyedia bibit di lingkungan tersebut. Wilmar menyatakan akan memenjarakan siapa pun yang menuduhnya menerima bantuan dari TPL.

Juni 2020, sempat diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Negeri (Kejari) Samosir sebagai saksi terkait dengan kasus pengalihan Hutan Tele menjadi areal permukiman dan pertanian. Menurut Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Samosir Paul M. Meliala, Wilmar diperiksa karena Wilmar paham tentang sejarah areal penggunaan lahan (APL) di Hutan Tele sebagai bupati pertama Samosir. Paul menyalahkan Wilmar karena Wilmar tidak peka terhadap persoalan seputar APL di Hutan Tele. Wilmar menempuh pendidikan tinggi lebih lanjut di Fakultas Administrasi Bisnis dan Ekonomi di Scuola Superiore Enrico Mattei di Milan, Italia dan Fakultas Penerapan Rencana dan Pembangunan di The Institute of Studies For Economic Development di Napoli, Italia. Wilmar ditawarkan gelar doktor honoris causa selama masa jabatannya sebagai penjabat bupati, tetapi ia menolaknya.

Setelah mengantar Kabupaten Samosir, dia mengundurkan diri dari jabatan bupati, Wilmar menjadi instruktur di Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Wilmar kembali menempuh pendidik an dalam bidang teologi di IAKN Tarutung pada tahun 2016 dan diwisuda pada tahun 2020 dengan predikat cum laude. Wilmar lalu mulai mengajar di institut tersebut. Wilmar menikah dengan Nurhaida Simarmata pada tanggal 19 November 1981. Pasangan tersebut memiliki tiga anak laki-laki yang bernama Christian Simanjorang, Laurence Ricardo Simanjorang, dan Vincent Simanjorang, dan satu anak perempuan yang bernama Helda Febrosa.

Budi P. Sinambela



Sejak Lembaga Adat Budaya Batak (LABB) berdiri 5 Desember 2018, tahun lalu, terus berupaya mewujudkan visinya Mewujudkan Bangso Batak Yang Bernas Teratas. Ketua Umum LABB Budi Parlindungan Sinambela demikianlah nama lengkap pria kelahiran Jakarta, 8 Mei 1964, terus mengajak seluruh pengurus untuk benar-benar bisa mewujudkan masyarakat Batak terus naik level. Putra pertama dua bersaudara dari pasangan Prof. DR. K.PT. Sinambela Kusumonagoro dengan Damaris boru Tampubolon menyadari betul, bahwa kehadiran LABB sangat penting dan strategis dalam mengembangkan pelayanan pada masyarakat Batak di kota maupun di kampung halaman.

Walau lahir dan besar di Jakarta, Budi merasakan suasana batin sebagai orang Batak tulen, yang otentik peduli pada budaya. Betapa tidak pesan dari bapaknya, Prof. DR. K.PT. Sinambela Kusumonagoro sejak kecil dirinya secara alamiah dituntun agar agar menjadi orang yang peduli dan memperhatikan budaya Batak. Ditanya apa yang membuat dirinya yang lahir dan besar di Jakarta begitu peduli budaya Batak? Nun jauh sebelum bapaknya mendirikan Universitas Mpu Tantular, sejak awal sudah menunjukkan kepeduliannya pada masyarakat Batak. “Kebetulan saya suka sejarah, suka kebudayaan dan saya selalu menikmati hal itu. Tentu itu semua bahwa jika memang ada kesempatan untuk memberi warna untuk budaya dan masyarakat Batak, mengapa tidak?” Demikian alasannya.

Karenanya, sebagai Ketua Umum LABB Budi berharap lembaga ini kelak menjadi lembaga yang sangat dibutuhkan dan konsen memberikan perhatian pada kaum muda Batak. “Lembaga ini harus menjadi wadah pemersatu untuk masyarakat Batak. Selain sebagai ketua LABB, saya sebagai Ketua Yayasan Budi Murni Jakarta yang menaungi Universitas Mpu Tantular dan sekolah-sekolah umum SD sampai SMK dengan tulus memberikan fasilitas yang bisa diberikan yayasan untuk membangun masyarakat Batak,” jelasnya lagi.

Ditanya, bagaimana suasana batinnya sebagai orang yang lahir dan besar di Jakarta begitu peduli budaya Batak? “Iya, itu tadi bagaimana kita menghargai budaya kita. Jika saya ke kampung halaman, saya kagum dengan alam yang begitu indah diberikan Tuhan kepada orang Batak. Artinya, bukankah itu kesempatan untuk kita mengucap syukur kepada Tuhan bahwa alam di tanah Batak itu sungguh indah. Maka benarlah pemerintah pusat memberikan perhatian besar untuk kemajuan pariwisata di tanah Batak,” ujarnya lagi.

Walau sesungguhnya tak pernah spesifik pesan ayahnya kepada dirinya, dia menangkap kerinduan ayahnya untuk memberikan kepedulian pada budaya Batak. “Dari tata laku yang diteladankan bapak tersirat agar kami anak-anaknya juga memperhatikan orang Batak,” ujar abang dari Santo Mulia Parulian Sinambela, ini. Dia menambahkan, bapaknya adalah sosok yang peduli, selalu berupaya agar kami anak-anaknya hidup secara lebih baik dari waktu ke waktu. Karena itu, sejak kecil di mana pun bapak berkerja, termasuk ketika bekerja di Hotel Indonesia saya diajak ke kantornya,” kenangnya.

Perhatian bapaknya, Prof. DR. K.PT. Sinambela Kusumonagoro pada budaya dan masyarakat Batak memang tak kepalang. Itu sebabnya bagi Budi sendiri, selalu mengingat pesan bapaknya yang selalu menekankan agar menghormati leluhur. “Kita mesti menyadari jika kita ada sampai saat ini tak lepas dari peran dan pembuka jalan, dari leluhur hingga ke  orangtua kandung yang menghadirkan kita ke dunia,” menjelaskan betapa pentingnya kesadaran dan mengetahui asal-usul.

Bekerja sambil belajar

Apa yang dilakukan Budi sebagai orang yang diberikan limpahan tanggung-jawab besar untuk mengurusi legacy bapaknya. Bapaknya memang seorang entrepreneur sejati. Baginya, bapaknya adalah guru dalam bisnis dan sebagai panutan hidup. Wawasannya dalam berbisnis selalu mengarahkan pada pengembangan usaha agar lebih maju dan lebih maju lagi. Tak heran Budi merasakan bahwa kehebatan bapaknya diakuinya dalam hal pengembangan bisnis luar biasa.

“Bapak selalu mengajarkan learning by doing, dalam arti belajarlah ketika dia memberi kesempatan pada kami untuk mengerjakan sesuatu. Cara-cara pengajaran yang seperti ini tetap bapak terapkan kepada kami,” tambah seorang pengusaha. Artinya, Budi memetik ajaran dari bapaknya, bahwa belajar dengan melakukan mesti beriringan. “Kita melakukan sesuatu yang belum kita ketahui sebelumnya dan karena kita melakukannya kita jadi tahu, itu yang disebut learning by doing.”

Budi menambahkan, bapaknya sebagai inspirator selalu menekankan kiat dalam kerja, yaitu proses pembelajaran, belajar sembari melakukannya. “Baik secara ide maupun secara etos kerja, bapak adalah panutan dalam berbisnis. Dia adalah orang yang sangat memegang arti sebuah prinsip. Karena itu, kalau dia sudah memutuskan sesuatu bisnisnya tak akan goyah lagi. Itulah prinsip yang selalu diajarkan bapak kepada saya adalah kalau kerja harus bagus dan harus tepat waktu. Saya belajar banyak tentang arti sebuah nilai kehidupan,” ujarnya, menerangkan ajaran yang diberi bapaknya.

Tak kehilangan esensi hidup

Bagi Budi, wujud kepedulian mengangkat harkat martabat masyarakat Batak tentu dengan mengangkat kualitas sumber daya manusia yang unggul. Sudah tentu, keunggulan sumber daya manusia itu didapat dan tersemai dari lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang mesti melahirkan orang-orang yang unggul oleh karena tercerahkan dari pendidikan. Karena itu pemberian beasiswa kepada mahasiswa yang berprestasi, bagi keluarga ekonomi lemah, keluarga yang tak mampu membiaya kuliah.

“Satu contoh wujud dari kepedulian, apa yang kami lakukan adalah jika ada mahasiswa dari keluarga Batak ingin kuliah benar-benar tak bisa memberi beasiswa kuliah, kami dari pihak yayasan bersedia untuk itu, paling tidak meringankan dengan bentuk beasiswa. Sudah tentu ini membantu dan memberikan kemudahan bagi mereka yang ingin kuliah,” ujar suami dari Dewi Christina boru Sitorus dan ayah empat putra; Brian Dapat Mangatur Sinambela, Maximilian Hosea Roger Sinambela, Darryl Ezra Rockywik Sinambela dan Humphrey Jaya Ruydith Sinambela.

“Dunia yang kita tinggali terus bergerak. Inilah dinamika yang terjadi. Kita tak hadir di ruang hampa, tetapi dalam kondisi dunia yang terus bergerak. Yang tak bergerak akan tertinggal. Kenyataan, kita ada dan bergerak di dunia yang terus dinamis bergerak. Karenanya, setiap kita dituntut mengambil peran untuk tetap berinteraksi di realitas dunia yang bergerak dengan kompleks dan majemuk ini. Dengan sikap adaptif di setiap keadaan, membuat kita mandiri dan bisa survival dalam setiap situasi yang ada. Maka, tak kalah kesulitan menyengat, teruslah belajar untuk eksis di keadaan dunia bergerak.”

Saat ditanya pendapatnya bagaimana beradaptasi dengan lingkungan saat ini? Pesan saya kita tak boleh lupa jatidiri kita sebagai orang Batak, bahwa kita sekali lagi ingat pesan nenek moyang dan selalu ingat leluhur kita. Karena itu, kita tonjolkan yang baik. “Bagi saya jika seorang manusia makin tinggi pendidikannya sudah tentu akan makin lebih mencari jati dirinya. Saya sangat percaya makin sukses seseorang dia akan semakin mencari asal usulnya. Karena manusia yang tercerahkan tak akan mau kehilangan esensi hidupnya,” ujar Direktur PT Mulya Jaya ini.

Dirinya selalu merendah. Dia mengingat keteladanan yang ditunjukkan sikap Raja dari Sisingamaraja XII dari marga Sinambela. “Saya mengikuti di marga kami tak boleh ada yang sombong. Pengalaman saya sebagai keturunan Sinambela, saya lihat dalam keturunan kami tak boleh sombong, kalau sombong akan cepat-cepat terjatuh. Saya melihat kalau ada yang sombong akan cepat terjatuh. Saya takut sekali, kalau melihat di marga kami Sinambela ada yang sombong saya melihat akan terjatuh,” jelasnya lagi. Dan memang, jika dihubungkan dalam kehidupan ini, bahwa soal merendahkan hati itu sangat penting dan kiat untuk bisa eksis di kehidupan. Lalu, pesannya bagi anak-anak muda Batak juga harus militan terhadap budaya Batak. Jangan tercerabut dari akar budaya, agar tak kehilangan makna di kehidupan. (Hojot Marluga)

Prof. Dr. A.O.B. Situmorang


ensiklopediatokohbatak- Jika bicara Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) atau dahulu dikenal dengan nama PPPG Pertanian yang pendiriannya sudah ada sejak tahun 1974 dengan dibentuknya Proyek Penataran Guru. Langkah berikutnya dilakukan kerjasama dengan Institut pertanian Bogor (IPB) mulai tahun 1976.

Tahun 1984 ditandatangani LOAN ADB No. 675-INO Port A, antara Pemerintah Indonesia dengan tim ADB, sebagai realisasi bantuan pinjaman ADB melalui proyek PPKT IV Jakarta. Maka jika membicarakan sejarahnya, kita tak boleh lupa peran Prof. Dr. AOB Situmorang yang saat itu Direktur Dikmenjur.

Reputasi pengalamannya banyak. Dirinya pernah sebagai Kepala Biro Administrasi. diera Prof. Ani Abbas Manopo, SH, rektor pertama IKIP Medan. Prof. Dr. A.O.B. Situmorang pernah menjabat sebagai Direktur Program Pascasarjana IKIP Jakarta (1984-1987)

Prof. Dr. A.O.B. Situmorang menata karier di ranah pendidikan. Perannya, pada akhir Pelita III terdapat 274 SLTP Kejuruan yang terdiri atas 194 ST dan 80 SKKP, serta 559 SLTA Kejuruan). Merehabilitasi 64 SLTP Kejuruan Negeri dan mengkonsolidasikan 210 sekolah jenis lainnya. Mengembangkan SKK (Sekolah Keterampilan Kejuruan) 4 tahun di 10 lokasi.

Dia juga melakukan penyesuaian 11 jurusan di SLTP Kejuruan dan 61 jurusan di SLTA Kejuruan. Mengembangkan SMK yang membuka program kejuruan teknik dan non-teknik dibawah satu atap, yaitu SMK Kartini Batam, disusul dengan STM Manna di Bengkulu dan STM Dumai. Mengembangkan “pola asuh” dalam pendirian sekolah kejuruan yang melibatkan industri dan pemerintah daerah. Menjabarkan dan melaksanakan Kurikulum 1984 SMK yang menghasilkan 97 program studi. Meningkatkan daya tampung 145 STM Negeri, 277 SMEAN, 97 SMKK/SMTK, dan menambah fasilitas 23 SMT Pertanian.

Selain itu, dia juga mengemban tugas pembangunan PPPG Teknologi Medan dan Malang, PPPG Kejuruan di Jakarta, PPPG Kesenian di Yogyakarta, dan PPPG Pertanian di Cianjur. Mengangkat 10.000 guru baru untuk sekolah kejuruan, dan mengembangkan “Pola Mentawai” dalam rekrutmen calon guru dan penempatannya.  Pengalaman Prof. Dr. A.O.B. Situmorang pernah menjabat sebagai pengawas sekolah hingga kemudian menjadi Direktur Program Pascasarjana IKIP Jakarta.

Ronald Simanjuntak, S.H., M.H.


Hidup Setia Melayani, Paham BerkatNya dan Bukan Berkat

Hidup ini adalah kesempatan dan pilihan. Maka kesempatan dan pilihan itu bagaimana menjalani seturut rencanaNya. Paling itulah yang bisa meresume seluruh perbincangan dengan Ronald Simanjuntak SH MH. Pria kelahiran Desa Adian Padang, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, 26 Oktober 1960. Anak kedua dari sembilan bersaudara. Delapan laki-laki dan satu perempuan. Anak dari Guru Malon Simanjuntak dan Erika boru Sianipar. Ayahnya seorang kepala sekolah, selalu mendidik mereka berpengharapan dan selalu berjuang.

“Saya masih ingat nasihat ayah, harus saling menopang di antara kakak-adik. Jika anak pertama sudah  selesai kuliah dan mendapat pekerjaan, membantu adik-adiknya, demikian selanjutnya,” kisahnya. Tenyata, dengan cara itulah kakak-beradik sembilan bersaudara ini bisa menempuh sarjana. “Gaji orangtua tak cukup. Tetapi kami bisa semua sarjana karena beliau mendidik untuk saling peduli, saling membantu.”

Masih kanak-kanak, Ronald anak cerdas dan agresif. Sejak sekolah dasar dirinya selalu mendapat rangking kelas. Tetapi, itu tadi, karena agresif, menjelang remaja di SMP sampai SMA, ada perubahan dalam dirinya. Dia sering bolos sekolah. SMA saja lima kali pindah sekolah. Orangtuanya tak mau pendidikannya gagal, maka untuk mengatasinya, Ronald dipindah-pindahkan sekolah. Ada nasihat yang tak pernah lekang di benaknya pesan ayahnya, bahwa membimbing anak-anak seperti mengikuti aliran sungai. Asal terus diikuti, maka satu saat dia akan sampai kepada tujuannya. Demikianlah ayahnya membimbing. “Beliau selalu sabar untuk mengarahkan saya termasuk mesti pindah-pindah sekolah,” terangnya.

Demikianlah kegigihan dan kesabaran memberi hasil terbaik. Setelah pindah-pindah sekolah, akhirnya dia menamatkan sekolah dari SMA Kampus FKIP Nommensen, Pematang Siantar. Di sekolah ini dia mengalami perubahan. Dirinya mulai tersadarkan, memahami tak ada yang dapat merubah dirinya, kalau bukan dari dirinya sendiri yang merubahnya. “Tak ada seseorang pintar jika bukan dirinya yang mengusahakannya pintar.” Selulus sekolah menengah atas, dia melanjutkan kuliah ke Bandung.

Disana dia mendapat beasiswa dari DIKTI. Kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Bandung, dan menjadi mahasiswa teladan. Padahal, sembari kuliah dia juga bekerja, mencari tambahan dana, karena kiriman orangtuanya tak cukup. Jadilah Ronald sampai tiga tahun menjadi office boy. Ritmenya, pagi kerja dan siang hari kuliah. Dia dipercayakan membersihkan ruangan praktek dokter. “Kerjanya mulai pukul enam pagi, hingga pukul 12 siang. Siangnya kuliah sampai sore.” Di sela-sela waktu yang ada, jika tak bekerja dan kuliah, dia menyempatkan diri membaca ke perpustakaan.

Mengapa ke perpustakaan? “Saya tak mampu membeli buku. Saya bukan saja anggota perpustakaan di kampus, tetapi anggota perpustakaan di berbagai tempat. Anggota perpustakaan milik Pemda, British Council Library Bandung, dan termasuk rajin ke toko buku Gramedia di Jalan Merdeka, Bandung. Tentu, semangat belajar itu diasah melihat kenyataan hidup.” Dia manambahkan, “Saya melihat hidup di kampung itu sangat memprihatinkan. Saya tak mau hidup di kampung, maka harus berusaha maksimal untuk bisa survive di kota.”

Kegigihan dan usaha yang maksimal tersebut dipetiknya. Dia lulus dengan lumayan cepat dengan nilai memuaskan, lalu pindah ke Jakarta melamar kerja. Di sana diterima di perusahaan asing. Salary-nya di atas gaji standar, dan mendapat fasilitas. Luarbiasanya, baru tiga bulan bekerja di perusahaan tersebut, bosnya memberikan fasilitas, mobil. Bukan hanya itu, dirinya kerap mendapat penugasan perusahaan untuk mengikuti training ke luar negeri.  Sayang, di perusahaan asing itu dia hanya bekerja tiga tahun, sebelum kemudian membuka usaha dengan rekan-rekannya. Kariernya terakhir sebagai General Manager pada PT Yulisem Jaya Raya (1987-1990). Saat itu dirinya sudah menikah dengan gadis pujaannya yang dulu satu sekolah di Pematang Siantar dan kuliah di Bandung.

Lalu, mengapa keluar dari perusahaan? Dia ingin gaji lebih besar lagi. Saat itu teman-temannya mengajak buka usaha. Saat itu belum matang benar membuat keputusan, tetapi apa hendak dikata, perusahaan itu ditinggalkannya karena tertantang mendapatkan pendapatan lebih. Kami bersepakat mendirikan perusahaan dengan modal patungan. Tak berapa lama usaha itu bangkrut. Bersamaan waktu itu, dia ikut bisnis valuta asing. Usaha itu pun juga kolaps. Disinilah pengalaman gagal pertama dialaminya. Mobilnya disita. Tabungannya terkuras.

Namun hidup harus dijalankan terus. Tak boleh meratapi apalagi menyesali apa yang sudah terjadi. Baginya, biarlah kesalahan itu memberi pemaknaan baru, bahwa dari kegagalan ada pengetahuan baru. Dia memetik hikmat, bahwa hidup harus ditata dengan baik. Waktu harus diisi dengan sebaiknya. Itulah hidup, karena terlalu asik mengejar uang, lupa untuk pelayanan.

Di kemudian hari sebagai orang yang makin matang dari segi pengalaman dan kematangan usia, Ronald menemukan bahwa hidup perlu keseimbangan. Bekerja dan melayani. Hidup yang kita hidupi harus juga melayani. Tak seluruh hari-hari disibukkan untuk mengejar fulus. Bahwa, rezeki yang diterima tak semua diteguk sendiri. “Saya melupakan hal-hal sifatnya melayani. Saya tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia. Hidup dalam dunia yang tak baik.”

Sebenarnya  saat masih aktif bekerja dia sudah aktif untuk menangani beberapa perkara hukum. Walau waktu itu belum mendapat kartu izin menjadi pengacara. Tahun 1993, dia menetapkan diri menjadi pengacara, namun baru di tahun 1994, dia dilantik menjadi advokat oleh Menteri Kehakiman berdasarkan rekomendasi Ketua Mahkamah Agung.

Begitu ditabalkan menjadi pengacara, Ronald membuka kantor sendiri dengan nama Ronald & Associate di Jalan Veteran nomor 2, Jakarta Pusat. Dari Jalan Veteran pindah sewa kantor di Tomang Raya No. 25, Jakarta Barat, dengan dibantu dua pengacara. Dari sana membeli ruko untuk kantor di bilangan Jatinegara. Kemudian hari membeli kantor lagi di MT Haryono Square, dan sampai sekarang dia berkantor.

Di perjalanannya sebagai pengacara di kemudian hari kuliah lagi untuk mendapatkan Master Hukum dari Universitas Pelita Harapan. Sejak menjadi pengacara dirinya aktif mengikuti berbagai Pendidikan Instruktur Penyuluhan Hukum. Aktif juga di organisasi pengacara. Pernah menjadi Pengurus DPC IKADIN Jakarta Barat, DEPINAS SOKSI bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan DPP IKADIN bagian Hubungan Luar Negeri. Sekarang pun di PERADI yang terfaksi di ketiga organ, dirinya tetap diminta sebagai penyuluh untuk calon-calon pengacara muda.

Selain itu, dia juga aktif di organisasi bisnis. Pernah Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Perdagangan Bursa Komoditi (1989-1992). Dan pernah Managing Director PT Mita Yasa Investama (1991-2003). Aktif advokat sembari Managing Director PT Karimun Aromatics yang bergerak di bidang Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik CPO dari tahun 2007 hingga sekarang. “Saya merasakan dalam bisnis bahwa latar belakang saya di bidang hukum itu sangat mendukung,” ujarnya.

Demi cinta single parent, Ronald gigih bertahan dalam prinsip oleh nilai-nilai yang ditanamkan orangtua dan dorongan atas cinta sejatinya. Ronald menikah dengan Rosmaida boru Girsang setelah berteman hampir sembilan tahun, menikah tahun 1988. “Saya sebantaran dengan istri. Namun usia kami berbeda. Saya lebih tua. Sebab, itu tadi, saya lima kali pindah-pindah sekolah di SMA,” kisahnya.

Dari pernikahan tersebut Tuhan karuniakan tiga anak. Anak pertama, Paul. Lahir tahun 1989. Lulus S1 dari UGM. Lalu mendapat gelar S2 dari dua universitas ternama; Universitas Indonesia dan Universitas Leiden, Belanda. Anak kedua, seorang perempuan. Lahir tahun 1991. Namanya Hana Chovicha boru Simanjuntak. Lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Sekarang hendak menempuh pendidikan spesialis sembari asisten dosen, dan bekerja di klinik kecantikan di bilangan Kepala Gading, Jakarta Utara. Anak ketiga perempuan lahir tahun 2004. Namanya Kerenhapuch boru Simanjuntak. Saat ini menempuh SMP di sekolah internasional SMP Brighton Cibubur, Jakarta Timur.

“Istri saya itu adalah seorang yang sangat sederhana. Tak banyak menuntut dan sangat percaya dengan suami. Isu apa pun tentang saya di luaran sana dia tak percaya. Selalu percaya suaminya, dan demikian saya kepadanya,” kisahnya. “Kami mengelola keluarga dengan komitmen, saling percaya. Sepanjang kami membina mahligai keluarga tak pernah bertengkar,” ujarnya.

Di tahun 2007 istrinya yang sangat dikasihinya dimuliakan Tuhan. Mereka baru tahu penyakit istrinya, kanker hati. Penyakit itu baru diketahui tiga bulan sebelum meninggal. Almarhumah istrinya pun sama sekali tak pernah mengeluhkan, tak merasakan apa-apa tentang penyakitnya. Sebagai suami dirinya tak larut dengan kesedihan, dia tetap usahakan pengobatan terbaik. Dirinya berusaha membawa ke rumah sakit terbaik, bahkan sampai berbulan dirawat di Penang, Malaysia.

Sempat lima kali menjalani kemoterapy. Dia terus setia mendampingi istrinya. Namun rencana Tuhan berbeda, istrinya meninggal setelah empat bulan berjuang dalam pengobatan. “Saat itu perjuangan dan pergumulan hidup sangat berat. Anak saya yang pertama, Paul waktu itu masih baru lulus SMA dan hendak masuk ke UGM. Putri saya kedua, baru SMP, dan Karen si bontot masih usia bayi.”

Namun, dia memilih tak menikah. Sepeninggalan istrinya, dia menutuskan single parent, mengasuh ketiga anaknya dengan sendirian, tanpa pasangan. Sebab dia merasakan getaran dari batin istrinya saat-saat sebelum dijemput ajal. Selama dalam perawatan di Penang full satu bulan dialah yang menjaganya, sebagai suami-istri, dia merasakan bahwa istrinya sangat berharap dirinya bisa menuntaskan tanggung-jawab membesarkan dan menyekolahkan anak-anak seorang diri. Dari interaksi batin itu dia memahami kemauan istrinya. Tentu istrinya tak pernah mengatakan, melarangnya menikah jika dirinya sudah meninggal. Namun dari naluriah interaksi itu dia merasakan ada pesan tersirat.

“Bahwa wujud cinta dengan istri harus saya buktikan. Saya menutuskan tak menikah melihat putri saya yang masih bayi, Karen. Usianya masih dua setengah tahun. Saya bayangkan, kalau saya menikah, bagaimana nasib anak-anak, terutama Karen, saya kira pasti terganggu psikologisnya. Saya tak mau batinnya terluka,” jelasnya memberi alasan tak menikah. Walau dari dalil dalam Alkitab bahwa yang diceraikan oleh kematian diperkenankan menikah kembali. Hanya, Alkitab tegas, tak bisa menikah lagi orang yang cerai hidup. Tetapi dia memutuskan tak menikah walau ada peluang menikah. Bahkan, dirinya sempat dibujuk keluarga untuk menikah lagi, alasan mereka tak baik laki-lagi seorang diri. Apa jawabnya?

“Saya jawab. Iya, ada benarnya. Saya merasakan sebagai duda hidup di rumah kaca. Selalu dimata-matai dan diperhatikan. Baju lusuh disebutlah kasihan karena tak ada yang merawat. Kalau berdandan parlente dikatakan genit atau ganjen. Serba salah. Maka jawaban saya untuk saran menikah, tak baik laki-laki seorang diri, bahwa saya bukan lagi sendiri. Saya dihadirkan tiga orang anak untuk sahabat saya,” ujarnya. Tentu, banyak faktor yang membuatnya tak menikah. “Tentu, sebagai laki-laki normal saya bukan munafik. Masih membutuhkan hal-hal kebutuhan biologis. Tetapi, semuanya saya perhitungkan matang. Apalagi untuk menemukan karakter seperti almarhumah jelas tak mungkin. Dan mencari yang sepadan baik dari pikiran dan sikap, apalagi sangat mencintai anak-anak sudah jelas sangat susah,” terangnya lagi.

Memang, Alkitab menyebut, lebih baik hidup sendiri, tetapi jika engkau tak mampu bertarak hendaklah menikah. Konsekwensi logis dia pilih tak menikah tentu juga mesti mau merima berbagai kerepontan mengurus rumah tangga, dan menghindari godaan. Dia menggambil peran istri sekaligus ayah. “Di awal-awal ditinggal istri, saya masih harus tidur dengan putri saya yang paling kecil beberapa tahun. Tiap malam sebelum istirahat saya harus siapkan di kamar susu bayi termasuk termos. Saya harus bangun dua kali tiap malam untuk membuat susu. Belum lagi terbangun mengganti pampers.”

Tak mau putri bungsunya ini terlantar. Di hari-hari jadwal untuk imunisasi bayi, dia sendiri yang pergi ke rumah sakit. “Saya tak mau dia telantar. Kurang mendapat kasih sayang. Kurang asupan vitamin.” Ada hal yang selalu dipikirkan bahwa batinnya dengan batin anaknya harus terkoneksi. “Ada satu hal yang saya sadari bahwa hubungan saya dengan anak-anak saya. Psikologis saya harus bisa masuk ke psikologis mereka.”

Oleh karena perhatiannya lebih pada Karen, satu waktu anaknya protes kepadanya menyebut, bahwa sebagai bapak dirinya kurang adil. Sebab, ketika anak pertama dan anak kedua di masa kanak-kanak, sering dimarahi kalau salah, sementara Karen, walau salah tak pernah dimarahi. Apa jawabannya? “Saya katakan kepada kedua anak saya. Bapa punya cara sendiri mendidik adik kalian. Saya mamanya dan saya papanya. Sedangkan kalian, dulu, masih ada mama. Kalau papa marah kalian masih dibela mama,” ujarnya menjelaskan.

Tentu, dia juga punya cara mendidik anak perempuan dibanding dengan Paul, anak laki-laki satu-satunya. Paul saat SMP, pernah dilibasnya karena bolos sekolah. Dirotannya hingga merah. Waktu itu istrinya masih hidup. Dia suruh istrinya masuk ke kamar. “Kau masuk ke kamar. Paul saya ajar dulu. Nanti kalau kau lihat, kau melarangnya. Begitu istri masuk ke kamar saya tanya Paul, dijawab iya, saya rotan untuk mengingatkannya agar tak mengulanginya.” Sementara kepada kedua anak gadisnya dia tak pernah pukul. Kalau marah tentu pernah jika mereka melakukan kesalahan.

Kepada anaknya, terutama Paul selalu berpesan untuk tetap tabah, jangan cengeng dan tak boleh sombong. “Anak laki-laki tak boleh menangis. Tak boleh mudah menyerah, mesti berjuang. Tak boleh mudah putus asa,” kalimat itu kerap didengung-dengungkannya. Sekarang,  dirinya merasakan manfaatnya. Paul dan Hana sudah bekerja, mandiri dan dewasa dalam bersikap. Paul bisa menolongnya di bisnis dan advokat. Hana bisa membantu menjaga kesehatannya sebagai seorang dokter. Jika melihat hasilnya di taraf ini dia bisa katakan, “Untung saya memilih tak menikah. Apa jadinya seandainya saya menikah, tak mungkin dekat dengan anak-anak.”

Sedia melayani

Melayani memurnikan hidup, demikianlah satu ungkapan untuk melalukan hidup dari godaan-godaan yang menjerat. Sebagai pengacara dan pebisnis, Ronald kerap berjumpa dengan banyak orang. Baik klien atau rekan bisnis. Tetapi, yang sifatnya entertain dan bertemu klien perempuan empat mata dia selalu hindari. Caranya bagaimana? Dia senantiasa mengikutkan anaknya, Paul. Tetapi sekarang ditemani berenya, keponakannya yang juga asistenya, sebab Paul sekarang sudah mandiri, membuka kantor pengacara bersama teman-temannya.

Cara untuk jangan terjerumus dalam rupa-rupa yang tak baik, Ronald telaten tiap pagi bersaat teduh. Diakuinya di masa mudahnya bukan manusia yang bersih sekali, tetapi sekarang, dia menjaga sekali hidup suci untuk berkenan dihadapanNya. Apalagi dirinya tiruan bagi anak-anak. “Saya tahu kelemahan saya. Kita jangan lupa Tuhan kerap izinkan kita dicobai melalui kelemahan kita. Kitalah yang harus berkomitmen menjauhi kelemahan. Sebab disinilah kita kerap diuji oleh komitmen. Kita harus tahu itu agar tak terjatuh dengan rupa-rupa kesalahan,” jelasnya.

Artinya, tegas dia membatasi diri dengan berbagai hal-hal yang bisa merusak reputasi yang dibangunnya. Maka dengan tegas dia tak lagi membuat atau menerima janji pertemuan di luar jam kantor. Baginya, lebih baik pulang ke rumah. Di rumah dia bisa berinteraksi dengan anak-anak, bisa  leluasa membaca buku untuk menambah pengetahuannya, kalau tidak dia menonton atau mendengarkan khotbah. Ronald juga tak lupa untuk melayani, dia sadari melayani itu memurnikan hidupnya.

Tak hanya diundang memberikan pencerahan firman Tuhan, dia juga kerap bersama rekan sepelayan ke luar kota mengadakan misi ke desa-desa terpencil, kalau tidak mengunjungi panti asuhan. Maka dia selalu siapkan waktu untuk melayani, memberi hati, termasuk membantu pelayanan yang dikelola teman-temannya. Walau pernah sekolah teologia, tetapi bukan niatnya untuk menjadi pendeta, tetapi jiwa melayani itu terus dikobarkannya. Baginya, semua profesi adalah ladang pelayanan atau “market place.

“Hidup ini sangat rentan. Saya tahu bahwa pelayanan kitalah yang memagari hidup kita. Sebab firmanNya itu bagaikan pedang bermata dua. Saat menyampaikannya, satu sisi untuk orang lain, tetapi jangan lupa satu sisi  untuk diri kita.” Tentu, pelayanan bisa dibuat topeng. Sudah tentu itu terlihat dari motivasi atau niat masing-masing. Kalau dalam istilah hukum disebut, mens rea, (sikap batin pelaku perbuatan pidana),  apa yang memotivasi dari dalam? Tentu jika motivasinya untuk dilihat orang alim, paling gampang apalagi jika hamba Tuhan.

Persoalannya niat dari dalam diri, apa? “Firman itu kita beritakan dan itu juga yang mengaca diri kita. Jadi penuntunnya adalah firman. Maka Alkitab harus menjadi sahabat kita, dibaca setiap hari. Sama seperti buku penuntun dari smartphone kita. Kita tak bisa maksimal menggunakan fungsinya jika kita tak membaca manual book-nya. Demikian juga dalam hidup ini, kita tak maksimal di kehidupan ini jika tak membaca aktif buku penuntun; Alkitab. Itu sebabnya keKristenan bukanlah sekedar agama akan tetapi jalan hidup atau “way of life.

Menurutnya, banyak orang yang salah presepsi, bahwa jika telah jadi Kristen harus diberkati secara materi, padahal bukan demikian. Berkat materi itu tersedia bagi setiap orang dan bukan saja bagi orang Kristen. “Tuhan memberikan kesempatan kepada semua orang untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki dalam hidupnya. Mindset kita harus dirubah, bahwa kita tidak lagi fokus kepada berkat materi seperti itu. Kalau untuk hal itu, kita harus kerjakan secara bertanggung jawab, dengan bekerja keras, hidup hemat, berintegritas, maka Tuhan pasti mencukupkan. Fokus hidup orang percaya sebenarnya adalah bagaimana bisa hidup berkenan dan menyenangkan hati Tuhan.” ujar jemaat di Gereja Suara Kebenaran Injil (GSKI) Rehobot, gereja yang digembalakan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, itu.

Ronald menambahkan, bahwa perlindungan Tuhan otomatis bagi orang-orang yang mengandalkanNya. “Berkat itu bukan hanya materi. Banyak berkat Tuhan yang kita terima, perlu kita hitung-hitung temasuk kesehatan.” Banyak orang berpikir bahwa kalau sudah kaya secara materi maka hal tersebut merupakan berkat Tuhan, padahal belum tentu. Maka dia ilustrasikan, bahwa tak semua yang bersisik itu ikan,. Sebab ular juga bersisik. “Kerap orang tak bisa membedakannya. Sebab, nyatanya, banyak orang yang menyamakan ikan dengan ular, karena sama-sama bersisik.”

Dia mengisahkan, seorang pemuda di Plumpang yang kerjanya mengambil minyak dari setiap mobil tanki yang lewat di saat  jalanan macet. Setiap hari hal itu dilakukan. Minyak yang diambilnya makin banyak, tetapi di benak pemuda itu bahwa seluruh mobil tanki adalah pembawa minyak. Si pemuda tak tahu ternyata ada juga mobil tanki yang membawa tinja. Satu waktu dia mengejar mobil tanki yang tenyata membawa tinja. Begitu mobilnya berjalan pelan-pelan, dia kejar dan dibukanya. Apa yang terjadi? Tiba-tiba yang muncrat adalah tinja. Mengapa demikian? Sebab pemuda tadi tidak mengerti mana tanki tinja atau tanki minyak.  Implikasi dari ilustrasi ini Ronald hubungkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Bahwa setiap kita harus memahami mana berkat Tuhan dan mana yang bukan berkat Tuhan. Jadi, jangan maruk atau rakus dan tak boleh dipukul rata semua. Kalau materi itu berasal dari Tuhan, itulah berkat, namun juga ada materi yang bukan berasal dari Tuhan, itu bukanlah berkat dan bisa jadi laknat,” ujarnya mengakhiri. Maka, keruwetan pun bisa jadi berkat jika mampu dipahami makna tersirat di keruwetan yang ada. (Hojot Marluga)

 

Kamaruddin Simanjuntak, S.H, M.H


Advokat/Pengacara Pemberani yang Selalu Survival dengan Mengandalkan Tuhan Elohim

Satu-satunya cara untuk meraih kesuksesan hanya dengan mengandalkan Tuhan Elohim. Demikianlah tersimpul dalam perbincangan dengan Kamaruddin Simanjuntak, S.H. “Agar bisa bertahan kita harus benar-benar berserah kepada Tuhan Elohim, dan tak ada ketakutan menjalankan profesi yang kita geluti. Tentu keberhasilan hari ini ditentukan oleh apa yang sudah kita lakukan di masa lampau. Semuanya dimulai dari keberanian dan kesiapan diri menggapainya,” ujar anggota jemaat HKBP Kebun Jeruk, Jakarta Barat, ini.

Keberhasilan sebagai Advokat  tentu bukan saja hanya karena berani, tetapi juga harus pintar dan/atau menguasai hukum dan perundang-undangan, bergaul, dapat dipercaya, bekerja profesional, memiliki integritas penegak hukum dan memiliki kemampuan bicara. Satu lagi kiatnya bekerja dan bertindak seperti orang Israel yaitu bekerja dengan mempraktekkan isi Alkitab.

Penggiat sejarah Israel ini mengatakan, tindakan menyerang  dan/atau  mengutuk Israel akan mendapat balasan dari Tuhan Elohim, karena keturunan Abraham/Ishak dan Yakub/Israel telah ditetapkan sebagai saluran berkat bagi seluruh kaum dan bangsa di dunia,  sebagaimana dimaksud oleh firman Tuhan Elohim dalam kitab Mazmur 67,  Roma 11:1-2a+29-32.

Mazmur ini mengingatkan umat Israel akan pemanggilan Abraham khususnya firman Tuhan dalam Kej. 12:1-3 yang menyatakan bahwa: 12:1 Berfirmanlah Tuhan kepada Abram: “Pergilah dari negerimu  dan dari sanak saudaramu dan dari rumah  bapamu ini ke negeri  yang akan Kutunjukkan kepadamu; 12:2 Aku akan membuat engkau menjadi bangsa  yang besar, dan memberkati engkau  serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.

Baca juga Bilangan 24: 9 “Ia meniarap dan merebahkan diri sebagai singa jantan, dan sebagai singa betina; siapakah yang berani membangunkannya? Diberkatilah orang yang memberkati orang yang memberkati engkau, dan terkutuklah orang yang mengutuk engkau!”

Tentu, bukti ketertarikannya akan Israel, dia mengudate berita-berita tentang Israel setiap hari diberbagai media dan media sosial, khususnya di akun Facebook. Di ruangan kantornya begitu banyak buku tentang hal-hal yang berbauh Israel. termasuk enksiklopedia tentang Yahudi negatif versi Arab. Bahkan, dia selalu mendapat kiriman berjibun berita tentang Israel by email. Menurutnya Israel kuat dan hebat oleh karena mereka sudah teruji melewati sejarah panjang, tekanan demi tekanan dari berbagai lini peristiwa dan selalu mengandalkan Tuhan Elohim dalam semua lini kehidupannya.

Dulunya Kamaruddin Simanjuntak tak pernah bercita-cita menjadi pengacara. Tetapi itulah hidup, nyatanya jalan hidup membawanya menjadi pengacara. Setamat  SMAN I Siborong-borong tahun 1992, dia merantau ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta dia tak punya uang untuk biaya kost, karena tak ingin menyusahkan keluarga, dia terpaksa harus tinggal di bawah kolong jembatan Pasar Klender – Jakarta Timur ketika itu. Selama kurang lebih tiga bulan hidupnya gelandangan di kolong jembatan, kalau tak disebut terlunta-lunta. Sembari berkerja serabutan untuk bisa bertahan hidup, sambil melamar pekerjaan.

Beruntung tahun 1993 dirinya diterima bekerja sebagai Customer Service di sebuah restoran Jepang. Bekerja sabar dan gigih sambil belajar itulah yang dilakukannya. Dari sana muncul jiwa berwirausaha, sempat membangun bisnis, tetapi tak berapa lama usaha itu kolap akibat unjuk rasa besar-besaran tahun 1998. Gagal satu usaha bukan berarti undur langka mencari peruntungan dari usaha lain. Dia kemudian menikung, mengambil jalan lain menjadi pengacara. Tahun 2001, dia kuliah di Fakultas Hukum Univesitas Kristen Indonesia (UKI).  Oleh karena kerasnya belajar, studi hukumnya ditempuhnya hanya 3,5 tahun dan lulus sebagai yang terbaik “Cum Laude” dan menerima piagam Penghargaan. Sejak kecil dirinya memang dididik keras oleh ayahnya.

 

Senantiasa menang

Selulus kuliah dia membuka kantor pengacara bersama rekannya dengan nama kantor “Firma Hukum “victoria.” Victoria artinya kemenangan berasal dari nama Puteri keduanya atas nama “Valencia Brightlady Victoria’. Tak ayal kantor pengacaranya telah banyak menangani berbagai kasus kecil hingga kasus besar. Bahkan pernah  ada undangan untuk menangani perkara besar, dijanjikan dana besar yang sangat  menggiurkan, namun harus ditempuh  dengan cara-cara yang tidak patut  secara hukum.

Waktu itu ada rekan-rekannya sekantor yang  mendorongnya untuk menerima tawaran honor besar guna  menangani perkara tersebut, akan tetapi Kamaruddin bertekad menolak, karena   sudah menyimpang dari nilai-nilai Kejujuran, Professionalitas dan Integritas Penegak Hukum, akibat penolakan itu, telah menyebabkan ketidaknyamanan di antara rekan sekantor, karena tidak semua rekan-rekan kuat berjuang dengan modal keprihatinan, ada juga yang berpikiran sekali-kali boleh juga diambil tawaran seperti itu, namun tetap ditolak olehnya, yang  pada akhirnya kantornya pecah kongsi.

Apa boleh buat setiap pilihan pasti ada konsekwensinya. Tak patah arang, dia kemudian membangun tim baru. Ibarat Nahkoda di kantor baru, dia memulai kembali dari nol. Berbekal relasi dan pergaulannya yang luas, bahkan  kantornya pun dipercaya menangani kasus-kasus besar kaliber nasional, bahkan perkara-perkara kakap. Ada yang sampai melibatkan pejabat nasional, tokoh politik, ketua dan bendara partai politik berkuasa. Risikonya tentu sangat besar, atas hal itu dia sering diteror, bahkan diancam untuk dibunuh. Atas semuanya itu, dia selalu menang dari maut. Paling tidak dalam pengalamannya dia tujuh kali lolos dari rencana pembunuhan terencana.

“Berkali-kali saya lolos dari rencana pembunuhan, Saya sadar itu semua karena pertolongan Tuhan Elohim,” ujar anggota jemaat HKBP Kebun Jeruk, Jakarta Barat ini. Pengalamannya, misalnya, lolos dari rencana pembunuhan karena menangani kasus-kasus yang melibatkan oknum pejabat pemerintah pusat yang paling berkuasa. Dengan sengaja  mobilnya ditabrak di parkiran hingga penyot, bahkan di jalan tol juga pernah dikejar-kejar,  bahkan di parkiran Polda Metro Jaya mobilnya ditusuk, dipecahkan kaca depannya, tetapi puji Tuhan, Kamaruddin selalu lepas dari maut diancam akan dibunuh oleh Ormas Radikal yang paling ditakuti oleh Pemerintah. Lagi atas semuanya tak menyurutkan langkahnya untuk berani menangani perkara hukum orang-orang besar. “Tentu bukan karena kepintaran saya, semua karena pertolongan Tuhan,” ujarnya. Rona-rona hidup membuatnya makin matang.

 

Ruhut: Kodok Pun Ketawa Lihat Kamaruddin (Artikel Kompas)
Akibat dirinya selalu lantang bergelut dalam berperkara. Apalagi saat membela kepentingan kliennya dia selalu total dalam pembelaan, sepertinya tak ada yang ditakutinya. Dia tak segan-segan mengadukan, melaporkan yang diduga sebagai pelaku kejahatan ke KPK RI, melapor ke Kepolisian bahkan kepada  Kejaksaan  Agung RI, jika menemukan data atau bukti yang valid secara hukum tentang adanya indikasi oknum pejabat tinggi negara melakukan dugaan tindak pidana korupsi.

Kehebatannya menggali data, mencari bukti selalu bisa mendapat data yang akurat dan otentik. Tentu untuk mendapatkannya caranya seperti cara yang dilakukan oleh intelijen Mossad sehingga praktek beracaranya tak hanya sebatas duduk di kantor. Atas keberaniannya mengungkap korupsi di kalangan pejabat tinggi Negara  itu, Ruhut Sitompul selaku Anggota DPR RI Komisi 3 sekaligus berpraktek selaku pihak yang selalu membela pejabat dimaksud, waktu itu, sebagai Humas Partai Demokrat menyebut Kamaruddin di media nasional, “kodok pun ketawa melihat Kamaruddin.”

Alih-alih dia tanpa tendeng aling-aling, berani membongkar habis kasus-kasus korupsi. Salah satunya korupsi di Wisma Atlit & Hambalang dan turunannya hingga E_KTP. Tak ayal, dia juga membongkar kasus korupsi di tubuh Partai Demokrat tahun 2011 yang akhirnya menyeret-nyeret petinggi partai berkuasa ketika itu antara lain; Anas Urbaningrum, Nazaruddin, Angelina Sondakh, Rizal Mallarangeng, Sutan Batugana, dst. Satu perkara lain yang banyak disorot oleh media nasional adalah kala dirinya menangani kasus Mindo Rosalina Manullang yang terkenal sangat panas itu, hingga kuasanya diakhiri oleh pihak lain untuk membela Mindo Rosalina Manullang, dengan berbagai ancaman pembunuhan dan fitnah.

Dalam kasus mega skandal korupsi yang berhubungan dengan Muhamad Nazarudin Eks Bendara Umum Demokrat/ Anggota DPR RI Komisi 3. Kamaruddin tahu detail aktivitas apa-apa saja yang terjadi di kantor Nazaruddin waktu itu. Atas keberaniaannya mengungkap itu, sampai sempat salah satu jenderal berbintang 3  dan kawan-kawan  selaku pengurus partai Demokrat datang menjumpainya dan memohon kepada dirinya agar jangan membawa-bawa nama Presiden RI.  Atas hal itu namanya sebagai seorang pengacara sempat menjadi sorotan berita nasional selama beberapa saat.

Jika membaca namanya, memang seperti nama seorang Arab. Nama itu pemberian ayahnya yang lama merantau di Aceh. Lelaki kelahiran 21 Mei 1974, suami dari Joanita Meroline Wenji, S.H. dan ayah dari  lima orang puteri masih terus bergairah untuk bermaksud melanjutkan pendidikan Doktor (S3). Sesungguhnya sudah ada universitas di luar negeri menawarkan beasiswa bahkan dari Negara  Israel. Walaupun  demikian atas tawaran itu urung diterima sembari menunggu waktu yang tepat mengingat Puteri-puterinya masih kecil yang tentunya sangat membutuhkan perhatian orangtua.

Sebagai seorang ayah dia ingin menjadi tiruan dan teladan  bagi putri-putrinya itu, dengan teladan dia menanamkan nilai moralitas tinggi bagi mereka. Dia sadar, sebagai orangtua yang dibutuhkan oleh putri-putrinya hanya ketauladanan, ketulusannya untuk membimbing mereka. Tentu, bukan kemewahan dan fasilitas yang mereka butuhkan, yang terpenting adalah kejujuran dalam  membimbing mereka, terutama “Takut Akan Kuasa Tuhan Elohim” guna mengantar mereka untuk mencapai  impiannya.

Sebagai seorang Kristiani, dia ingin menjadi teladan dan saksi Jesus dengan cara menjadi garam & Terang  di bidang profesinya sebagai Advokat/Pengacara. Putra dari (alm) Midian Simanjuntak dan Nurmaya Pardede ini ingin berdampak dan menjadi berkat  bagi orang lain. Sebagai seorang advokat tentu dirinya banyak membantu kliennya yang kurang beruntung secara  probono-prodeo atau dengan cara pembayaran cuma-cuma.

Baginya, menjadi bagian penegakkan hukum, dia senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan dalam seluruh aktivitas negara dan masyarakat. “Hukum belumlah menjadi panglima. Masih jauh panggang dari api. Diistilahkan tajam ke bawah  dan tajam  ke samping/oposisi  namun masih  tumpul ke atas (Penguasa/Elit Politik Berkuasa dan Pengusaha), itulah gambarkan kondisi penegakan hukum di Indonesia. Hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat, nyatanya penegakan hukum masih morat-marit dan carut marut.”

 

Belumlah Tergolong Makar

Ditanya soal isu makar yang lagi santer diperbincangkan di media saat ini. Pisau analisanya muncul. “Politik itu kan intinya dua hal. Pertama adalah bagaimana cara  merebut kekuasaan. Kedua, bagaimana cara mempertahankan kekuasaan tentunya secara konstitusional. Bahwa yang terjadi adalah konflik antara koalisi yang merebut kekuasaan dan koalisi yang mempertahankan kekuasaan. Kenapa kekuasaan direbut atau dipertahankan? Agar kekuasaan bisa mengendalikan anggara negara ini. Intinyakan uang dengan jumlah besar Triliunan rupiah,” katanya.

Isu makar kini menggelinding, tentu berawal dari istilah  people power yang awalnya ditiupkan Amien Rais. Kala itu, nun sebelum Pemilu 2019, Amien Rais mengatakan, akan mobilisasi rakyat untuk people power. Bola pun makin liar, isu makar makin pekat terlihat apalagi mencuatnya demo anarkis di depan Bawaslu beberapa wakti lalu.

Sebagai praktisi hukum, Kamaruddin tak saja lihai bicara hukum, tetapi lincah bercerita sejarah dan politik negeri ini. Dia berkisah, bicara people power kita bisa merujuknya kisah di Filipina, misalnya people power ketika menggulingkan Ferdinand Marcos. Marcos tumbang oleh kekuatan rakyat. Menurut analisanya, demo yang berujung anarkis di depan Bawaslu itu belumlah tergolong makar.

Baginya, makar itu adalah jika benar-benar tindakan kekerasan itu diarahkan kepada  pemerintah dalam hal ini ditujukan kepada Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan untuk tujuan menggulingkan dan/atau merebut kekuasaan secara inkonstitusional.

Dia menambahkan, jika Aksi Merebut Kekuasaan dengan cara “People Power” Berjalan Lancar atau berjalan mulus itu bukan makar lagi secara hukum, tetapi Kudeta berhasil, sebagaimana tahun 1998, aksi mahasiswa itu juga seharusnya makar, akan tetapi karena berhasil menggulingkan pemerintahan Soeharto yang sah, maka bukan lagi disebut makar, walaupun faktanya pemerintahan setelahnya adalah hasil dari people power. Intinya, jika perebutan kekuasaan secara inskontitusional  gagal biasanya disebut makar,  namun bila berhasil people power itu tidak lagi disebut makar. Pelaku perebutan kekuasaan yang gagal Tentu pelakunya bisa dihukum berat seperti yang terjadi di Turki beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, dia mengatakan, bahwa pelaku people power dapat dijerat dengan pasal makar dan permufakatan bila sudah ada bukti permulaan yang cukup untuk tujuan merebut kekuasaan secara inkonstitusional. Pelakunya dapat dijerat dengan pasal 107 KUHP dan 110 jo Pasal 87 KUHP atau Pasal 28 yat 2 jo Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik.

Makar sendiri berasal dari bahasa Belanda, yaitu berasal dari kata Aanslag yang secara etimologis berarti menyerang, serangan, penyerangan kepada Pemerintah. “Makar juga termasuk dalam kategori Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dalam Bab I pada Buku II (kedua) KUHP, yang pengaturannya tersebar diantaranya dalam ketentual Pasal 87 KUHP, 104 KUHP, 106 KUHP, dan 107 KUHP,” jelasnya. Tentu, ciri-ciri makar mengunakan kekerasan fisik, menggunakan senjata yang diarahkan ke pemerintahan yang sah.

 

 Ajakan move on

Tentu jika bicara tentang makar, sejak sejarah Indonesia ini ada, dari  pemerintahan Soekarno sampai sekarang pemerintahan Joko Widodo, makar itu  ada. Katakan saja misalnya, masa pemerintah Gus Dur, dimana Megawati sebagai Wakil Presiden. Saat itu Gus Dur hendak mengangkat Kapolri, akan tetapi tiba-tiba Megawati meralat dengan cara mengutus/ memilih yang lain sebagai Kapolri. Itu bentuk ketidakpatuhan “In Subordinasi” wakil presiden kepada presiden.” Selanjutnya menumbangkan atau merebut kekuasaan Presiden dari tangan Gus Dur pasca 21 bulan berkuasa.

Selanjutnya, kisah hubungan antara Megawati dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Waktu itu santer perjanjian keduanya, bahwa SBY tak akan menjadi rival bagi Megawati untuk mencalonkan diri sebagai  Calon Presiden. Tetapi, apa yang terjadi? SBY diam-diam mendirikan Partai Demokrat bersama dengan tokoh-tokoh lain. Isu SBY mendirikan partai sampai juga ke suami Megawati, (alm) Taufik Khemas, dan bertanya perihal isu itu.

Namun SBY menjawab bahwa isu tersebut tak benar. Oleh karena  Taufik Khemas mendapat informasi akurat dan yakin bahwa SBY telah mendirikan partai diam-diam, maka Taufik menyebut, “Jenderal Kok Berbohong”. Atas ucapan itu, SBY tersinggung. Dan setiap ada rapat kabinet di istana, maka  SBY tak datang. Disebutlah bahwa dirinya tak lagi diundang rapat kabinet di istana, padahal sebagai menteri seharusnya tak perlu diundang pun kalau ada rapat kabinet, SBY mesti datang rapat sebagai bawahan Presiden Megawati waktu itu.

Di berita itu justeru dijadikan untuk membangun opini lewat media. Media menyebut SBY korban dari Megawati. Saat itu terbangun opini, apalagi di kalangan ibu-ibu, disebutkan bahwa  SBY korban dari Megawati. Lalu, menjelang berakhirnya pemerintahan Mengawati, maka  SBY resmi mengundurkan diri dan mendeklarasikan diri bergabung dengan Partai Demokrat yang sebenarnya dia bentuk sendiri.

Saat itu SBY juga berhasil menjual isu identitas agama “politik Identitas”. SBY bersama dengan mantan Menteri Agama Tarmizi Taher waktu itu membuat gerakan membantu Palestina yang dianggap sebagi korban dari Israel. Padahal, masalah Palestina dengan Israel itu bukan masalah agama, tetapi masalah politik luar negeri. Pendek cerita SBY berhasil menjadi presiden RI. Namun saat itu tak terjadi terima jabatan sebagaimana sepatutnya, tak ada pisah sambut mantan presiden dengan  presiden yang baru. Tetapi saat pemakaman almarhumah Ani Yudhoyono, Megawati sudah terlihat hadir di Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan. Mudah-mudah berlanjut ada rekonsilisi pada keduanya.

Demikian selanjutnya, saat pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2009, Megawati berpasangan dengan Probowo membuat kesepakatan bahwa di tahun 2014, Probowo-lah yang maju menjadi calon presiden dari koalisi PDI Perjuangan dan Gerindra. Tetapi apa yang terjadi? Tahun 2014 PDI Perjuangan ingkar janji atas  Perjanjian Batu Tulis, sebab  PDI Perjuangan malah mencalonkan Joko Widodo sebagai calon presiden.

Bahwa memang narasi dari perembutan kekuasaan dari pengalaman sejarah Indonesia belum mulus, selalu saja ada riak-riak. Artinya kita masih perlu belajar banyak dari negara-negara yang sudah matang berdemokrasi. Disinilah masukkan bijak Kamaruddin, agar kita belajar riuh rendah dari perebutan kekuasaan pada setiap hendak berakhir masa pemerintahan. Bagi Kamaruddin tak perlu lagi ada kubu-kubuan.

“Biarlah yang menang merangkul yang kalah, dan yang kalah juga move on atau dapat menerima kekalahannya dan mengambil sikap menjadi oposisi yang konstruktif. Kita perlu guyup. Kita bangun persatuan kita kembali. Kita rajut kembali selendang yang sempat robek oleh kompetisi yang keras. Mari belajar sejarah dari penggantian pemerintahan pusat yang penuh dengan lika-liku itu,” ujarnya berfilosofi. (Hojot Marluga)

 

Dr. Lasmaida S. Gultom, SE, MBA, D.Min


Melayani Tuhan Dalam Pekerjaan Kita

Hidup ini adalah anugerah, itu sebabnya isilah dengan bermakna. “Semua karena Tuhan. Hidup ini anugerah.” Demikian dikatakan Lasmaida S Gultom. Perempuan kelahiran Simalungun, 10 April 1965 ini. Lahir dan dibesarkan di daerah Pokan Baru Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun dari sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Cita-citanya dulu ketika masih SD hanya ingin jadi doktoranda. Tetapi setelah menjadi SMP di SMP Negeri 61 Pematang Siantar cita-citanya berubah, ingin menjadi dokter.

Itu sebabnya sejak belia dia sangat bahagia menggunting kuku dari kakek dan neneknya dari pihak ibunya bernama Mangain boru Gultom dan kakeknya Mulia Samosir bahkan nenek-nenek teman neneknya yang berkunjung ke rumah orang tuanya. Kebiasaan melayani sudah membebat dijiwanya. Kesukaannya menolong, termasuk menolong orang misalnya, ada yang luka, dia dengan bahagia membersihkan dan membalut lukanya. “Kemudian cita-cita jadi dokter, ingin merawat orang tua ke desa-desa,” kisahnya lagi.

Selulus SMA, dia mencoba mengikuti test masuk perguruan tinggi negeri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ke Jakarta. Tetapi belum beruntung, dia tak lolos seleksi. Oleh karena itu, dia ingin terus kuliah, tetapi hendak mengambil jalur hukum di Universitas Kristen Indonesia (UKI), sebab fakultas hukum UKI yang dia tahu saat itu. Namun keluarga menyarankan agar jangan kuliah di UKI, sebab di UKI terlalu orang Batak. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan kuliah saja dulu satu tahun, sembari menunggu tahun berikutnya untuk mencoba ikut test lagi supaya masuk fakultas kedokteran UI. Maka dirinya kuliah di Univesitas Pancasila Fakultas Ekonomi yang saat itu di kampus Jalan Borobudur, Jakarta.

Di semester awal, nilainya tak begitu bagus karena memang di pikirannya masih ingin kuliah di kedokteran. Tepat di semester dua, satu waktu dia punya pengalaman rohani yang membuat cara berpikirnya berbeda. Memang sejak kecil dia sudah telaten berdoa, sebab itu ajaran orangtua, bahwa Tuhan yang tak bisa dilihat mata jasmani itu sesungguh-sungguhnya ada. Maka sedari kecil sekolah minggu di HKBP, bergereja tak pernah ditinggalkan. Termasuk setelah kuliah, di kampus dia mengikuti persekutuan doa kampus, yang dikelola oleh kakak-kakak kelasnya.

Sebenarnya, di awal dirinya kurang terlalu menikmati persekutuan kampus itu, sebab di gereja HKBP tak biasa beribadah dengan tepuk-tepuk tangan dan berdoa menangis. Maka satu waktu, ketika saat kebaktian kampus dia kerap menghindar ke perpustaakaan. Hingga kemudian satu waktu malam-malam sekitar jam 12 malam dia terbangun. Waktu itu dia tertidur, tiba-tiba terbangun dia mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Pada saat itu dia seperti mendapat penglihatan, seperti menonton film. Dalam film itu dia mendapat penglihatan dan bisa melihat kehidupannya sendiri sejak balita sampai dewasa. Diperlihatkan mulai dari merangkak sampai dewasa. Satu perkataan yang dia dengar, “Anakku engkau begitu jahat di mataKu.” Kata-kata itu terus terngiang di telinganya.

Selama ini dia tahu orang yang berjumpa dengan Tuhan, kata-kata yang sering didengarnya adalah; “Anakku, Aku mengasihiMu.” Tetapi ini malah sebaliknya. Dalam film itu terjadi interaksi antara dirinya dengan Tuhan, dan berbicara langsung. Dia menjawab Tuhan, “Tuhan, jika memang engkau ada, saya mau Tuhan pakai seturut mau dan kehendakMu.” Ternyata saat itu dia dalam keadaan berdoa. Saat mengucapkan amin, seluruh bajunya bagian depan basah karena air mata. Saat itu dia tersadar bahwa itu bukan film. Namun dia heran mengapa dalam film itu dia bisa menyaksikan dirinya berinteraksi langsung dengan Tuhan.

Dia percaya itu lawatan Tuhan. Sejak perjumpaan itu, dia berubah dengan hati yang haus dan rindu senantiasa berdoa, memuji dan menyembah Tuhan serta membaca Firman Tuhan. Mulai sejak itu mulai aktif di kampus dan melayani di persekutuan kampus, bahkan kuliah ekonomi yang dulu tak begitu disukainya mulai makin membuatnya antusias belajar ekonomi, dan dampaknya sudah tentu hasil nilai makin bagus. Bahkan, bukan saja hanya aktif di persekutuan kampus, dia menjadi koordinator persekutuan doa di Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila hingga lulus kuliah.

Tahun 1990, dia bekerja pertama di PT Taspen. Sebelumnya sempat menjadi guru privat untuk beberapa mata pelajaran matematika, fisika dan kimia. Anak muridnya anak dari orang-orang yang berada. Sebelum bekerja di Taspen, perusahaan negara yang mengelola pensiunan. Saat masih kuliah, dia selalu berdoa jika Tuhan hendak memakaiNya, dia minta petunjuk apakah dia melayani jadi full timer atau bergelut di marketplace. Tetapi, jika Tuhan mau memakainya di marketplace dia rindu bekerja di bidang keuangan. Tak lupa diingatnya, tugasnya, di mana pun Tuhan tempatkan dia bekerja, dia merindukan ditempat dimana dia bekerja ada selalu saja ada persekutuan orang-orang yang mengasihi Tuhan Yesus sehingga dia melayani. Karenanya dia juga salah satu inisiator mendirikan persekutuan doa di kantor PT Taspen.

Istri dari Maradat Situmorang ini, menyebut, melayani di setiap kesempatan menjadi komitmennya sejak kisah di mahasiswa itu. “Saya sadar diberikan Tuhan karunia penglihatan, karunia berbahasa roh atau bahasa lidah. Termasuk diberikan Tuhan karunia kesembuhan. Tak sedikit orang yang saya doakan sembuh,” ujarnya. Tetapi dia tak mengumbarnya, sebab itu adalah pemberian Tuhan. Dia sadar bahwa dirinya hanyalah alatNya bagi kemuliaan namaNya. Namun yang jelas dia tahu bahwa di balik itu semua ada rencana Tuhan yang paling indah. Oleh karena itu, berdoa dan membaca firman Tuhan atau bersaat teduh tiap-tiap pagi selalu dilakoninya dengan hati yang rindu dan haus senantiasa bersekutu dengan Tuhan atau menikmati hadirat Tuhan.

Tetapi, kata-kata, “Anakku, engkau begitu jahat di mataKu.” Membuat dirinya terus mencari mengapa Tuhan katakan itu. Makin rajin membaca Alkitab, berdoa pribadi untuk membangun relasi yang intim dengan Tuhan. Bahkan, dirinya mulai menemukan teguran-terguran Tuhan melalui pembacaan Firman Tuhan dan berdoa. Pada akhirnya Tuhan memberikan jawaban tentang makna “AnakKu engkau jahat dimataKu, yaitu “kesombongan“. Tak sabar melihat orang yang lambat dalam segala hal.” Oleh karena itu, dia sadar hal itu jahat di mata Tuhan. Karenanya dia selalu mengingatkan diri sendiri atas teguran Tuhan, agar hidup sabar, rendah hati dan murah hati dengan belajar terus menerus melakukannya.

Dalam doa dan pelatihan mental setiap hari dia belajar bagaimana berkenan di hadapan Tuhan dengan merendahkan hati. Dia sadar bahwa semua yang ada padanya adalah dari Tuhan, bahwa apa pun pencapaiannya itu adalah karena Tuhan, dia tak ada apa-apanya tanpa Tuhan, dia sadar tak bisa berbuat apa-apa tanpa perkenanan Tuhan.

Sejak perjumpaan dengan Tuhan itu, dia mulai belajar perlahan-lahan bisa memahami orang lain dan menerima orang lain apa adanya. Termasuk belajar sabar menghadapi orang yang lambat. Selama ini dia sadar, bahwa standar ekpektasinya terlalu tinggi bagi orang lain. Jika ada orang di sekitarnya sangat lambat dia mudah marah dan berupaya mendorong orang tersebut untuk mercepat gerakan. Hal itu terjadi baik di rumah atau di kantor. Ternyata itu tak berkenan di mata Tuhan. Maka kelakuan yang demikian mulai dia kikis pelan-pelan. Makin banyak berubah dan memperbaharui budi untuk semakin hari semakin berkenan di hadapanNya.

Termasuk kesabarannya diuji tatkala hendak mencalonkan diri menjadi Deputi Direktur di Bank Indonesia sekitar tahun 2010. Ada surat kaleng sampai ke pimpinan tertinggi Bank Indonesia, saat itu dijabat Dr Darmin Nasution. Dirinya disebut menerima suap dan lain-lain dari pihak ketiga. Saat dia tahu dengan hikmat dari Tuhan bahwa yang mengirim surat kaleng tersebut justru anak buahnya. Dia berdoa dan berpuasa selama tiga bulan supaya Tuhan tolong dan mampukan tetap mengasihi dan mengampuni orang tersebut supaya tidak membencinya serta diberikan  kesabaran untuk melewati semua hal itu. Tuhan sungguh dahsyat dan luar biasa menolong dan memampukannya melakukan hal tersebut, akhirnya dia lolos sebagai Deputi Direktur di BI pada bulan Maret 2011 dan orang yang menulis surat kaleng tersebut mengaku dan minta maaf.

Kerja adalah ibadah

Kerja adalah institusi sosial yang telah ditetapkan oleh Tuhan, karena bekerja itu ibadah, demikian John Calvin pernah mengatakan. Bagi Lasmaida, bahwa memang bekerja adalah ibadah. “Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Bagaimana seharusnya sikap orang Kristen ketika bekerja, sudah tentu berkerja untuk Tuhan, serius mempersembahkan hasil pekerjaan terbaik kepada Tuhan,” ujar lulusan doktor ministri dari Sekolah Tinggi Theologi (STT) IKAT, Juni 2019 ini.

Tuhan menciptakan manusia menurut gambarNya dengan karakteristik-karakteristiknya. Dengan demikian, bila dikaitkan ke dalam dunia kerja dan profesi, maka seharusnyalah seorang Kristiani menunjukkan tempatnya bekerja harus merupakan tempat ibadah, dan tempat menaruh pelayanan. Baginya, berarti menjadi pendeta atau penginjil atau hamba Tuhan.” Kita harus memandang pekerjaan kita sebagai ibadah dan pelayanan kepadaNya. Firman Tuhan yang saya baca dan pahami bahwa kalau kita bekerja mesti dengan ihklas dan sungguh-sungguh, berkerja untuk Tuhan bukan untuk manusia. Karena itu, saya hanya takut kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Manusia saya hormati dan hargai, tetapi bukan untuk saya takuti,” ujarnya.

“Saya sangat yakin, kalau seseorang menyebut dirinya seorang Kristen, tetapi tak melakukan saat teduh atau intim dengan Tuhan setiap hari. Tak membaca buku petunjuk, buku penuntun hidup yaitu Alkitab, nonsen seseorang itu bisa kokoh, kuat dan konsisten berjalan setiap waktu bersama Tuhan,” tambah mantan koordinator Persekutuan Doa Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila itu. Menjadi saluran berkat itulah yang selalu menjadi permohonannya. “Hari demi hari, membangun hubungan yang intim dengan Tuhan. Berdoa tentu bukan untuk meminta berkat bagi diri sendiri, tetapi meminta agar Tuhan berkenan menjadikan dirinya menjadi saluran berkat bagi banyak orang.”

Masih bening dalam ingatannya, tahun 1990 dia diterima bekerja di Bank Indonesia. Saat itu persekutuan doa kantor di sana sudah ada, dia tinggal mengikutinya terlibat dalam pelayanan. Tahun 1997 dirinya diberikan kesempatan oleh Bank Indonesia mengikuti pendidikan ke Jepang mengambil magister manajemen dengan gelar MBA. Namun sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdiri, dirinya tugaskan ke OJK, sesuai Undang-Undang OJK diberikan opsi atau pilihan kembali ke Bank Indonesia atau tetap berada di OJK. Hingga sekarang dia berkarier di OJK karena memilih bergabung dengan OJK sebagai salah satu pejabat eselon 2 di OJK.

Mengapa pilih OJK? “Oleh karena saya saat itu di OJK bekerja di direktorat edukasi dan literasi keuangan. Hal ini sebagai kesempatan untuk mencerahkan masyarakat soal keuangan,” ujar Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan di OJK tahun 2015. Berbeda ketika dia bekerja di Bank Indonesia, bekerja sebagai pengawas perbankan dan di Sumber Daya Manusia hanya bertemu dengan internal BI dan orang-orang bank (Industri Perbankan). Sementara di OJK dia berkesempatan menjumpai banyak orang termasuk masyarakat dari berbagai kalangan, maka dalam kesempatan itulah dia menunjukkan siapa dirinya. Sebagai anak Tuhan atau orang yang mengasihi Tuhan untuk menjadi garam dan terang bagi orang lain.

OJK menilai pemahaman masyarakat Indonesia terhadap sistem keuangan moderen masih sangat rendah. Hal itu tercermin dari indeks literasi keuangan Indonesia sebesar 21,8 persen pada 2013, jauh di bawah negara Asean lain seperti Singapura yang mencapai 95 persen.  Lasmaida S. Gultom, Direktur Literasi dan Keuangan OJK tahun 2015 menyatakan, kondisi ini membuat OJK gencar melakukan edukasi keuangan ke masyarakat. Antara lain dengan memperbanyak Mobil Literasi Edukasi Keuangan (siMOLEK), dari 20 unit yang saat ini tersedia menjadi 41 unit.

“Salah satu untuk meningkatkan indeks literasi keuangan (Indonesia adalah) dengan menambah siMOLEK menjadi 41 unit pada semerster II 2015 dengan program kerja literasi dan edukasi keuangan lainnya. Ada tambahan 21 unit (siMOLEK) dari saat ini 20 unit,” tutur Lasmaida. Menurut Lasmaida, banyaknya jumlah penduduk serta luasnya wilayah Indonesia menjadi kendala tersendiri bagi OJK dalam menyampaikan informasi keuangan kepada masyarakat.  Oleh karena itu, OJK menargetkan indeks literasi keuangan Indonesia dapat ditingkatkan setidaknya dua persen per tahun.

SiMOLEK merupakan unit mobil literasi edukasi keuangan yang dilengkapi dengan peralatan multimedia dengan berbagai fitur lengkap untuk memenuhi kebutuhan materi edukasi. Selain menjangkau langsung wilayah tempat tinggal masyarakat, OJK juga menyediakan mobil edukasi tersebut di kantor regional OJK yang terdapat di kota besar dan Kantor OJK.

“Saat ini OJK sudah memiliki 35 total kantor dengan 9 kantor regional dan 26 kantor OJK yang tersebar di seluruh Indonesia. Sembilan Kantor Regional ada di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Bali, Makassar dan Banjarmasin. Selain itu, OJK juga memberikan edukasi keuangan kepada ibu rumah tangga, siswa dan mahasiswa, para profesional  hingga penyuluh Keluarga Berencana (KB) dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)  agar dapat ikut menginformasikan layanan keuangan kepada masyarakat.

Menurut Lasmaida, upaya peningkatan literasi dan edukasi keuangan perlu dilakukan sebagai tindakan preventif agar masyarakat tidak mudah tertipu oleh investasi bodong yang menjanjikan imbal hasil tinggi. Selain itu, OJK konsisten mendorong serta mendukung Lembaga Jasa Keuangan (LJK) menyediakan Layanan Keuangan Mikro (Laku Mikro) sehingga dapat menjangkau masyarakat di sektor jasa keuangan, khususnya yang berpenghasilan rendah dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Di OJK dia bukan hanya pejabat. Tetapi yang utama mempunyai kesempatan memberikan pencerahan bagi banyak orang yang lintas batas suku, agama, bahkan termasuk bisa menjangku kaum-kaum marginal. Tugas-tugas inilah yang mendorongnya memilih bergabung dengan OJK. Tiga Tahun di OJK Institut (tahun 2016-2018) memiliki kesempatan juga mengajar di kampus-kampus melalui program kerja OJK Mengajar. Sekarang dia sebagai Analis Eksekutif Senior di Departemen Pengendalian Kualitas Pengawasan Perbankan OJK.

Beberapa tahun lalu (Agustus 2011), oleh karena sudah berumur tak bisa lagi dapat bantuan kuliah di luar negeri dari Bank Indonesia. Dia kemudian kuliah tingkat doktoral di Manajemen Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor dengan meraih gelar Doktor di Bidang Sumber Daya Manusia Desember 2015 dan semua biaya ditanggung OJK. Dia kuliah hanya setiap hari Sabtu, maka tak pernah terganggu jadwal pekerjaan di OJK. Semua pencapaian dan yang ada padanya hanya oleh karena pertolongan, kasih dan anugrah Tuhan semata. Dulu cita-citanya semasih kecil sederhana hanya menjadi doktoranda, sekarang Tuhan beri lebih dengan pendidikan formal meraih dua gelar doktor di bidang SDM dan Ministri, bahkan melebihi yang dimintanya. (Hojot Marluga)

Dr. Ir. Mombang Sihite, MM


Dr. Ir. Mombang Sihite, MM,  Presiden Direktur PT Azbil Berca Indonesia

Memacu Generasi Muda Berdaya Juang Di Era Revolusi Industri 4.0

Bersikap antusias, bersemangat dan disiplin hal itulah yang terlihat tatkala berjumpa dengan Dr. Ir Mombang Sihite MM, Presiden Direktur PT Azbil Berca Indonesia, ini. Berkarakter positif dan berdisiplin menurutnya adalah kunci utama menjadikan seseorang sukses. Soal berdisiplin sudah sejak dulu didapatnya dari kedua orangtuanya; Waldemar Juragan Sihite dan Ibunda Nursia boru Manalu.

Ayah dan ibunya yang sudah almarhum, dulu selalu menasihatkan agar kehidupannya bisa berdampak bagi orang lain, perlu ada kepedulian. Anak bungsu dari sembilan bersaudara ini melewati masa kecil hingga remaja di Kota Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan. Studi SMA sempat satu semester dilaluinya di SMA Negeri 1 Dolok Sanggul. Namun, tahun 1982, hijrah ke Jakarta melanjutkan studi di SMA 54 Jatinegara Jakarta. Namun, kepindahannya ke kota Jakarta sempat mengganggu studinya dan sempat nilainya amburadul.

“Nilai saya jeblok. Saya merasakan ketidaksetaraan pendidikan antara Jakarta dan di Dolok Sanggul. Hal itu membuat saya harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan studi,” ujarnya mengenang masa lalunya itu. Syukur, akhirnya dia bisa menyesuaikan diri dengan pendidikan di Jakarta. Luarbiasanya dia pun lulus dengan nilai bagus.

Selulus SMA, dia memilih program Politeknik Universitas Indonesia oleh karena ingin berkerja di dunia industri. Selulus diploma Politeknik, dia melamar ke PT Berca Indonesia.  “Setelah lulus kuliah dari Politeknik saya diterima di PT Berca Indonesia pada tahun 1990. Saya langsung ditempatkan sebagai jabatan fungsional sebagai site manager dan jabatan structural engineer. Pekerjaan itu membutuhkan kemampuan dalam memahami sistim otomatisasi industri, sangat jauh berbeda dengan otomatisasi dasar,” jelasnya.

Puji syukur dia bisa menyesuaikan diri, bekerja sembari belajar. Hal yang dia syukuri, misalnya ketika di Politeknik, selain ilmu yang didapat juga kemampuan mengelola waktu. Mengapa? Oleh karena sistem perkuliahan yang ketat dalam pengelolaan waktu, perkuliahan yang sangat padat, dan sistem paket, bukan SKS dan banyaknya tugas-tugas LAB dan Workshop membuatnya terbiasa dengan kedisplinan. Tentulah sebagai mahasiswa, jika tak bisa berdisiplin niscaya bisa mengikuti irama yang ada di kampus. “Belum lagi sistem Drop Out yang selalu diberlakukan setiap semester. Karenanya, saya harus bekerja keras untuk memenuhi standar kelulusan saya.”

Akumulasi dari pelatihan mental, jejak rekam dari latihan di masa kecilnya, dididik bekerja keras dan dilanjutkan dengan sistem pendidikan di Politeknik menuntutnya berdisiplin. Hal itu semua sangat membantu pembentukan karakternya di kemudian hari. Jelaslah, jikalau tak disiplin, bagaimana dia bisa mengerjakan bejibun pekerjaan; jadi CEO, konsultan di green building, konsutan manajemen, dosen di beberapa kampus, melayani di gereja dan masih aktif di puluhan organisasi sosial lainnya.

Di perusahaan, menurutnya, karena bukan hanya kemampuan engineering yang dituntut, tapi juga kemampuan manajemen dalam mengelola project untuk memenuhi kewajiban dalam pencapaian target. Termasuk pengelolaan anggaran sehemat mungkin, pengerjaan engineering sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Multi assignment project atau mengelola beberapa proyek sekaligus secara bersamaan sudah menjadi santapan hariannya.

Tentu, hal itu membuatnya merasa harus melanjutkan pendidikan guna meningkatkan kemampuan untuk bisa makin memahami manajemen dan teknik elektro lanjutan. Maka, jadilah dia kuliah sambil bekerja untuk mengambil gelar sarjana. Di tengah ketatnya waktu, sebagai kepala keluarga dia harus pintar mengelola waktu. Dia  kuliah di Universitas Jayabaya. Bertepatan saat itu Fakultas Tekniknya membuka Program Eksekutif, kuliah Sabtu-Minggu. Dia pun bisa belajar di akhir pekan tanpa mengganggu aktifitas pekerjaan di kantor, tetapi tentu mengurangi kuantitas waktu berjumpa dengan anggota keluarga. Syukur, kuliah lanjutan ini dia selesai hanya dua tahun.

Seiring perjalanan waktu, karir dan tanggung-jawabnya meningkat dan bertambah, bukan lagi hanya sebagai engineering manager, tetapi diberi tanggung jawab mengelola puluhan project baru. Selain itu, dia juga ikut melakukan pemasaran untuk mendapatkan order dari customer lama dan customer baru. “Dari pengalaman itu makin banyak network dan relationship saya dengan customer, dan kepercayaan dari customer juga meningkat, market share juga meningkat dan nilai equity perusahaan juga meningkat karena kemampuan untuk membangun reputasi perusahaan,” ujarnya.

Menurutnya, dalam mengembangkan perusahaan, satu hal yang tak boleh luput adalah membangun reputasi perusahaan dengan menuju service level customer satisfaction menjadi kunci dasar untuk mendapatkan customer loyalty dan akan menghasilkan customer retention yang sarat dengan indirect marketing positive of mouth. “Itu menjadi fundamental operasional dan service perusahaan kami,” terangnya. Peluang makin terbuka lebar, hal itu dijawabnya untuk kembali menimba ilmu, magister manajemen.

“Peluang itu harus saya sesuaikan dengan peningkatan keilmuan saya, tanpa harus mengganggu pekerjaan saya. Maka saya melanjutkan pendidikan di Universitas Pancasila program Pasca Sarjana, Marketing Manajemen di Kampus Jalan Borobudur Jakarta Pusat setiap sore dan saya memilih Kampus Universitas Pancasila karena dekat dengan kantor saya, bisa ditempuh hanya 10 menit.”

Tuhan begitu baik dalam kehidupan Mombang. Seiring waktu dan pertambahan jejang pendidikan yang disandangnya, dan makin mumpuni pengalamannya dengan mengikuti beragam pendidikan non formal, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Maka, perusahaan pun memberi tanggung- jawab dan jabatan baru. Karier terus menaik.

“Sejalan dengan pertumbuhan kinerja perusahaan, dari engineering manager meningkat menjadi General Manager setelah tanggung-jawab saya tidak hanya untuk engineering saja, tapi juga marketing dan beberapa tahun kemudian saya dipromosikan menjadi Direktur Divisi bisnis.” Perusahaannya terus bertumbuh, produk portofolio dikembangkan, area pasar yang digarap terus bertambah dan bisnis portofolio juga dibuka sehingga jumlah karyawan pun harus ditambah.

Awal tahun 2012 lalu, perusahaan Share holder dari Azbil Corporation Jepang dan Berca Indonesia sebagai pemegang saham  menilai kesetian dan reputasinya di perusahaan, maka dirinya diberi tanggung-jawab lebih besar, memimpin perusahaan sebagai Presiden Direktur. Hal ini menjadi sejarah pertama bagi Azbil Corporation Jepang memilih pimpinan cabang perusahaannya dari non-Japanese, seorang Putra Batak yang beragama Kristen pula.

Jabatan itu melecutnya untuk terus menambah pengetahuan dengan studi kembali, dia mengambil strata Doktoral. Maka filosofinya dalam berlajar, terus belajar, selagi masih ada waktu. “Kepercayaan ini sangat berat buat saya dan mengingat usia saya pada waktu itu tepat 45 tahun. Kepercayaan ini harus saya wujudnyatakan dengan terus meningkatkan kapasitas saya dalam kemampuan saya dalam manajemen, sehingga mendorong saya mengambil program Doktor,” ujar lulusan Doktor Universitas Padjadjaran, Bandung ini.

“Perkuliahan saya di Universitas Padjadjaran Bandung di program Doktor ilmu ekonomi dan bisnis dapat saya selesaikan selama tiga tahun, dengan predikat lulus cumlaude dengan IP 3.98. Nilai keilmuan kedoktoran saya adalah bagaimana membangun strategi bisnis yang berkelanjutan,” jelasnya lagi. Dalam penelitian disertasinya, Mombang menyebut, dalam membangun bisnis berkelanjutan, membutuhkan reputasi perusahaan yang memiliki nilai equitas dan nilai emotional, didukung kegiatan inovasi dan pengembangan produk portofolio, dan memiliki nilai keunggulan bersaing yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Hasil disertasi ini membuatnya semakin percaya diri, dan merasakan ilmu ini tak berhenti pada dirinya atau perusahaan yang dipimpinnya, tetapi harus diteruskan kepada generasi muda bangsa Indonesia, supaya setiap perusahaan besar atau perusahaan sedang menengah punya visi untuk membangun kinerja bisnis yang berkelanjutan.

“Membangun bisnis yang berkelanjutan membutuhkan komitmen pimpinan yang berjiwa kharismatik. Tak hanya berorientasi pendek menengah, tapi juga berorientasi panjang, karena perlu ada biaya yang harus dikeluarkan dalam membangun reputasi perusahaan sebagai investasi dalam membangun masa depan perusahaan, seperti pembangunan sumber daya manusia yang unggul sebagai asset perusahaan yang sulit ditiru pesaing,” jelasnya lagi.

Era Revolusi Industri 4.0

 

Di era ini setiap personal dituntut memiliki disiplin, punya atitude bagus dan memiliki pengetahuan. Masa di mana bermunculan banyak sekali inovasi-inovasi yang tak terlihat, tak disadari oleh organisasi mapan sehingga mengganggu jalannya aktivitas tatanan sistem lama, bahkan menghancurkan sistem lama tersebut.

Mombang melihat lain dan menekankan, untuk bisa eksis di era disruptif ini, seseorang mesti meninggalkan zona nyaman; dan harus kembali lincah dan gesit berkejaran dengan waktu. Selain itu fokus dan konstan pada tujuan agar persisten. Menurutnya, itulah yang membentuk mental seseorang menjadi smart.

“Di era Revolusi Industri 4.0 ini kita bertransformasi untuk memperbaiki diri. Jangan sibuk mengkritik orang lain lupa memperbaiki diri. Sebab orang yang tak menguasai teknologi dan mampu berselancar di era ini akan tertinggal.” Dia mencontohkan, budaya yang dibangun korporasi di Jepang, mereka maju dan sukses karena mereka memahami keadaan, mereka disipilin untuk terus berinovasi.

“Kita mesti mampu menghadapi tantangan pada zamannya di era Revolusi Industri 4.0 dan tak bisa menghindari tuntutan yang memaksa untuk lebih kreatif, inovatif, serta selalu melakukan pengembangan kompetensi yang dimiliki, disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Sebab di era Revolusi Industri 4.0 memunculkan tantangan baru, di antaranya, adanya perubahan perilaku pada generasi dalam konteks pembelajaran, hal itu diakibatkan oleh potensi distrupsi yang cukup tinggi pada setiap individu, kondisi dimana seseorang menjadi sulit memahami isu, sampai tak terverifikasi. Oleh karenanya, di era Revolusi Industri 4.0, setiap kita dituntut adaptif perubahan.”

Menurutnya, orang-orang yang sukses ke depan adalah orang-orang bukan saja menguasai teknologi, tetapi menguasai data, sebagaimana pernah dikatakan Jack Ma, perlu menguasai data berbasis pada mutu dan pasar. Maka tepatlah premis yang menyebut, siapa yang tak mampu beradaptasi dengan zaman akan tersingkir. Sebaliknya yang mampu beradaptasi, berselancar di atasnya yang survival.

Bagi Mombang mesti ada strategi dalam memacu pertumbuhan. Bahwa jelas, krisis ekonomi membuat semua langkah pendekatan tersebut terhenti untuk sementara waktu, tetapi orang yang selalu adaptif terhadap perubahan akan senantiasa optimistis akan perubahan, bahkan akan memacu daya juangnya dalam setiap perubahan. Masalahnya, adalah kegagalan untuk beradaptasi.

Karenanya, dia menghimbau, satu lagi pelajaran penting yang bisa kita petik dari runtuhnya kerajaan bisnis seperti Yahoo! Misalnya, adalah: jangan terlena dengan kesuksesan yang telah diraih. Masalahnya, bagi perusahaan-perusahaan yang sudah terlanjur besar, virus yang menggerogoti penyakit lembam seperti ini bukan merupakan sesuatu yang langka. Krisis ekonomi membuat semua langkah pendekatan tersebut terhenti untuk sementara waktu, tetapi orang yang selalu adaptif terhadap perubahan akan senantiasa optimistis akan perubahan, bahkan akan memacu daya juang dalam setiap perubahan, dan untuk bisa sinambung (sustainable) dalam jangka panjang.

Di era pembangunan ekonomi kreatif seperti ini, menurutnya, generasi muda dengan pemanfaatan teknologi digital seperti e-marketing dan e-commerce untuk melahirkan pengusaha ekonomi kreatif generasi muda. Nyatanya memang banyak perusahaan besar kolap oleh karena tak siap dan tak mampu mempersiapkan diri, yang menaik justru usaha-usaha yang dirintis generasi muda berbasis teknologi informasi. Padahal, prediksi datangnya era digital ini bukan tiba-tiba muncul.

Mombang juga aktif menulis gagasan dan pemikirannya. Termasuk tulisannya mengamati fenomena yang terjadi di masyarakat. Disinilah, menurutnya faktor kepemimpinan yang kuat dan visioner itu perlu ada. Dia mencontohkan misalnya, dalam tulisannya di kompasiana.com menyebut, perusahaan Fujifilm asal Jepang itu bisa konstan berjalan, berhasil menyelamatkan diri dari distrupsi dengan mentransformasi Fujifilm lewat inisiatif-inisiatif inovasi serta diversifikasinya, dari perusahaan fotografi menjadi korporasi sains yang multi-industri.

Peduli tanah Batak

Pria kelahiran Kota Dolok Sanggul, 6 Oktober 1966 ini beruntung ditopang keluarga. Sebagai sosok yang mobilitasnya tinggi, peran istrinya Linda Boru Marpaung, sokongan semangat dari ketiga anaknya;  Naudita Olivia Sihite, Darrell Matthews Hatoguan Sihite dan Nathania Isabella Ulibasa Sihite yang membuatnya terus antusias bergerak untuk memberi setitik arti di kehidupan. Di masa hidupnya, ingin mengabdi untuk kemaslahatan, terutama demi kemajuan kampung halamannya di tanah Batak.

Tentu, dia juga mengotokritik penerapan acara adat yang terlalu berlebih, mewah dan boros. “Banyak acara adat terlalu lama dan melelahkan, oleh karena banyak tambahan di luar esensi adat. Selain itu, bersifat eksklusif, kurang membuka pintu bagi anggota di luar suku Batak. Luncunya, apa yang diterapkan tak mudah dipahami dan diwariskan kepada generasi muda.”

Karenanya, dia memberi kritikal terhadap acara adat, agar perlu penjelasan konkrit titik-titik yang disorot sehingga generasi muda paham, bukan gagal paham terhadap kritik ini. Baginya, adat adalah identitas yang harus dijaga, tetapi harus bersifat komparatif, sehingga keunikannya mempunyai nilai kebanggaan. Sebab tuntutan globalisasi tak mungkin dinafikan. Maka perlu efektifitas dan efisiensi dan setiap ada peluang perbaikan untuk mengarah efisiensi, maka akan dilakukan perbaikan secara berkelanjutan. Tentu, ada sebagai identitas tak kehilangan maknanya, karena tuntutan efisiensi dan efektifitas.

Atas perhatiannya untuk kampung halaman, dia pun sudi memberi diri bagi tanah Batak. Atas dasar ingin pengabdian lebih luas, dia mencalonkan diri, maju menjadi Calon Legislatif di DPR RI dari daerah pemilihan Suamatera Utara II. “Saya tak mencari jabatan atau pekerjaan. Murni pengabdian untuk kemajuan masyarakat di kawasan Danau Toba.”

Tak membuat janji-janji palsu untuk kampanye. Murni mengajak masyarakat untuk tercerahkan. Menurutnya, orang sudah bosan dengan tataran teori, visi-misi, yang dibutuhkan sekarang bagaimana mengaplikasikan dalam tindakan, dari gagasan dan pikiran. “Rakyat sudah bosan dengan visi-misi. Sudah bosan dengan janji-janji kampanye, sudah tak waktunya kasih-kasih sembako, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mensubsidi pendidikan. Bahwa ke depan semangat pendidikan kita harus berubah.”

Dia melihat sekarang tak banyak lagi cendikia orang Batak dibanding etnis lain di Indonesia, padahal dulu orang Batak dikenal dengan taraf pendidikan yang mumpuni. Namun yang terjadi sekarang terlihat justru ketidakmampuan orang Batak mempertahankan kualitas pendidikan di masa lalu itu, malah cenderung melemah.

Karenanya, dia bergairah untuk menenguhkan kembali spirit, daya juang Batak untuk terus-menerus dapat ditumbuhkembangkan. “Sejujurnya, sejak dulu mental Batak dulu adalah pejuang. Orang Batak perantau daya juangnya tinggi. Siang kerja, malam bekerja. Hanya sekarang semangat juang mereka makin tergerus,” ujarnya prihatin.

Oleh karenanya, dia mengajak ada transformasi, sebagaimana slogan pemerintah Presiden Joko Widodo, revolusi mental. Maka baginya perlu juga ada semacam revolusi mental bagi orang Batak. Dia mengkritisi juga, filosofi Batak yang selama ini cenderung mengutamakan kekayaan. “Seolah-olah orang kaya itulah yang utama. Tetapi gereja juga berperan atas hal ini, hanya mengapresiasi orang yang kaya materi.”

Lalu, bagaimana memperbaiki itu? Menurutnya, yang pertama adalah mentrasformasi keluarga. “Keluarga harus ditransformasikan. Ketika keluarga tak bisa menjadi pondasi kita berpijak, membangun mental, maka susahlah untuk membangun sikap karakter tadi. Seseorang anak bisa teguh dalam daya juang tentu karena meniru keluarga. Ketika keluarga anggota keluarganya, saling menopang, sinergi terjadi.”

Hal senada dia lakukan sebagai kepala keluarga, Mombang konsisten dengan ungkapannya itu, walau harus memimpin perusahaan besar, dan di tengah-tengah kesibukan itu, masih juga memberi perhatian tugas di gereja, mengajar di beberapa kampus dan memberi perhatian ke beberapa organisasi yang juga memintanya membantu. Tetapi komunikasi dengan keluarga harus terus dibangun. Menurutnya yang penting kualitas komunikasinya, bukan kuantitas waktu berjumpa.

Lagi-lagi, ke depan, dia rindu kapasitas dan kapabilitas masyarakat Batak, terutama generasi muda makin maju pendidikan akademik dan karakternya. Karenanya, sebelum sampai ke tataran itu, dia mendorong adanya pendidikan budi pekerti, terutama karakter sejak usia dini dalam pendidikan dasar dan lanjutan itu dalam rumah, dalam keluarga.

“Intinya keluarga dan komunikasi terbangun dengan baik, agar saling memahami. Saya terapkan itu dalam rumah. Tatkala di rumah misalnya, saya ingatkan anak-anak, bahwa tugas mereka sekolah. Maka belajar itu yang nomor satu. Sementara jika kuantitas waktu dalam berjumpa dengan anggota keluarga memang sulit, saya menjelaskan dengan komunikasi. Yang penting sebenarnya kualitas berjumpa bersama dengan anggota keluarga; komunikasi suami istri bersama anak-anak dimaksimalkan. Semuanya harus terlayani dengan baik. Karena waktu yang lain harus dibagi,” ujar calon penatua di HKBP Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ini.

Potensi Danau Toba

Sebagai putra Batak, kelahiran Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Mombang melihat lain potensi pariwisata di lingkungan Danau Toba yang dikelilingi tujuh kabupaten, yang sekarang masuk zona Otorita Danau Toba. Baginya, keindahan alam Danau Toba tak kalah menariknya dibanding daerah lain di tanah air.

Masalahnya, selama ini jarang wisatawan melihat pemandangan Danau Toba oleh kurangnya pelayanan yang baik. Oleh karenanya, menurutnya, keindahan alam Danau Toba juga mesti ditransformasi menjadi salah satu destinasi unggul pariwisata di Sumatera Utara, khususnya di tanah Batak, dengan terlebih dahulu mentransformasikan mindset ramah untuk wisatawan.

Baginya, hal ini tentu bukan hanya impian tetapi harus diwujudkan. Benar-benar menjadi tujuan wisata unggulan di Indonesia. Betapa tidak, Danau Toba memiliki resources, sumber daya yang sarat dengan keunggulan komparatif yang tak dimiliki daerah lain. Selain itu, menurutnya, keindahan alam Danau Toba juga memiliki wisata situs-situs sejarah yang ada di hampir semua Kabupaten di kawasan Danau Toba; seperti sejarah berupa Istana Raja Sisingamagaraja di Bakkara, atau makam I.L Nommesen di Sigumpar, dan di wilayah seperti Samosir.

Maka keunggulan komparatif seperti ini mesti dikelola dengan baik sehingga ke depan kawasan Danau Toba sebagai tujuan wisata bisa memberi benefit bagi pemerintah daerah khususnya di kawasan ini. Hal itu bisa terjadi jika masyarakat juga bertransformasi menjadi masyarakat yang singap dan adaptif, ramah, tetapi identitas otentiknya tetap terpampang. Mombang memprediksi, ke depan pariwisata Danau Toba tumbuh menjadi tujuan wisata, bukan saja di Indonesia, tetapi di mancanegara. Karenanya, dia menghimbau, melihat terusnya pertumbuhan dan perkembangan menuju hal itu, masyarakat Batak juga harus siap secara mental, karena itu mesti menyiapkan diri.

“Saya berkerinduan ke depan kiranya tercipta  di era generasi mendatang, ada putra-putri Batak khususnya dari Tapanuli Raya bersaing di kancah Internasional, hal ini adalah kebanggan kita nantinya dan itu termasuk kerinduan pendahulu kita dan kita harus dorong itu untuk maju,” jelasnya, sembari menambahkan, kerinduannya dalam mengembangkan Danau Toba, dan mendirikan Universitas atau Politeknik di wilayah Tapanuli Raya.

“Saya terlahir dan berhasil dari dunia pendidikan, dan saat ini saya masih aktif di salah satu perguruan tinggi luar negeri. Pendidikan itu sangat penting, dan itu semua sudah kita tuangkan dalam rencana kita ke depan bagaimana caranya nanti ketika kita terpilih harus ada politeknik di wilayah kita, biar jangkauan pendidikan itu dekat dengan daerah kita, dan itu nanti termasuk dalam program kita, selain pengembangan pariwisata Danau Toba,” tandasnya.

Dosen Pascasarjana FEB Universitas Pancasila dan Universitas Mpu Tantular ini, juga menekankan pembangunan sarana infrastuktur menjadi kunci penting di dalam membuka isolasi daerah yang berpeluang menjadi destinasi pariwisata dunia ke depan. Selain itu, dia menyarankan, Pemerintah Daerah (Pemda) mesti juga adaptif terhadap perkembangan yang ada.

Bahkan, menurutnya, perlu membentuk team khusus untuk melakukan berbagai kajian-kajian seperti percepatan pembangunan destinasi pariwisata, termasuk mengundang investor untuk membangun fasilitas pendukung pariwisata. Oleh karena itu, perlu peningkatan pembangunan ekonomi masyarakat, dengan menggali potensi industri yang dapat menunjang pariwisata, dan memberikan fasilitas kemudahan dalam berinvestasi, melindungi masyarakat dari dominasi investor asing.

Menjadi inspirasi

Sebagaimana di atas sudah dikisahkan, menceritakan kisah  kehidupanya, sejak kecil sudah didik orangtua menjadi anak yang mandiri dan berbagai untuk sesama. “Masa kecil saya, saya sudah berdagang. Sejak kecil sudah kehilangan masa kecil. Semasa SD setiap pulang sekolah saya sudah dipercaya untuk menjaga toko. SMP saya sudah terbiasa disuruh untuk membuat cek mundur, yang tanda tangan kakak saya, karena sudah memiliki rekening di bank,” kisahnya.

Selain akar kedisiplinan ditanamkan dari keluarga, dia banyak belajar dengan budaya Jepang melatih dan menerapkan disiplin sejak masa kanak-kanak. Beruntung dia dididik dengan disiplin dari orangtua yang berjiwa wirausahawan mandiri. “Sebelum berangkat sekolah sudah harus buka toko, dan paling cepat tidur pukul sembilan malam. Itu masih kanak-kakak. Artinya, disiplin itu sudah ditanamkan oleh orangtua sejak kecil. Ketika waktu belajar pun tak ada waktu khusus, tetapi belajar sambil jaga toko. Demikian juga tatkala makan, tak ada waktu khusus, sambil makan jaga toko,” tambahnya lagi. Inilah yang membentuk karakternya. Sedari kecil sudah terlatih, maka ketika merantau pun karakter disiplin itu ditanamkan dalam sanubarinya.

Baginya, kesuksesan sesungguhnya tatkala hidupnya bermanfaat untuk orang lain. Itu sebabnya dalam kamus hidupnya, selagi hidup mengusahakan yang terbaik bagi sesama, paling tidak bisa menjadi pemberi semangat, dan menginspirasi generasi muda untuk jangan sekptis terhadap keadaan. Dia menyakini, bahwa Tuhan memberi kita masing-masing potensi, masalahnya bagaimana memunculkan potensi yang dimiliki itu untuk mampu memberi pembaharuan. Akhirnya, kerinduannya ke depan, generasi muda bangsa ini makin terus melaju, bisa berkontribusi dan berkompetisi di era ini. Tak hanya sekedar penikmat, menikmati kemajuan,  tetapi mampu memacu diri dan punya daya juang di era yang distrutif ini. (Hojot Marluga)

 

Biodata:

Nama Lengkap: Dr. Ir. Mombang Sihite, MM

Tempat/Tanggal Lahir Dolok Sanggul, Humbahas 06 Oktober 1966

Nama Bapak

Waldemar Juragan Sihite (+)

Nama Ibu

Kandung Nursia Manalu (+)

Nama Istri:

Herlina Lindawati Marpaung

Anak

  1. Naudita Olivia Sihite
  2. Darrell Matthews Hatoguan Sihite
  3. Nathania Isabella Ulibasa Sihite

Pendikan:

D3 Politeknik Universitas Indonesia Teknik Elektro, tahun 1986-1989

S1 Universitas Jayabaya Fakultas Teknik Elektro, tahun 2002-2004

S2 Universitas Pancasila Marketing Manajemen, tahun 2006 – 2009

S3 Universitas Padjadjaran Manajemen Stratejik, tahun 2014- 2017

 

Pengalaman Pekerjaan:

Tahun 2012 – Sekarang President Director PT. Azbil Berca Indonesia

Tahun 2009-2011 Director PT Azbil Berca Indonesia

Tahun 2003-2008 General Manager PT. Yamatake Berca Indonesia

Tahun 2001-2002 Senior Manager PT Yamatake Berca Indonesia

Tahun 1998-2000 Engineering Manager PT Yamatake Berca Indonesia

Tahun 1996-1997 Project Coordinator PT Yamatake Berca Indonesia

Tahun 1993-1998 Project Manager PT Berca Indonesia

Tahun 1990-1993 Project Engineer PT Berca Indonesia

Karya Ilmiah yang telah diterbitkan:

No Judul Tahun Penerbit
1 The Competitive Strategy in Green Building for Indonesia Stakeholder’s 2015 International Journal of Innovation and Technology – IJIMT
2 Business Performance Sustainability :A case of Industry of Building Automation Industry in Indonesia 2016 International Journal of Economics, Commerce and Management-United Kingdom
3 Gain Competitive through Reputation 2016 South East Asia Journal of Contemporary Business, Economics and Law
4 Corporate Sustainability Performance on Service Industry: A study of factors that Encourages Competitive Advantage for Industry Performance 2017 Sedang proses ke Scopus oleh Medwell Journal Scientific research publishing company
5 Competitive Advantage: Mediator of Diversification and Performance 2017 Sedang proses ke Scopus

Oleh 2nd Annual Applied Science and Engineering Conference – AASEC

6 Company’s Innovation and Cooperative Advantage as Sustainability Economic Support 2017 Sedang proses ke Scopus

Oleh the 1st International Conference on Research of Educational Administration and Management – ICREAM

 

 

Pdt. Banner Siburian, M.Th


Pdt. Banner Siburian, M.Th, Praeses HKBP Distrik XIX Bekasi

“Jalan Panjang Praeses Bekasi, 17 Tahun Menjadi Pendeta Pembantu”

JalanKu bukan jalanmu, rancanganmu bukan rancanganku demikian firman Tuhan, terasa pekat di jalan hidup Pdt Banner Siburian MTh. Pria kelahiran  Paranginan, 21 November 1966 ini, lahir di Desa Lumban Barat, Kecamatan Paranginan, Kabupaten Humbang Hasundutan (Paranginan sendiri kawasan di atas Danau Toba, dekat dengan Bandara Udara Silangit sekarang).

Awalnya, memang dirinya tak bercita-cita menjadi pendeta, tetapi tangan Tuhan membawanya menjadi hambaNya. Di masa kecilnya bersekolah minggu di HKBP Lumban Barat, Resort Paranginan, banyak membekali pemahaman antara mitologi budaya dan ajaran Kristen. Ada semacam dualisme. Sebelumnya, dia banyak mendapat cerita menjelang tidur tentang mistis dari neneknya yang belum melek tentang ajaran Kristen. Neneknya, selalu mengisahkan tentang sumangot (roh orang yang meninggal).

Kisah yang diceritakan neneknya sudah tentu saling berbenturan dengan yang diterimanya di sekolah minggu. Di umur sebelia itu, dia, sudah berpikir antara dualisme; pemahaman yang belum dicerahkan oleh Injil dengan spirit Injil. Namun dia beruntung, ajaran yang didapatnya di Sekolah Minggu, misalnya kisah tentang Sodom dan Gomora adalah kisah yang sangat luarbiasa memberi pesan agar jangan lagi melihat masa lalu. “Kisah itu mengajari saya, mengarahkan saya agar selalu memandang ke depan, tidak mengingat-ingat masa lalu,” ujarnya.

Sekolah Dasar dan SMP dilaluinya di Paranginan. Di SMP semangat melayani sudah makin dalam di hatinya. Lalu, di SMA dia pun aktif menjadi aktivis pemuda gereja. Namun ketika SMA dia harus pindah sekolah ke Kecamatan Siborongborong, bersekolah di SMA Negeri Siborongborong, karena di Paranginan waktu itu belum ada SMA, dia terpaksa harus indekos di Siborongborong. Sebenarnya anak dari Paranginan jarang sekolah ke Siborongborong, umumnya melanjutkan SMA ke Kecamatan Lintong Nihuta, kecamatan yang lebih dekat dengan kampungnya.

Jarak antara Paranginan ke Siborongborong lumayan jauh. Maka jadilah dirinya anak kos, tentu itu malah melatih mentalnya bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri, termasuk harus memasak sendiri. Dia dilatih mandiri. Lagi-lagi, pengalaman indekos itu melatih kemandiriannya, dan mengajarkan sikap mandiri padanya.

Tentu, sikap kemandirian tidak bisa dibentuk instan, membutuhkan proses untuk mengasuh kesabaran, sikap dan tingkah laku. Hanya sekali dalam seminggu kembali ke kampung halaman di Paranginan. Di Siborongborong dia dekat dengan seorang guru yang sekaligus pendeta di GKPI Siborongborong, S Situmorang.

Oleh kedekatan itu, dia diajar, dan hal membawa banyak implikasi bagi pemahamannya yang makin luas. Bahkan, dirinya dipercaya menjadi ketua naposo dan pemandu lagu di GKPI Siborongborong. “Saya dipercayakan membantu tugas pendeta. Oleh hubungan kedekatan ini setidak-tidaknya membantu membetuk karakter dan mental saya untuk makin berani dalam pelayanan,” kenangnya.

Dari kisah hidup keluarga pendeta Situmorang tersebut, dia banyak mendapat bekal pemahaman rohani, terbiasa melihat dan mengamati ritme hidup keluarga pendeta. Bagimana bersaat teduh dengan anak-anaknya, bagaimana melayani dan memimpin jemaat setidak-tidaknya memberi semangat untuk dirinya untuk juga meniru karakter gurunya. Dia merasakan kehidupan rohani (spiritual life); memiliki gairah rohani. Kehidupan doa, iman, dan ibadah.

“Saya kira pembentukan jiwa seseorang dimulai dari rumah,” tambahnya lagi. Di SMA dia merasakan suasana yang bahagia oleh pertumbuhan rohani. Walau waktu itu, belum ada cita-citanya menjadi pendeta, malah yang terbetik ingin jadi dokter.

“Sebenarnya cita-cita saya ingin menjadi dokter, tentu oleh karena kisah orangtua. Bahwa seorang dokter jika sekali menghormati pasiennya bisa membiayai hidupnya minimal satu bulan,” kisahnya. Oleh karena itu, ketika lulus SMA dia langsung mendaftarkan diri ke Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Hidup memang harus terus mengalir. Seleksi penerimaanya menyebut dia tak diterima menjadi mahasiswa kedokteran, tetapi tak membuat dirinya patah arang, dia menganti dengan mengikuti berbagai kursus bahasa Inggris dan kursus mengetik sepuluh jari. “Saya mengikuti kursus mengetik sepuluh jari, sebab dulu belum ada computer. Sebenarnya, maksudnya kalau-kalau tahun berikutnya bisa lagi test ke perguruan tinggi negeri,” tambahnya.

Di sela-sela mengikuti berbagai kursus itu, dirinya aktif di gereja HKBP Seagun Medan, Medan Barat, jauhnya hanya sepelemparan batu dari kampus. Keaktifan di gereja diteguhkan sering mengikuti kebaktian. Satu khotbah tentang; banyak yang terpanggil tetapi sedikit yang terpilih. Khotbah yang disampaikan pendeta W Silitonga, pendeta tersebut pendeta pensiunan tentara yang sangat banyak menulis lagu.

Tentu, yang membuatnya tersentuh adalah tentang penjabaran khotbah, makna menjadi pelayan. Pengkhotbah itu apik menjelaskan, begitu luas lahan tetapi hanya sedikit pekerjaan, maka masih dibutuhkan banyak pekerja yang memberi diri. “Yang membuat saya tersentuh, pendeta itu mengatakan, HKBP gerejanya sangat banyak, tetapi pendetanya sangat sedikit. Saat mengakhiri khotbahnya pendeta menantang jemaat, siapakah yang rela memberi diri untuk menambah yang sedikit ini?”

Khotbah itulah yang terus terngiang-ngiang di telinganya. Dia tersentuh, mendorong hatinya jadi pendeta, mengambil keputusan dan membulatkan tekad untuk sekolah pendeta, dan mendaftar di sekolah teologia Nommensen, Pematang Siantar. Ternyata, pendeta W Silitonga juga dosen musik gereja di STT Nommensen.

Tahun 1986 dia masuk kuliah dan lulus tahun 1991. Ditahbiskan ephorus waktu itu Pdt Dr. SAE Nababan setelah dua tahun lebih menjadi vikaris, semacam praktik lapangan sebelum ditahbiskan menjadi pendeta. Waktu itu, SAE Nababan sebagai ephorus HKBP membuat kebijakan bahwa setiap mahasiswa yang lulus dari STT Nommensen tidak boleh langsung diterima menjadi pendeta HKBP, harus diberi jeda panjang vikaris. Itu sebab, dirinya setelah lulus mesti mengikuti vikaris di HKBP Pamela di PTP IV di wilayah Lubuk Pakam lebih lama.

Setelah ditahbiskan menjadi pendeta untuk sesaat lagi menjadi pendeta di HKBP Pamela, dan kemudian dipindahkan ke HKBP Palembang menjadi pendeta mahasiswa. Saat itu, HKBP Palembang menyiapkan satu rumah diperuntukkan untuk tempat membina para mahasiswa yang kebetulan sekolah di Palembang dari wilayah lain. “Mereka tinggal bersama saya di rumah. Jadi, sudah semacam anak asuh saya, mereka misalnya tidak ada ongkos, belum datang kiriman orangtua dan macam-macam kesulitan yang dihadapi mahasiswa.”

Dia menjadi bapak pengasuh bagi mahasiswa, khususnya yang sekolah di Indrajaya dan di Universitas Sriwijaya, bahkan di Indralaya dibuat pos khusus pelayanan untuk mahasiswa. Beragam aktivitas mahasiswa digelar di sana, termasuk diskusi-diskusi internal tentang kehidupan yang dibuat di pos ini.

Dalam suasana pelayanan seperti itulah dirinya bertemu dengan perempuan tambatan hatinya, Damaris boru Siagian, yang kemudian hari menjadi istrinya. Perempuan tersebut adalah putri dari sintuanya di HKBP Kartini, Tebing Tinggi. Sebenarnya, kedua sudah pernah berjumpa, saat itu sudah ada bibit-bibit cinta, tetapi belum berani dia ungkapkan.

Si gadis waktu itu sudah guru di Sumatera Utara, hanya saja mau menjumpainya di Palembang, berhubung kakak si gadis ada di Palembang. Perjumpaan itu yang meneguhkan hati keduanya meneguhkan cinta yang dalam, komitmen mendirikan mahligai rumah tangga. Di Palembang keputusan menikah dibuat, namun pemberkatan nikah dilangsungkan di HKBP Kartini, Tebing Tinggi.  Selesai pernikahan kembali melanjutkan pelayanan di HKBP Palembang. Setahun kemudian, anak sulung diberi nama Karen Hotasi Siburian lahir.

Tak berapa lama lagi melayani di HKBP Palembang, Banner kemudian ditugaskan ke HKBP Maranatha Rawalumbu, Kota Bekasi. Saat itu, gereja ini belum menjadi resort, masih pagaran dari HKBP Rawamangun. HKBP Rawalumbu sendiri masih dalam pergumulan untuk membangun gedung yang saat itu masih berlantai tanah.

Di Rawalumbu ada banyak kisah suka duka, banyak dinamika terjadi, termasuk ada segelintir tetangga tidak setuju pembanguan gedung ibadah. Bahkan, ada satu kisah yang luar biasa, sebelumnya gereja yang sekarang, sempat dirubuhkan tetapi altar dan salibnya tak roboh.

Salah satu tugas yang dilakukannya di HKBP Rawalumbu adalah penataan administrasi jemaat. Namun, di cela-cela kesibukan pelayanan, dia juga melatih kembali menimba ilmu teologia dan mendaftar menjadi mahasiswa S2 di program magister teologia di STT Jakarta dibawah bimbingan dosen Dr Daniel Susanto.

Dalam suasana yang demikian, sebagai seorang kelapa keluarga, juga pemimpin jemaat sembari juga membagi waktu untuk kuliah untuk membekali diri. Bahkan, di tengah-tengah kesibukan yang ada dia juga tetap menambah ilmu dia, masih juga menyempatkan diri untuk menulis. Selain menulis renungan di kertas warta gereja, dia juga aktif menulis buku.

Sebenarnya, soal menulis dirinya sudah lama membebat diri menulis, bahkan berkali-kali muncul artikelnya di kolom opini koran SIB, majalah internal HKBP Immanuel dan Suara HKBP. Termasuk goresan tangannya kerap muncul di buku-buku kumpulan renungan HKBP terbitan Pematang Siantar.

Dia memahami sekali, bahwa kadang kalah khotbah bisa tertolong oleh karena sampiran dari tulisan renungan yang ada di warta. Artinya, jemaat bisa makin dilengkapi dari khotbah oleh tulisan-tulisan itu. Selain itu, menulis baginya, menolong untuk makin memperlengkapi dan lebih dalam menjelaskan firman Tuhan kepada jemaat. Selain itu, menulis baginya mengasuh cara berpikir yang struktur.

“Saya pahami bahwa menulis adalah memudahkan yang sulit menjadi mudah dipahami. Jadi, penulis yang hebat adalah jika mampu menyederhanakan yang sulit menjadi mudah dipahami. Intinya, bagaimana menyenderhanakan pokok-pokok yang berat menjadi mudah dipahami. Baginya, tugas penulis jaman ini, bahwa yang sulit dipahami jadi dibuat mudah dipahami.

Ketika melayani di HKBP Maranatha Rawalumbu Tuhan tambahkan anugerahNya, lahir anak kedua, ketiga dan si bungsu. Masing-masing anak pertama, Karen Hotasi Siburian, anak kedua, Carlos Tua Siburian, anak ketiga Kaisar Siburian dan anak ketiga Ebenezer Siburian. “Kami beri nama Ebenezer ini, karena dulu kami kira sudah hanya tiga anak saja, tetapi Tuhan tambahkan satu anak lagi.”

Memang, dia menikah sudah tergolong di umur matang, dan bersyukur diberikan Tuhan istri pendampin yang kokoh menopang tugas pelayanannya. “Saya menikah di umur 35 tahun, sementara istri sudah berumur 30 tahun. Inang sendiri sebagai seorang mantan guru memiliki kemampuan yang mendidik anak. Jadi, saya kira bahwa cara mendidik sudah pasti lebih baik dalam mendidik anak-anak,” jelasnya. Di kemudian hari istri berhenti mengajar di sekolah dan fokus mendidik anaknya.

Sebenarnya, waktu menikah, dia dan istri sepakat untuk juga tetap melayani sebagai guru, tetapi berhubung kondisi yang demikian tidak memungkinkan, mengajar sembari menjadi ibu rumah tangga, maka dirinya mempersilahkan agar istrinya untuk hanya mendidik anaknya. “Saya katakan pada istri waktu itu mendidik satu anak juga tidak kurang nilainya menjadi pendidik di sekolah dengan ratusan anak,” jelasnya.

“Kami sepakat inang kemudian berhenti untuk mengajar di lembaga pendidikan tetapi fokus mendidik anak-anak di rumah. Bahwa, mendidik anak di rumah tidak lebih rendah mendidik anak di sekolah…”

 

Dinamika melayani

Memilih jadi pelayan sudah tentu ada konsekwensi logis. Dia sendiri 17 tahun ditugaskan sebagai pendeta pembantu. Disebut tadi melayani banyak dinamikanya, banyak kisah suka dan duka dirasakannya, termasuk ketika itu, ketika pendeta resort HKBP Maranatha Rawalumbu Pendeta Hutagalung hendak emeritus, dirinya sudah mendapat promosi dari pusat untuk diposisikan menjadi pengganti sebagai pendeta resort.

Tetapi, entah apa yang terjadi penahbisannya sebagai pendeta resort tidak jadi, malah kembali ditugaskan menjadi pendeta pemuda di HKBP Rawamangun, induk sebelumnya dari HKBP Rawalumbu sebelum manjae.

Tentu, sebagai manusia dia agak kecewa, namun dia memahami yang terjadi, perubahan itu bisa terjadi karena dia tidak punya kedekatan dengan pimpinan pusat. Walau ephorus pun sebelumnya secara tersirat sudah menyampaikan agar mempersiapkan diri untuk memimpin jemaat HKBP Rawalumbu. Tetapi nyatanya tidak jadi. Dia kecewa? Dia tetap menerima apa adanya penugasan yang diberi pucuk pimpinan tersebut.

Membangun Syinantam

Pindah ke HKBP Rawamangun sebagai pendeta pembantu, tenyata dirinya disambut baik di sana. Bukan seperti informasi yang sering dia dengar, bahwa jemaat Rawamangun kritis pada pendeta yang baru. Ternyata, yang dirasakannya berkebalikan, malah dia diterima dengan baik. Sayang, di Rawamangun pun dia hanya sebentar, tidak sampai empat tahun, persisnya tiga tahun tujuh bulan. Padahal, di sana dia lagi getolnya membantu para pemuda dan komisi pendidikan untuk membangun Sekolah Minggu Syinnantam.

Belakangan, kata Syinnantam sendiri dipakai menjadi nama media informasi dan berita pelayanan HKBP Distrik XIX Bekasi.  Nama Syinnantam diambil dari Ulangan 6: 7, perintah Allah kepada umatNya. Kata Ibrani lebih bermakna sifat pengajaran yang terus-menerus, berulang-ulang sampai taraf.

Lagi-lagi disinilah kembali pergolakan batinnya “terpaksa” pindah. Hanya sebentar, tidak berapa lama melayani di HKBP Rawamangun, kemudian dia harus dipindahkan ke HKBP Dumai. Disanalah juga ada pergulatan batin, mengapa? Oleh karena sudah menjelang akhir tahun, sementara pendeta yang harus diganti pun belum pindah. “Waktu itu sudah menjelang akhir tahun, tepatnya tanggal 27 Desember. Pohon Natal waktu itu sudah dipajang. Saya tak bisa menjelaskan kepada anak-anak mengapa harus pohon Natal dicopot,” kenangnya.

Sebenarnya, dia meminta kepada praeses waktu itu, agar sudi memberi penugasan dipindahkan setelah akhir tahun. Namun, apa daya, tetap saja surat pindah tetap dikeluarkan. Menyingkapi hal itu, dia tak mau menjadi kegaduhan kedatangannya di HKBP Dumai atas penerimaan penugasan yang baru. Di tengah kondisi tak ada pelayanan beberapa bulan dia gunakan kesempatan itu untuk berkunjung ke Paranginan membawa istri dan anak-anaknya bersilaturahmi dengan orangtua dan keluarga. Di Jambi akhirnya pendeta resort setelah belasan tahun menjadi pendeta pembantu. Tetapi, itulah jalan Tuhan, baru menjadi pendeta resort dirinya dipercayakan menerima jabatan yang lebih taraf, jadi praeses, wakil ephorus satu wilayah.

Jadi praeses

Saat WTP Simarmata menjadi ephorus, dirinya dipercayakan menjadi praeses Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimatan Selatan. Tentu, melayani di Kalimatan, di sana banyak hal yang sangat baru baginya. Tantangannya adalah tempat jarak pelayanan yang sangat jauh, ada tiga provinsi harus dilayaninya dan sebagian wilayah ini masih terisolasi dan harus ditempuh dengan menggunakan kapal kecil dan perahu.

Luarbiasanya, sebagian wilayah pelayanan itu hanya bisa ditempuh menggunakan pesawat kecil yang punya baling-baling. Artinya, setiap saat nyawa bisa terancam. “Rata-rata jemaat disana didominasi oleh pekerja-pekerja tambang. Rata-rata pekerja buruh menengah, dan hanya dua orang pejabat eselon 3 dan 4 selebihnya rata-rata pekerja.”

Selain itu, di kepemimpinannya sebagai praeses semua jemaat terlayani, sebab para jemaat berkerja di tambang dan di perkebunan. Salah satu kebijakan kepemimpinannya bahwa setiap resort harus membuat satu pos pelayanan, gunanya untuk apa? Gunanya agar setiap pelayanan bisa menjangkau warga jemaat HKBP yang berkerja di pedalaman, di perkebunan dan di pertambangan.

“Jadi, saya bisa memahami jika hari-hari tentu gereja padat. Di Kalimatan khususnya yang ada di pedalaman bahwa jemaat bisa beratus kilo meter untuk bisa sampai ke gereja. Bisa dimaklumi mereka jarang ke gereja karena jarak yang sangat jauh, hanya datang jika pada hari-hari tertentu. Karenanya, dibuat ada pos pelayanan untuk menjangkau pelayanan mereka,” ujarnya lagi.

Pertama gerakan yang dibuatnya, satu resort satu pos untuk menjangkau warga jemaat pedalaman. Lalu, gerakan kedua adalah membuat pendeta zending. Karena itu, sebagai praese dia buat distrik menyediakan sepeda motor untuk pelayanan yang bisa menjangkau jarak jauh. Dan, semua pos yang ada sudah memiliki sepeda motor inventasi dari distrik untuk dipakai pos pelayanan setempat.

Selain itu, dibuat juga gerakan satu orang satu Alkitab. Dampaknya, banyak dari wilayah lain membantu mengirimkan Alkitab, termasuk sepeda motor untuk disumbangkan.

Di Kalimatan dia juga menggagas dibuat distrik center. “Saya memahami bahwa ke depan bahwa pergerakan manusia di negeri ini tidak lagi di Sumatera dan Jawa, tetapi akan ke Kalimantan. Maka HKBP perlu menyikapi dengan menyiapkan prasarana yang ada, oleh karena itu dia bertemu dengan gubernur untuk membicarakan distrik center.

Gagasan dan pemikirannya itu disampaikan kepada Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak. Distrik sendiri memiliki dua lahan, masing-masing 3 hektare dan empat hektare, dan gubernur sendiri lewat pemerintahannya menyumbangkan 2 milliar rupiah untuk Distrik Center ini dan dibangun kantor dan aula.

Lagi, di kepemimpinannya di distrik Kaltimsel juga membawa efek besar pada kemajuan pelayanan. Demikian juga saat pengantian ephorus, dia juga masih dipercayakan pareses di Distrik XIX Bekasi. “Sesungguhnya saya selalu siap mental untuk melayani diberi penungasan apa pun. Sebab bagi saya melayani itu harus total dan ihklas. Tohk saya sebelumnya juga selama 17 tahun hanya sebagai pendeta pembantu, jika tetap jadi pendeta jemaat kembali saya sudah siap mental,” ujarnya.

Bersahabat

Dia selalu tekun membangun persahabatan dengan saudara lintas iman, namun baginya persahabatan tidak melupakan objektifitas. Oleh karena itu, dirinya pun siap memberi masukan yang selalu membangun, tentu dengan bahasa-bahasa yang pantas dan patut termasuk kepada pemimpin.

Setelah dipercayakan kembali sebagai praeses di Bekasi, dia merasa bahwa perbedaannya sungguh berbeda dengan praeses di Kalimantan. Sudah tentu perbedaannya ada dinamika, alam dan masyarakatnya berbeda. Di Kalimantan misalnya, amat jarang dihadapi penolakan warga, berbeda di Jawa Barat, khususnya di Bekasi bahwa dinamika itu kentara sekali.

“Saya merasakan bahwa nilai-nilai pluralistas itu lebih terjaga di Kalimantan dibandingkan dengan di Bekasi. Satu contoh misalnya, saya tidak pernah sulit untuk berjumpat dengan RT dan RW, bahkan aparatur yang paling tinggi sekali pun. Tetapi, di Bekasi kesulitan itu terasa sekali, tidak mudah untuk mendekati para aparat di bawahnya.”

Menyadari hal itu, maka dia pikir tidak mungkin diterapkan seperti yang di Kalimatan. Dia pun punya kiatnya, “Pluralitas itu sudah terbangun dengan baik, maka pembangunan gereja akan terbangun dengan sendirinya, hal ini kebutuhan mendasar bahwa hubungan ini harus intens dilakukan.”

“Saya kira memang membangun hubungan yang kokoh itu harus dimulai dari saling membantu, saling empati, membangun silaturahmi yang intens dan terus berusaha untuk kebersamaan. Untuk bisa diterima, kita harus membangun nilai-nilai saling percaya, rasa curiga itu harus disingkirkan, jangan mereka merasa terancam oleh kehadiran kita,” kiatnya lagi.

Artinya, kehadiran gereja tidak menjadi batu sandungan kepada masyarakat setempat, tetapi menjadi berkat. Tentu, tidak ada juga gunanya juga para pendeta pintar berkhotbah, padahal soal implementasi membangun hubungan dengan warga setempat nir sekali. Kuncinya adalah saling membangun kepercayaan. Bahkan, HKBP sendiri menganut moto ini; insklusif dialogis dan terbuka.

Spirit ini tentu bukan hanya slogan. Bukti konkrit yang dikatakannya, misalnya, di tempat tinggalnya di Pulo Gebang, Jakarta Timur, dia ingin menghilangkan pemikiran dari segelintir warga yang menganggap bahwa para pendeta itu tertutup.

Maka, setiap ada rapat RT di wilayahnya itu Banner selalu menyempatkan diri hadir sebagai peserta, barangkali hanya mendengar, tetapi bisa merasakan suasana batin dari pada warga, bahkan, rapat amat sering digelar di aula masjid, dan dia hadir untuk menunjukkan bahwa orang Kristen tidak alergi akan hal itu. Bahkan, dia dipilih menjadi seksi kerohanian di tempat dia berada. “Kita mau tunjukkan kepada saudara kita, sebenarnya bahwa kita juga sangat terbuka,” jelasnya.

Sebagai  Praeses HKBP Distrik XIX Bekasi, dirinya juga selalu menekankan apa yang menjadi kebijakan Pearaja Tarutung. Contohnya untuk tahun ini (tahun 2018) adalah Tahun Kesehatan dan Lingkungan yang menekankan bahwa sehat dan sakit bisa dipakai Tuhan untuk menyapa umatNya. “Tuhan bisa menyapa orang yang sakit tetapi Tuhan juga bisa menyapa orang yang sehat.”

Maka, untuk mensukseskan program HKBP 2018 di  Distrik XIX Bekasi dia mendorong gereja di Bekasi juga untuk aktif menjaga kesehatan dan memelihara lingkungan. Dia berharap agar seluruh lingkungan gereja di HKBP Distrik XIX Bekasi juga menanam pohon. Dia juga menitipkan pesan pada walikota dan bupati yang ada di kotamadya dan kabupaten Bekasi agar juga memberi perhatian pada pengurusan izin gereja HKBP di Bekasi.

“Dari 28 jemaat di HKBP Bekasi baru 11 gereja baru mendapat izin. Artinya ada 17 lagi gereja HKBP di Bekasi yang belum mendapatkan izin. Karena itu, kami berharap pemerintah daerah bupati dan walikota memberi perhatian,” harapnya.

 

 

 

 

Tumbur Naibaho


Adalah Tumbur memulai usaha koperasi sebenarnya sejak menjadi staf di Bumi Asih Group. Bumi Asih sendiri didirikan oleh Karel Mompang Sinaga. Tumbur sebagaimana diartikan dalam bahasa Batak, artinya terus bertumbuh. Apa yang ditanam terus bertumbuh. Sebagai karyawan ketika itu dia mesti mengencangkan ikat pinggang, intinya menghemat biaya. Saat memulai keluarga, dirinya tinggal di Paseman daera Salemba Jakarta pusat. Pilihan itu dibuat karena saat itu istrinya Jusniar boru Simbolon sebagai seorang perawat di Rumah Sakit St Corolus.

Tetapi, ketika putri tiga, dan membutuhkan konsetrasi penuh untuk mendidik ketiga putrinya, Tumbur meminta istrinya agar melepaskan pekerjaan sebagai tenag medis di rumah sakit, dan konsentrasi mengurus anak. Oleh karena istri konsentrasi mengurus anak, mereka pun pindah ke Tambun, Bekasi. Rumah yang sebelumnya mereka sudah beli. Sementara di Jakarta mereka masih mengontrak.

Dan, di Tambun kemudian putra satu-satunya lahir. Tumbur sendiri juga mensiasati biaya yang makin besar dengan memulai koperasi yang dikelola masih swadaya di rumahnya, sembari dia menambah ilmu master manajemen. Waktu itu dari perusahaan memang ada jatah untuk mendapat beasiswa untuk kuliah, namun waktu itu belum gilirannya, maka jadilah dia kuliah dengan biaya sendiri.

Naik bus dari Jakarta ke Tambun. “Saya memulainya dari nol. Tidak langsung maju, berhasil. Saya dulu hanya punya sepeda motor. Dan kalau ke Jakarta naik kereta api, kalau tidak naik bus. Itu sambil kuliah, setelah pulang kerja,” ujarnya menjelaskan kisah hidup yang dialaminya.

Tahun 2005, dia mulai melatih diri berjiwa entrepreneur dengan membuka kantor Cabang Koperasi Bersama Mandiri (KBM) berkantor di rumahnhya, Perumahan Griya Asri 1 Tambun. Lalu, tahun 2007, dia melihat bahwa PT Asuransi Jiwa Bumi Asih (BAJ) sepertinya tidak sehat lagi. Saat itu, perusahaan dia sudah 20 tahun bekerja mulai tak stabil lagi. Terlihat dari mulai sebagian karyawan dilakukan pemutusan tenaga kerja. Membaca situasi itu, Tumbur bukannya mundur malah berselancar sengan gelombang yang ada.

Dia adaptif terhadap situasi itu dan memulai usaha koperasi. Dari keadaan yang kritis itu memacu dirinya  untuk terus mengembangkan koperasi. Maka, saat itu dia membangun brand dendiri, jadilah koperasi Makmur Mandiri. Dan memberanikan diri memindahkan kantor dari rumahnya ke Ruko Niaga Kalimas Bekasi Timur. Koperasi yang sebelumnya dia kerjakan sendiri, sekarang dikelola dengan propesional.

Apalagi pengalaman yang dimilikinya di bidang asuransi, pasat modal dan dana pensiun juga mengelola koperasi BPR miliki Bumi Asih. Maka, Juni 2009 dia memberanikan diri mendirikan Koperasi Makmur Mandiri dengan pertama mengajak 25 orang sebagai anggota pertama, dari kerabat,  sahabat dan relasi. Namun, saat itu koperasi yang didirikan adalah di wilayah Kabupaten Bekasi. Sudah tentu likupan jangkaunnya terbatas.

Tahun 2011 digelarlah Rapat Anggota dan sepakat untuk mengembangkan usaha lebih menasional diganti nama menjadi Koperasi Prima Nasional dan memindahkan kantor pusat dari Kabupaten ke Kota Bekasi, di wilayah Pondok Ungu, Bekasi Selalatan. Dan fokusnya unuk Simpan Pinjam. Melihat perkembangan yang ada maka kantor pusat kembali dipindahkan  ke jantung Kota Bekasi. Desember 2014, Koperasi punya kantor sendiri di Ruko Suncity Square Blok A/8 Bekasi Barat.

Bertangan dingin

Pengalaman adalah guru paling berharga. Ungkapan bijak itu tepat untuk menggambarkan perjalanan Tumbur Naibaho dalam mengelola koperasi. Sebelum dipercaya menjadi Ketua Koperasi Simpan Pinjam Makmur Mandiri seperti sekarang, pria kelahiran Sumatera Utara, 29 Januari 1965  ini pernah menjadi pengelola koperasi karyawan di salah satu perusahaan asuransi swasta. Sehingga, ia tidak canggung ketika dipercaya oleh anggota untuk memimpin koperasi.

Bagi pria yang hobi travelling ini, mengelola koperasi itu menyenangkan karena bisa membantu masyarakat di tingkat akar rumput. Apalagi segmen pasar Koperasi Makmur Mandiri memang membidik kalangan masyarakat kecil. Ini terlihat dari rata-rata plafon pinjaman yang sebesar Rp4 juta per anggota. “Senang rasanya bisa membantu usaha orang kecil dan menciptakan lapangan kerja,” ujarnya.

Sebagai sarjana matematika, ia terbiasa berpikir logis dan mendetail. Kebiasaan ini terbawa dalam mengelola koperasi. Strategi pengembangan usaha dilakukan dengan perencanaan yang matang dan rinci. Hasilnya terlihat dari kinerja Koperasi yang kinclong. Dibawah “tangan dingin” Tumbur, usaha KSP Makmur Mandiri terus berkembang yang ditandai dengan jaringan kantor yang  bertambah. Selain itu, kepercayaan masyarakat terus meningkat dengan tumbuhnya jumlah anggota. “Semua ini berkat kerja sama tim dan dukungan anggota,” pungkasnya dengan nada merendah.

KSP Makmur Mandiri didirikan pada Juni 2009. Sampai Januari 2018, Koperasi ini  memiliki jaringan 86 Kantor Cabang di 13 (tiga belas) provinsi, dan didukung hampir 1.000 orang karyawan. Dimasa mendatang, diharapkan KSP Makmur Mandiri akan semakin banyak berperan dan turut membantu pengadaan lapangan kerja.

Prof. Dr. Victor Purba, SH, LLM, MSc


Prof. Dr. Victor Purba, SH, LLM, MSc bukan seorang yang tersohor, bak seorang artis. Tetapi, perannya sangat besar dalam Pengembangan Korporasi di Indonesia, ahli hukum ekonomi. Kemampuan akademiknya tak pernah diragukan lagi, hanya saja jarang terpublikasi. Termasuk membangun kampung halamannya. Pria kelahiran Aek Lung, Dolok Sanggul ini adalah seorang pedagogi sejati, guru besar hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Dia adalah salah satu inisiator dari berdirinya Kabupaten Humbang Hasundutan. Pemikirannya bahwa pendidikan membawakan orang tercerahkan, jikalau sudah tercerahkan maka banyak inisiatif yang bisa dilakukan. Saat proses pendirian Kabupaten Humbang Hasundutan, tatkala rapat dengan tokoh-tokoh Dolok Sanggul dia mengatakan, bahwa pembangunan utama Kabupaten seutuhnya harus melalui pendidikan. Jangan melupakan peranan pendidikan untuk memulai pembangunan. Tentu yang dia maksud bukan hanya memiliki gelar akademik. Sebagaimana kata dasar pendidikan adalah kata didik. Didik berarti memelihara dan memberi latihan tentang akhlak dan kecerdasan pikiran.

Sedangkan, pendidikan memiliki arti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Jadi, bukan hanya memiliki jenjang gelar akademik semata. Karena itu, dia selalu berpesan agar meningkatkan mutu pendidikan di Humbang Hasundutan, bahkan dia berjanji saat itu siap mendatangkan para profesor untuk memberikan pendidikan di Humbang Hasundutan. Termasuk tatkala dirinya terpilih sebagai seorang panelis dalam debat kandidat pilkada Humbang Hasundutan tahun 2005, dia selalu menekankan kepada para kandidat bahwa faktor pendidikan sebagai  salah satu misi terpenting dalam kemajuan pembangunan  Humbang Hasundutan.

Pemikirannya bernas, sebagai ahli di bidang hukum ekonomi, dia selalu mengajak menanggapi  kemajuan global  tanpa meninggalkan budaya. Tentu, bagaimana menata karakteristik, kemampuan intelektual lewat kesesuaian     pekerjaan. Lalu, didukung langka-langkah yang optimal untuk menggapai nilai, kesetiaan dan perilaku yang konsisten. Kekonsistenannya terlihat, jauh sebelum booming perantau membangun perpustakaan, dia bersama dengan RM Purba telah membangun perpustakaan di desanya, perpustakaan di SD Aek Lung, Dolok Sanggul. Dia berharap perpustakaan itu dimanfaatkan semaksimal mungkin, dan berpesan kepada anak-anak dari kampungnya agar suka membaca.

Bahkan, di awal-awal mendirikan perpustakaan tersebut, dia menekankan setiap anak yang bisa menulis satu paragraf dari setiap buku yang dibacanya akan mendapat hadiah, apalagi jika bisa merangkai tulisan atau membuat cerpen akan mendapat hadiah lebih. Hanya sayang semangat yang membara itu tak disambut dengan baik, perpustakaan ini tak terdengar lagi rimbanya, dan sampai hari tak pernah terdengar lagi seorang tokoh sekaliber Prof. Dr. Victor Purba SH, LLM Msc, atau seorang penulis yang menggeluti dunia perbukuan seperti harapannya dari kampungnya.

Padahal, Victor sudah berusaha untuk memotivasi anak-anak disana agar menulis. Tentu, untuk semangatnya itu, maka setiap liburan paskah dia pulang ke kampungnya bersama keluarga. Saat itu, selain dosen Fakultas Hukum UI dia duduk sebagai legal adviser perusahaan perkebunan milik orang Eropa di Sumatera Utara. Maka setiap pulang ke Aek Lung dia mendapat fasilitas kendaraan, dan yang membuat di mudah pulang ke Dolok Sanggul untuk memotivasi anak-anak agar gemar membaca buku.

Kecedikiaannya diapresiasi kalangan nasional, salah satu misalnya, dirinya tercatat sebagai nasasumber pada seminar nasional Penegakan Hukum. Seminar ini adalah seminar pembangunan hukum Nasional VIII yang diselenggarakan Badan Pembinanan Hukum Nasional Departemen Kehakimanan dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di Kuta, Bali, 14 – 18 Juli 2003. Dia didaulat sebagai narasumber, membicarakan Pengembangan Berbagai Bentuk Koporasi kepada pelaku ekonomi di Indonesia.

Semasa hidupnya telah mencoba memberikan yang terbaik, dan meninggalkan makna yang terdalam, menggoreskan karya. Namun, pada Kamis 2 Agustus 2007, dia dipanggil keharibanNya. Tentu, bukan hanya keluarga besar Purba yang kehilangan, segenap civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) juga berduka karena kehilangan salah satu guru besar terbaiknya. Prof Dr Victor Purba SH LLM MSc, pakar hukum ekonomi. Almarhum berpulang di Rumah Sakit Kanker Dharmais oleh karena penyakit kanker paru. (Hojot Marluga/diolah dari berbagai sumber)

Dr. Maruli Siahaan, SH, MH


maruli-siahaan-medansatu

Profil Lengkap

Nama Lengkap: AKBP Dr Maruli Siahaan, SH, MH

Lahir: Siborong-borong, 3 April 1961

Orangtua:

Istri:

Betty boru Simanjuntak

Anak:

  • Lettu (Inf) Jimson Andre Siahaan (27)
  • Lettu TNI Dedy Surya Putra Siahaan (26)/menantu Raramita Prapanca ANR Boru Simanjuntak
  • Triboy Alfin Siahaan (23)
  • Ferry Christanto Siahaan (19)

Pendidikan Formal:

  • Tahun 1987 gelar Sarjana Hukum  (S1) dari Fakultas Hukum Universitas Darma Agung (UDA), Medan
  • Tahun 2008 gelar Master Hukum (S2) dari Universitas Jaya Baya, Jakarta
  • Tahun 2014  gelar Doktor S3) bidang Administrasi Publik diraih dari Universitas Brawijaya, Malang

Karier:

  • Tahun 1982 masuk Bintara Polri dan merintis karir pada bidang Diskomlek Poldasu (6 tahun)
  • Tahun 1983 Dikjurba Komlek Bandung
  • Tahun 1986 Dikjurba Serse Bogor
  • Tahun 1988 bertugas di Polsek Deli Tua (6 bulan)
  • Tahun 1988 bertugas di Polsek Medan Baru (6 bulan)
  • Tahun 1989 Resum Poltabes Medan Sekitarnya (6 bulan)
  • Tahun 1990 Vice Control (VC) Poltabes Medan (8 bulan)
  • Tahun 1991 Sekolah Secapa Sukabumi angkatan ke-19
  • Tahun 1992 Kasubnit VC Poltabes Medan
  • Tahun 1993 Pjs Kanit VC Poltabes Medan
  • Tahun 1994 Perwira Dasar Serse
  • Tahun 1994 – 2000 Kanit VC Poltabes Medan.
  • Tahun 1998 Perwira Lanjutan Serse.
  • Tahun 2000 Kapolsek Teladan
  • Tahun 2001 Kapolsek Medan Baru
  • Tahun 2002 Pjs Kasat Reskrim Poltabes Medan
  • Tahun 2003 – 2005 Kasat Reskrim Poltabes Medan
  • Tahun 2005 – 2006 Kaur Min Korwas Bareskrim Mabes Polri
  • Tahun 2006 BKO ke Poso Polda Sulsel (4 bulan)
  • Awal 2007 Lemdiklat Bareskrim Polri (5 bulan)
  • Pertengahan 2007 pindah ke Polda NTT (Kabag Bindiklat)
  • Akhir 2007 Kasat I Direktorat Reserse Polda NTT
  • Tahun 2008 pindah ke Polda Jatim (Kanit Dit Narkoba)
  • Tahun 2009 meraih pangkat AKBP dan bertugas di Bidkum Polda Jatim
  • Tahun 2010 – 2014 Kasubdit Tipiter Krimsus Polda Jatim
  • Bulan Juni 2015-sekarang Wakil Direktur Krimsus Polda Sumut

Penghargaan:

Tahun 2003 menerima Satya Lencana Kesetiaan 8 tahun dari Kapolri

Tahun 2004 menerima Satya Lencana Kesetiaan 16 tahun dari Kapolri

Adagium menyebutkan, sebaik-baik seseorang adalah diri yang paling bermanfaat bagi orang lain. Bermanfaat untuk sesama, tentu kerinduan seluruh insan, hanya saja tak semua mau dan mampu mewujudkannya. Hanya orang-orang yang ihklaslah yang mampu menjalani dan mewujudkannya. Dampaknya sebagaimana filosofi di kehidupan “Apa yang ditabur itulah yang dituai. Kebaikan yang dilakukan akan kembali untuk kebaikan diri.” Rasanya, filosofi itulah yang dianut dan dijalani AKBP Dr Maruli Siahaan SH MH, 55 tahun.

Wakil Direktur Krimsus Polda Sumatera Utara ini, di tengah-tengah kesibukan menunaikan tugas negara, dia tak pernah melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, bahkan bermanfaat untuk orang lain. “Saya selalu menomorsatukan keluarga dan tugas. Tak pernah menomorduakan keduanya apalagi mengabaikan. Lebih dari itu, kita berusaha membantu oranglain.” Baginya itu semua bisa disiasati dengan memprioritaskan yang utama.

Sebagai pejabat polisi di Polda Sumut, tugasnya tak boleh dilakoni setengah hati. “Meniti karier dan memberhasilkan anak adalah keseimbangan.” Dirinya bukan tipe orang yang memotivasi orang lain, sebelum memiliki contoh yang kokoh di keluarganya. Semangatnya menjadi teladan menjadi seorang pembelajar diperlihatkannya dengan antusias menjadi polisi yang haus ilmu. Maruli tak puas hanya menjadi sarjana, bahkan studi ke tingkat doktoral juga digapainya.

“Soal mendidikan anak-anaknya dengan disiplin, gigih, tekun dan keteladan itu pendting.” Maruli dikarunia Tuhan empat putra dari pernikahannya dengan istri terkasih, Betty boru Simanjuntak. Sendari kecil, keempat anaknya dididik dengan disiplin dengan nilai-nilai agama dan budaya. “Sebagai seorang Kristen dan seorang Batak yang otentik. Tentu, sebagai ayah saya menyadari peran ayah, tetapi itu juga diperkukuh didikan dari istri,” ujarnya memuji istrinya, sebagai seorang perempuan yang berhasil mendidikan buah hatinya. “Istri saya ibu yang lembut, tetapi tegas jikalau sudah mengajari anak. Bahkan akan terlihat cerewet.”

Empat jagoan

Dalam tuntutan tugas berdinas, dia mengaku tetap konsisten menanyakan keadaan dan keberadaan keempat anaknya, meski hanya melalui handphone, perhatiannya untuk anaknya tak pernah lupa dilakukan. Baginya, membesarkan anak tak cukup dengan menyekolahkan dan memberinya kebutuhan fisik saja, tetapi juga bagaimana membangun sikap mental, karakter budi baik. Menurutnya, komunikasi dengan anak secara intensif diperlukan agar memahami hubungan perasaan. “Agar jangan nanti setelah besar lulus sekolah, sulit bagi orangtua mengajaknya bicara. Malah bertanya-tanya, mengapa komunikasi dengan anak makin sulit dilakukan? Padahal orangtua selama ini tak membangun komunikasi dengan baik.”

Dia menambahkan, “Jadi, yang saya lakukan hanyalah mendampingi ibunya, istri yang lebih banyak membimbing keempatnya. Sementara untuk memantu aktivitas mereka? “Saya mengkordinasikan silang, mencek keberadaan mereka. Misalnya si adik bertanya abangnya, dan abangnya menanyakan keberadaan adiknya. Disana terjadi komunikasi dan kesalingpedulian antara kakak dan adik.”

Lalu, bagaimana mereka ketika remaja, menjelang akil balig. Sebab kerap di masa itulah anak kerap perlu pembimbingan lebih? “Masa remaja mereka diberikan kebebasan bertumbuh. Tentu dikontrol. Namun sifat mengontrolnya berkomunikasi. Contoh lain, soal proses belajar di rumah, anak-anaknya harus saling mengingatkan untuk belajar mandiri. Jika ingin ada extra belajar, misalnya bahasa Inggris harus dileskan, iya kita leskan,” ujar penerima dua kali Satya Lencana Kesetiaan dari Kapolri ini.

Satu rahasia yang dilakukannya menjadikan dirinya sahabat anak-anaknya. “Saya selalu menempatkan anak-anak ini menjadi teman. Mereka itu adalah teman-teman saya. Misalnya, kita orangtua harus juga jeli untuk mengembangkan sikap mental anak-anak kita. Jangan kita tanya anak kita mereka bilang lagi belajar. Padahal, kita juga tak perhatian bahwa mereka bukannya belajar tetapi malah bermain di kamar. Kalau merasa teman akan terbuka.”

Selanjutnya, setelah anak-anaknya lulus ditingkat sekolah menengah atas, Maruli sebagai ayah mengarahkan keempatnya menemukan passion, panggilan jiwanya untuk masa depan masing-masing. “Saya tanya mereka, kalau sudah di SMU. Apa cita-citamu nak? Saya tak paksakan mereka untuk menjadi angkatan, tentara atau polisi. Tetapi, entah mengapa sejak anak pertama ikut akademi perwira, ketiga adiknya juga mengikut,” ujarnya. Tentu, untuk pilihan itu, sebagai ayah dirinya tak memaksa. Merekalah yang membuat pilihan. Sebagai orangtua yang telah banyak makan asam garam di kehidupan, Maruli hanya memberi arahan apa-apa yang perlu disiapkan untuk persiapan mengikuti pendidikan di Akmil atau Akpol.

Tentu, selain latihan fisik dan mental juga pendidikan yang mumpuni di pengetahuan umum dan sains. Maka, begitu anak pertama ingin melanjutkan ke Akmil, dilakukan cek fisik. Apa-apa yang kurang bekal untuk dimiliki untuk mempersiapkan diri melamar. Tentu kalau ditemukan kekurangan masalah dalam fisik, maka perlu digembleng, Maruli menyuruh orang untuk pengemblengan fisik anaknya. Begitu seterusnya. Pun anaknya nomor dua sendiri agak berbeda, karena dia sendiri yang langsung melamar.

Anak ketiga masuk ke Akpol dan keempat masuk ke Akmil Angkatan Laut. Anak bungsunya malah sebelumnya sudah mendaftar, lalu kalah, masuk ke Universitas Sumatera Utara, kemudian tahun depannya mendaftar lagi. Sebagai ayah tentu dia dan istri merasakan kebanggaan tersendiri. Tak berhenti bersyukur dan memberi nasihat dan selalu memotivasi anak-anaknya agar mereka jangan menyiayikan kesempatan pendidikan yang mereka terima. “Saya selalu katakan, saya sendiri tidak diterima di pendidikan perwira. Kalian diterima di pendidikan akademi perwira, maka kalian harus jadi lebih baik dari bapak. Harapan bapak kalian kelak bisa jadi jenderal,” harapnya.

Saat ini, putera sulungnya Lettu (Inf) Jimson Andre Siahaan (27) baru selesai menjalankan misi militer di Sudan dan bertugas di Poso. Sementara, adiknya Lettu TNI Dedy Surya Putra Siahaan (26) bertugas sebagai Kasub Provoost Wirasaba (TNI AU). Putera ketiganya Triboy Alfin Siahaan (23) lulus Taruna Akpol, serta dijadwalkan menyandang pangkat Inspektur Polisi Dua (Ipda) pada akhir Juli 2016 akhir. Sementara, anak sibungsu Ferry Christanto Siahaan (19), masih mengikuti pendidikan di Akmil Angkatan Laut (AAL).

Selain itu, tatkala keras pesannya adalah, sikap hormat pada yang lebih tua. “Tunjukkan sikapmu yang baik. Rendah hati. Jangan kalian kalau sudah lulus perwira, lalu ketika ketemu kopral di lapangan, kalian tak hormat. Hormatilah oranglain dari umurnya, bukan dari pangkat atau gelar pendidikannya,” demikian nasihat kepada keempatnya. Kini, kemana pun keempat anaknya bertugas, pesan bapaknya selalu tergiang-giang. “Menghormati oranglain bukan dari pangkat atau titelnya.” Maruli menyadari betul makna ungkaoan Batak Anakkon Ki Do Hamoraon di Ahu. Anak sebagai kekayaan baginya. “Berkat Tuhan melengkapi saya dan isteri dengan pencapaian yang anak- anak kami dapat,” ujarnya.

Keempatnya didik bukan karena pemaksaan darinya, mereka menjadi perwira. Tetapi, sebagai orangtua selalu dengan sabar mendidik keempat jagoaanya dengan kasih dan keteladan. “Sejak kecil kami didik mereka dengan kasih. Mengajarkan teladan sebagai orangtua. Kami tak mendidik mereka dengan uang dan kemewahan. Kami mendidik mental dan sikap dalam menjalani hidup,” tambahnya.

Kini, anak kedua sudah menikah. Pada pernikahan anaknya itu terlihatlah kecedikiaannya membangun relasi, termasuk pada seniornya hadir di perhelatan itu.  Saat itu, hadir Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti pada pernikahan anaknya Lettu Pom Deddy Surya Putra Siahaan S.St. Han, putra keduanya yang dilangsungkan, di Gereja HKBP Sei Agul, Sabtu (19/12/16) dan resepsi pernikahan di Hotel Tiara.

Tak hanya Kapolri, resepsi itu juga dihadiri puluhan jenderal, teman-teman dekatnya seperti mantan Kapolri Timor Pradopo, Komjen Pol Sopjan Jacoeb, Kapoldasu Irjen Pol Ngadino, Komjen Pol Ismerda Lebang, Irjen Pol Wagner Damanik, Irjen Pol Primanto, Mayjend TNI Fransen Siahaan dan beberapa jenderal dan para purnawirawan lainnya. Selain itu, sejumlah pejabat juga turut hadiri antara lain anggota DPR RI Trimedia Panjaitan, Gubsu HT Erry Nuradi. Hal ini menandakan bahwa Maruli lekat di hati banyak orang. Itu juga sebab banyak harapan dari tokoh dan komunitas Sumatera Utara memintanya mencalokan diri menjadi gubernur.

Setiap melangkah berdoa

Modalnya, setiap langkah didahulukan dengan doa. Dia tahu benar kuasa doa. Masih bening dalam benak pria kelahiran Sibrorongborong 3 April 1961 ini, kerap diajarkan kedua orangtuanya; Marden Siahaan dan N br Sihombing (keduanya sudah almarhum) untuk rajin ke gereja dan membaca firman, dan tak jemu-jemunya berdoa, kenang anak keenam dari sembilan bersaudara itu.

Masa-masa kecil penuh kenangan dilaluinya di daerah itu. “Saya sekolah di SD Lobu Siregar dan ST Siborongborong. Orangtua saya hanyalah petani,” kenangnya. “Jadi seluruhnya hanyalah karena anugerah Tuhan.” Dari anak-anak hingga remaja dilaluinya di tempat kelahiran. Tahun 1979, Maruli baru hijrah ke Kota Medan dengan melanjutkan jenjang pendidikan ke sekolah kejuruan STM Negeri II, lulus sekolah dirinya menguji peruntungan. Lalu mendaftar masuk ke Sekolah Calon Bintara (Secaba) Polri. Tuhan mengabulkan doanya, dia lulus dan tahun 1982 mulai berkarir di kepolisian dengan atribut dibahunya, bengkok kuning satu, pangkat Sersan Dua (Serda).

Dia menambahkan, sebagai seorang Kristen menyadari betul kekuatan doa. “Tak ada pekerjaan saya mulai jika tak didahului doa. Kita tentu bekerja dengan kerja keras, tetapi kerja keras kita tak berhasil jika tak ada doa di sana. Doa adalah kekuatan kita. Tanpa doa kita tak kuat menjalani pekerjaan kita. Saya selalu juga ajarkan itu kepada keluarga, kepada anak.”

Bertandang ke kantornya, akan terlihat spirit itu. Di atas mejanya tersusun buku-buku rohani. Maruli mengakui membaca buku-buku rohani itu tentu mengajarkannya betapa buku itu membebat pikirannya untuk terus bertumbuh. Ritmenya; bangun pagi berdoa dulu, saya sendiri sesampainya di kantor tak pernah mengerjakan pekerjaan di kantor sebelum terlebih dahulu berdoa. “Minimanl sepuluh menit pertama itu yang saya lalukan adalah berdoa terlebih dahulu. Demikian juga sebelum sampai di rumah juga pulang dari kanor juga saya berdoa.”

Dan tak lupa untuk membaca dan merenungkan firman Tuhan. Selain itu, untuk menjaga pikiran tetap bening adalah selalu menyempatkan ke toko buku untuk melihat buku-buku yang bisa memberikan bekal rohani untuk mentalnya. Sebagai pemimpin tentu dia butuh banyak pemahaman yang lebih segar tentang iman Kristen.

Ompu Roganda

“Saya melihat betapa perlu menjaga hubungan persaudaran dan kekeluargaan. Di dalam keluarga besar saya juga saya terapkan hal ini. Harus menjadi pembawa damai. Juru damai. Saya menyaksikan banyak keluarga hancur karena tak menjaga hubungan persaudaraan. Banyak hubungan persaudaran karena merebut harta warisan. Kami dalam keluarga besar menerapkan bahwa hubungan keluarga besar itu harus saling membantu. Saya sebagai aktif  di kepolisian, tentu beberapa keluarga anak abang dan dari anak kakak saya, tentu membuka jalan untuk mereka mengabdi di kepolisian.”

Keluarga besar Ompu Roganda ini didorong untuk selalu mengutamakan pendidikan. “Saya sendiri sebagai seorang polisi tak berhenti belajar. Malah sekarang anak-anaknya dan seluruh anak abang kakaknya sudah pada mandiri. Bahkan, beberapa mereka beruntung bisa mendapat beasiswa dari luar negeri,” harapnya. “Tetapi lebih dari itu, hubungan keluarga ini dibangun dari militansi saling memperhatikan.”

Lalu bagaimana caranya? “Misalnya, kami dengan keluarga selalu membangun komunikasi. Jarak tak menghalangi komunikasi. Misalnya, ada group Whatshaap, disana kami saling menyapa, memberi kabar dan saling berbagi dan menguatkan. Kemudian, pada setiap tahun di bulan Desember, kami mengadakan Natal keluarga yang digilir. Misalnya, kalau saya yang menjadi tuan rumah, maka seluruh keluarga besar dari keturunan orangtua Ompu Roganda, baik cucu-cucunya hadir di rumah saya. Di sana kami selain mengadakan kebaktian juga saling menyapa. Dan itu diadakan bergilir setiap tahunnya.”

Saat ini, mereka sudah tersebar di berbagai wilayah, termasuk di Papua. Maruli selalu konsisten dengan belajar pada sosok Ompu Roganda, kedua orangtuanya. “Sosok orangtua yang bersahaja. Ayah seorang petani, demikian juga ibu. Tetapi walau pun ibunya buta huruf, namun jika menghitung duit jago sekali,” ujarnya tertawa. “Ayah seorang petani, demikian juga ibu. Tetapi ketauladan mereka sebagai orangtua adalah sosok memiliki daya juang untuk kemajuan anak-anaknya. Semangatnya untuk memberangkatkan sekolah, tak kepalang besarnya. Walau cita-citanya sebenarnya tak terlalu tinggi, bagaimana anak-anaknya bisa sekolah sampai SMA.”

Ompu Roganda ini yang dalam bahasa Batak diartikan nenek yang kedatangan berkah. “Manakala ada keluarga yang kesulitan untuk membiayai uang sekolah, apalagi keluarga itu sudah meminta bantuan dari dirinya, maka orangtua ini akan dengan rela meminjamkan padinya, beberapa kaleng untuk meringankan beban tentangga atau kelaurga yang meminjam,” kenangnya. “Saya terbiasa melihat orangtua meminjamkan padi pada keluarga di kampung jika ada yang membutuhkan bantuannya oleh kesulitan keuangan. Orangtua tak hanya memikirkan dirinya dan anak-anaknya, tetapi orang lain juga. Barangkali itulah yang membuat keluarga besar kita diberkati Tuhan,” akunya.

Maruli meniru kebaikan yang diterapkan orangtuanya. Sesungguhnya, tak hanya keluarga besar saja yang diperhatikan olehnya. Termasuk peduli pada kampung halaman. Di kampungnya Balembalo, Lobu Siregar, Kabupaten Tapanuli Utara, dia juga telah berbuat. “Kami sudah gelar beberapa kali acara. Termasuk reuni SD di Lobu Siregar. Termasuk memberi beasiswa dan menyumbang komputer.”

Membekali generasi Siahaan

Kepedulian, perhatian dan sikap suka menolongnya selama ini tak akan pernah pudar dari batinnya. Selain perhatiannya terhadap kampung halaman, juga perhatian untuk marganya, Siahaan. Maruli selalu mengingatkan generasi muda Siahaan sebagai penerus harus terus berjibaku menjadi generasi yang handal.

Dia selalu memberikan kesempatan untuk saudara-saudara semarganya. “Saya selalu memberikan kesempatan untuk saudara-saudara saya Siahaan untuk memberikan semacam contoh keluarga. Tentu, bukan membangga-banggakan tetapi menggambarkan untuk saudara saya Siahaan betapa perlu juga orangtua itu menjadi teladan.”

“Sebisa mungkin saya selalu aktif di pegurusan Siahaan. Setiap ada pertemuan, saya selalu katakan bahwa apa pun yang kami bicarakan untuk marga ke depan tak boleh melupakan generasi muda,” ujar Ketua Umum Panitia Ziarah Nasional. Tahun lalu, dalam rangka Ziarah Nasional Parsadaan Pomparan Somba Debata (PPSD) Boru bere dan Ibebere se-Indonesia yang akan berlangsung di Dolok Na Jagar Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir pada 8-9 Agustus 2015. AKBP Dr Maruli Siahaan SH MH, didaulat menjadi ketua umum Panitia Ziarah Nasional. Menurutnya, Ziarah Nasional PPSD ini merupakan wujud rasa hormat kepada para orangtua dan leluhur marga Siahaan yang telah mewariskan keteladanan dan berbagai prinsip kebajikan.

Kegiatan lain diwarnai dengan menggelar bakti sosial berupa pembagian kaos ziarah nasional dan pemberian bibit serta penanaman pohon yang pada puncak acara pada 9 Agustus 2015 diawali dengan acara kebaktian. Sebagai ketua panitia juga dia tak lupa mengundang Tulang Lubis dan boru: Rajagukguk dan Siburian. Puncak acara manortor dan pemberian ulos serta pemberian bantuan dana kepada pelajar berprestasi beasiswa keturunan Pomparan Somba Debata.

Maruli menambahkan, yang paling penting dari ziarah ini adalah memberikan edukasi dan pembinaan terhadap generasi muda Somba Debata Siahaan. “Ziarah ini adalah wadah menjalin tali kasih persaudaraan sesama keturunan dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan saat itu hadir dari luar negeri.”

Takkala menarik, Ziarah Nasional itu juga diresmikan situs, Sopo Panisioan Somba Debata. Dilanjutkan seminar sehari dengan narasumber para pejabat dan intelektual dari marga Siahaan di antaranya; Prof Dr Hotman Siahaan Guru Besar di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.

Bahkan, Mayjend TNI Fransen Siahaan, berkarier di Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat (Kostrad) Pangdam XVII Cendrawasih-Papua, Dr Ir Bisuk Siahaan, tokoh dibalik proyek Asahan, Dr Nommy HT Siahaan SH MH, Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Tengah dan Utama Siahaan, seorang motivator, Managing Partner of Kernel Resources. Seminar sehari itu diharapkan bisa meningkatkan sumber daya manusia (SDM) generasi muda Siahaan tentang paradaton, kewirausahaan (entrepreneur), perekonomian dan bahaya Narkoba.

Dirinya telah banyak berbuat. Bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk oranglain. Tetapi sampai sekarang tak berhenti mengabdi. Harapannya ke depan jika Tuhan masih memberikan kesempatan, dirinya ingin mengabdi lebih besar lagi untuk masyarakat. “Saya selalu berdoa kepada Tuhan agar diberi kesehatan, keharmonisan keluarga serta kebijakan menjalankan pengabdian tugas untuk masyarakat lebih luas lagi.”

Ditanya apa rahasianya menjankan itu semuanya? “Saya hanya belajar menyenangi pekerjaan,” ujarnya antusias. Baginya, jika kita menyukai pekerjaan yang kita kerjakan, tentu akan mudah melaksanakannya. Pesannya untuk itu, bersikaplah menyukai dan menikmati pekerjaan. “Jangan pernah menunda apa yang bisa dikerjakan hari ini untuk dikerjakan besok. Dan kerjakan tugas dengan mengandalkan Tuhan, lakukan dengan maksimal. Niscaya akan berhasil,” ujarnya memberi rahasia.

Pdt. Dr. Darwin Lumban Tobing


IMG_5203

Terpilihnya menjadi ephorus HKBP, Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing sebagai  ephorus ke-16 membawa optimisme baru pada HKBP. Terpilih dalam Sinode Godang HKBP ke-62 di Seminarium Sipoholon sebagai ephorus periode 2016-2020. Sebelum menjadi ephorus, dia adalah Ketua Rapat Pendeta (KRP) HKBP. Malang melintang di dunia pendidik teologia. Selain itu, dia dikenal luas di kalangan umat Kristen dan sesama pendeta karena jabatannya ketika itu, Ketua STT HKBP Nommensen, Pematang Siantar (di Sumatera Utara ada 50 Sinode berpusat dari 326 Sinode yang terdaftar di Ditjen Bimas Kristen Prostestan). Pria kelahiran Kampung Rawang, Kisaran, pada 22 Agustus 1956.

Saat diwawancara, mengingat sejarah HKBP yang begitu panjang dan menjadi salah satu sinode terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Tentu terus berbenah, termasuk masalah-masalah penempatan pendeta. Dia berharap ke depan persoalan penempatan tugas pendeta tak menjadi permasalahan. “Ke depan biro Personalia mesti berdayaguna,” ujar peraih gelar doktoral dari LSTC Chicago, USA, tahun 1999 ini.

Bapak dari empat putera dan puteri lulusan pascasarjana dari universitas negeri, dan suami dari Mantasia br Siahaan rindu di masa kepemimpinan HKBP makin hari makin baik. Salah satu ephorus HKBP yang tergolong produktif menulis. Palin tidak dia sudah menulis tujuh belas buku, buku yang terakhir bertajuk HKBP do HKBP, HKBP Is HKBP.

Judul itu menurutnya bukan buah pikirannya, tetapi penyataan dari ephorus HKBP putra Batak kedua Pdt Dr Justin Sihombing yang saat memberi pernyataan dalam satu hajatan besar Lutheran World Federation (LWF). Kata-kaka itu terlontar ketika ditanya para anggota LWF tentang jati diri HKBP. Lalu, oleh Ompui Justin Sihombing ketika itu menyebut HKBP adalah HKBP yang berarti HKBP walau sebagai Lutheran ada jati diri orisinil. Hanya saja menurutnya, pernyataan itu selama ini tak dijelaskan dan dijabarkan. Karena itulah, dalam buku tersebut dia menjelaskan itu secara detail kerinduannya untuk HKBP.

“Buku itu berisikan ulasan teologis mencari dan menemukan makna teologis di balik ungkapan tersebut,” ujarnya kepada penulis, saat berjumpa dengannya, beberapa minggu sebelum pemilihan ephorus. Dalam buku tersebut memang terlihat kematangan berpikir teologisnya sebagai pendeta yang menggeluti dunia pendidikan teologia. “Kondisi jemaat sekarang sangat membutuhkan pelayanan yang benar-benar dapat menyentuh dan memberi solusi terhadap pergumulan warga jemaat,” tambah mantan rektor STT Pematang Siantar, itu.

Dipanggil di Dumai

Sebenarnya Darwin dulu berniat bekerja di perusahaan minyak. Tetapi, panggilan menjadi hamba Tuhan membawanya menjadi masuk sekolah teologia. Begitu lulus sekolah teologia, menjadi pendeta yang terus menghidupi jiwa pelayanan. Puncak karier pelayanannya sebelum menjadi ephorus, Ketua STT HKBP Siantar dan merangkap sebagai Ketua Rapot Pandita HKBP. Keduanya jabatan prestisius di HKBP. Ditanya mengapa bisa dipercaya jabatan itu? Baginya, itu semata-mata privilese dari Tuhan. Sesungguhnya jika menegok ke belakang, jalan hidupnya berliku. Dia dilahirkan di Kisaran. Namun saat remaja, oleh kakak iparnya (lae) mengajak ke Dumai. Iparnya bekerja di Caltex saat itu.

Maka pendidikan SMP dilaluinya di Dumai. Begitu lulus SMP di Dumai hendak melanjutkan ke tingkat atas SLTA. Oleh keluarga disarankan mendaftarkan ke STM HKBP. “Saat itu memang STM HKBP terkenal. Semua lulusannya diterima di Caltex dan Pertamina,” ujarnya. Maka dia pun mengikuti test. Tetapi, lucunya dia tak lulus test STM HKBP. “Saya kira itulah satu-satunya cerita saya gagal,” ujar terbahak-bahak. Tak diterima di STM HKBP, dia kemudian mendaftarakan diri ke SMA Campus dekat dengan STT Nommensen, Pematang Siantar. “Saya merasa bahwa ketika meninggalkan Dumai disitulah saya dipanggil Tuhan,” kenangnya. Maka, begitu lulus SMA dia mengikuti kata hatinya, terpanggil menjadi sekolah pendeta di STT Nommensen, Pematang Siantar.

Ditanya tentang visi-misinya, kerinduannya HKBP menjadi berkat? “Sudah ada dalam aturan peraturan HKBP yaitu menjadi berkat bagi dunia. Bagaimana menerapkan visi itu. Oleh karena itu, saya melihat untuk mengembangkan HKBP ada empat bidang, pertama, bagaimana menjawab secara konkrit tantangan yang muncul dari internal, karena banyak persoalan-persoalan yang harus dituntaskan. Apa yang sudah dicapai pada periode sebelumya kita hargai, pertahankan bahkan tingkatkan. Namun apabila masih ada peluang yang baru untuk meningkatkan pelayanan, maka akan kita formulasi sedemikian rupa.

Kedua, HKBP harus menjadi berkat bagi gereja lain. Gereja-gereja  oikumene di Asia Tenggara, HKBP selalu disandingkan dengan gereja terbesar, untuk itu harus bisa menjawab melalui program konkrit bukan melalui kata-kata. Ketiga, harus menjadi berkat bagi agama-agama lain. Kepelbagaian agama tak mungkin kita abaikan. Namun harus dihargai dan dicari bagaimana agar bisa saling merangkul untuk melaksanakan kehidupan spritualitas yang lebih baik kedepannya. Dan akhirnya, gereja harus menjadi berkat bagi negara, bangsa bahkan dunia. “HKBP tidak hanya sebagai penerima berkat saja tetapi harus menjadi saluran berkat. Dimulai dari berkat bagi internal, gereja tetangga, agama lain, negara, bangsa dan dunia ini,” terangnya.

Tak lupa juga mensikronisasikan pelayanan bidang marturia, diakonia dan koinonia. Artinya, bagaimana HKBP benar-benar menjadi berkat bagi dunia sungguh menjadi kerinduannya. “Berkat yang kita maksud adalah berkat dalam hal yang kecil dan lebih luas lagi dalam semua lapisan kehidupan. Intinya yang kita lakukan adalah bagaimana merevitalisasi berbagai hal yang ada di HKBP. Direvitaliasi agar lebih berdaya guna, bedampak guna untuk jemaat dan bangsa dan masyarakat.”

Lalu, bagaimana aturan peratuan HKBP ke depan? “Sesungguhnya sudah ditetapkan di Sinode Godang di Sipoholon, Nopember 1951, bahkan sejak tahun 1881. Sejak berdiri dikelola para missionaris sudah ada tata gereja yang baik. Tetapi, tentu perubahan zaman kita tak boleh napikan, mesti ada adaptasi untuk perbaikan yang lebih baik. Waktu itu sudah ada tata gereja disusun berdasarkan kebutuhan HKBP waktu itu. Bahwa pada tata gereja yang dibuat di sana memang juga tercantum kata untuk setiap sekali 10 tahun diperbaharui.

Menurutnya, kalau beracu hal itu, HKBP selalu mereaktualisasi diri bahwa sekali dalam sepuluh tahun ada pembaharuan tata gereja. Namun sejak tahun 2002 terjadi perubahan tata gereja yang menyiratkan bahwa amandemen terhadap tata gereja bisa dilakukan setiap tahun.” Tak lagi dalam setiap sepuluh tahun, asal oleh karena kebutuhannya. Namun perubahan terjadi tahun 2014 lalu, bahwa tata gereja tak boleh lagi diamandemen setiap sekali dalam sepuluh tahun. Padahal, ada saja hal-hal yang butuh diubah secepatnya. Misalnya, masalah calon pareses dua orang dalam satu distrik.

Mutasi pendeta

Lalu, ditanya tentang banyak yang menyebut bahwa mutasi di HKBP selalu saja ada yang meninggalkan riak-riak. Tak selalu berjalan mulus. Apa yang membuat demikian? “Sudah tentu memang setiap gereja memiliki sistim atau tata gereja masing-masing. Termasuk di dalamnya sistim mekanisme muatasi. Umumnya ada dua cara yang dilakukan sistim sending pastor dan calling pastor.” Menurutnya, sending pastor berarti mengutus pendeta dari pelayanan yang lama ke pelayanan yang baru. Artinya, otoritas dari pimpinan gereja melihat dengan analisa dan berbagai pertimbangan menempatkan seseorang untuk dilayani di satu tempat. Umumnya hal itu dilakukan oleh gereja sinodal dan episkopal. Sementara calling pastor kebalikan dari sending pastor.

Penggantian dari seorang pelayan atau pendeta dilakukan oleh analisa dari jemaat yang diwakili majelis jemaat. Majelis jemaatlah yang memanggil atau meminta pelayanan pendeta. Prosesnya tentu setelah majelis sepakat untuk meminta satu pendeta, maka mengajukan nama tersebut pada pimpinan gereja. Tentu, jika jemaat yang memilih seorang pelayan, maka pendeta yang mereka pilih adalah pendeta yang terbaik. Padahal, kenyataannya tak selalu demikian, karena memang tak ada yang sempurna. Calling pastor biasanya mengikuti presbyterial dan kongresional.

Maka, apabila dalam satu tata gereja hal ini dilaksanakan, calling pastor dan sending pastor sudah tentu selalu membawa riak-riak baru. “Jika kedua sistim yang demikian dijalankan bersama-sama, lama kelamaan bisa mengundang konflik. Karena pendeta satu merasa tak dihargai, atau yang satu merasa didiskriminasi,” jelasnya. Oleh karena itu, tambahnya. “Sebaiknya memilih menetapkan satu dari dua sistim tadi, sistim pemutasian. Sistim sending pastor yang lebih tepat untuk HKBP.”

Menurutnya, selain karena sistim episkopal dan senodal lebih cocok untuk HKBP. Oleh karena itu, HKBP mesti konsisten dan konsekuen menjalankan sistim sending pastor. Di samping selain karena secara struktural hirarkis yang sinodal dan episcopal itu, kehidupan masyarakat Batak tetap menganut pola pikir totalitarian, paternalistik dan sangat menghormati pigur primus interpares. “Ketokohan figuratif dibutuhkan sebagai tokoh yang mempersatu. Namun, tentu yang lebih utama pigur yang menjadi teladan, yang paling utama prilaku, tindakan dan perbuatannya yang harus benar-benar menunjukkan sebagai tokoh dan pigur pemersatu.”

“Calon pendeta HKBP baik yang baru maupun yang akan dimutasikan harus terlebih dahulu mengenal tempat pelayanannya. Agar nanti, jangan, setelah ditempatkan di sana pendeta tak tahu atau barangkali jemaat menolak. Ini perlu diantisipasi agar tak ada lagi pembangkangan terhadap SK pimpinan,” ujarnya. Lalu, sebagai ephorus apa kerinduanya untuk HKBP ke depan? “Saya kira perlu dijadikan HKBP sebagai kampung ke dua,” ujarnya. (Hojot Marluga)

Jonro I. Munthe, S.Sos


Memotivasi Tokoh-tokoh Kristiani Melalui NARWASTU

Bernama lengkap Jonro Inranto Munthe. Pria Batak kelahiran Dolok Sanggul, Sumatera Utara, 6 April 1973 di kalangan gereja dan tokoh gereja sosok yang kenal konsisten memberitakan berita Nasrani. Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Majalah Kristiani NARWASTU dan salah satu pendiri Persekutuan Wartawan Media Kristiani Indonesia (PERWAMKI). Jonro I. Munthe, S.Sos yang, selama ini dikenal sosok jurnalis Kristiani yang aktif, dinamis, cerdas dan berprestasi.

Tak hanya jurnalis, ia kerap diundang sebagai moderator dan pembicara di berbagai diskusi dan seminar. Ia tak hanya diundang oleh gereja atau ormas Kristiani untuk memberikan pemikiran-pemikirannya seputar ilmu jurnalistik, tapi juga soal keadaan sosial, gereja, kemasyarakatan dan politik. Lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, yang pernah dipercaya sebagai salah satu Ketua DPP Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) ini sejak mahasiswa pun kerap diminta tampil di acara debat mahasiswa dan diskusi.

Selain itu, mantan Ketua Litbang DPP PROJUSTISIA (Persekutuan Oikoumene Jurnalis Kristiani Indonesia) ini tak jarang tampil jadi narasumber di Radio Pelita Kasih (RPK) 96,30 FM untuk topik-topik seputar gereja, sosial dan politik. Mantan Ketua Umum Pemuda Katolik dan Wakil Sekjen DPP Partai Hanura, Natalis Situmorang pernah mengatakan, tak bisa dipungkiri, Jonro Munthe adalah salah satu tokoh muda Kristiani yang patut diperhitungkan karena kiprahnya di media.

Pasalnya, kata Natalis, Jonro pula yang pertama kali menggagas pemberian award (penghargaan) setiap akhir tahun terhadap tokoh-tokoh Kristiani yang berkarya di tengah gereja, masyarakat dan bangsa. Pemberian award itu sudah ia lakukan di majalah yang dipimpinnya sejak 1999 lalu.

Setiap majalahnya menggelar acara ibadah Natal dan tahun baru, jangan heran kalau banyak tokoh dari berbagai latar belakang atau politisi Kristen hadir. Soalnya, majalah yang dipimpinnya memang cukup populer di kalangan warga gereja. Tak heran, kalau ia diidentikkan sebagai ikon media Kristiani, khususnya NARWASTU. Selain itu, majalahnya kerap mengadakan diskusi bersama tokoh-tokoh Kristiani. Diskusi itu digelar Forum Diskusi Daniel Indonesia (FDDI), yang di dalamnya ada penasihat Majalah NARWASTU berlatar belakang pemimpin gereja, politisi, pengacara, pengusaha, mantan anggota DPR dan jenderal purnawirawan.

Jonro mengatakan, melalui diskusi FDDI yang mereka adakan ia berharap para tokoh muda punya semangat untuk memikirkan persoalan masyarakat dan kebangsaan. “Melalui diskusi FDDI kami ingin mengajak sahabat-sahabat kaum muda peduli pada persoalan gereja, masyarakat dan bangsa ini. FDDI terbentuk pada awal 2010 setelah melihat banyak caleg muda Kristen yang rontok, lalu tidak tahu berbuat apa lagi. Akhirnya kita ajak mereka berdiskusi bersama tokoh-tokoh senior untuk memberikan motivasi dan bekal,” terangnya.

Tokoh seperti Jakob Tobing, Sabam Sirait, Pdt. A.A. Yewangoe. Dr. J. Kristiadi, Dr. Tjipta Lesmana, Maruarar Sirait, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Martin Hutabarat, Gregorius Seto Harianto, Jakobus Mayong Padang, Prof. Irzan Tanjung dan Jhonny Nelson Simanjuntak sudah pernah diundang bicara di FDDI. ”Kita undang tokoh-tokoh senior yang kita anggap bisa memberi bekal dan bisa memberikan motivasi kepada kami kaum muda lewat sebuah diskusi interaktif,” papar Jonro yang masih berkeinginan menambah bekal ilmu, yakni ingin kuliah ilmu hukum dan memperdalam pengetahuan bahasa Inggris.

Lantaran dikenal “jurnalis plus” pada akhir 2009 lalu, Jonro mendapat predikat atau award  dari Majelis Pers Indonesia (MPI) sebagai “Jurnalis Muda Motivator” yang diterimanya di Gedung Dewan Pers, Jakarta. Ayah tiga anak ini sejak mahasiswa sudah aktif dalam dunia jurnalistik. Di samping itu, saat mahasiswa suami dari Faridawati Rajagukguk ini giat melatih olahraga beladiri di kampusnya. Sejumlah prestasi diraihnya, ia pernah mengikuti kejuaraan silat antarmahasiswa se-ASEAN, dan pada Oktober 1993 berhasil meraih medali emas di kejuaraan silat antarmaster se-Jabodetabek. Ia pun pernah meraih juara II dalam sanyembara penulisan artikel Kristiani pada 1997 yang diadakan majalah Kabar Baik.

Semasa mahasiswa Jonro yang beribadah di Gereja GPIB Harapan Indah, Kota Bekasi, Jawa Barat, pernah menjadi kolumnis di Majalah Bona Ni Pinasa, media orang Sumut terbesar yang terbit di Jakarta. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di sejumlah media nasional, termasuk tabloid Mutiara, yang kini tak terbit lagi. Lantaran tulisannya yang dimuat di Mutiara pernah mengkritik penguasa kala itu yang memihak pada PDI Soerjadi pada Juli 1996 lalu, ia pun dipanggil petinggi kampusnya agar jangan “melawan arus”, karena saat itu kekuasan Orde Baru sangat represif.  Gara-gara tulisannya yang kritis tentang isu tukang santet yang dimuat di Bona Ni Pinasa pada 1996 lalu, ia sampai didatangi sejumlah pemuka adat dari sebuah kampung di Tapanuli Utara ke Jakarta untuk meminta klarifikasi.

 “Sebagai jurnalis Kristen kita harus terus menyuarakan kabar baik. Kabar baik adalah suara kenabian, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan,” ujar pria yang sudah menulis tiga buku ini. Bagi Jonro, hidup ini harus bermakna bagi sesama. “Meskipun kita sibuk berkarier, tapi persoalan kemasyarakatan, gereja dan bangsa perlu kita bahas untuk dicari solusinya. Sekecil apapun peran yang kita lakukan, itu perlu untuk kebaikan sesama. Hidup ini, kata Yesus, harus bermakna. Melalui media Kristiani pun kita punya peran yang tidak kecil untuk membangun masyarakat dan bangsa ini,” ujar Sekretaris Umum Keluarga Besar Perhimpunan Ompu Solonggahon Munthe, Boru dan Bere se-Jabodetabek.

Menurut Jonro, sejak tamat SMP pada 1988 ia sudah hobi menulis. Lalu pada 1992 saat mulai kuliah tulisan-tulisannya mulai dimuat di beberapa media, dan honorariumnya bisa membantu uang kuliahnya. Pada 1994 ia ditawari Pak Tom Gultom (almarhum), pimpinan Majalah Bona Ni Pinasa untuk bergabung, tapi ia memilih bekerja part time, karena ia masih kuliah. Tahun 1996 ia  magang di tabloid Mutiara yang dipimpin Pak Moxa Nadeak (almarhum), tokoh pers yang cukup vokal. “Saya banyak belajar dari Pak Moxa selama magang,” ujarnya.

Tahun 1997 saat masih mahasiswa ia sudah bergabung di Majalah NARWASTU, karena diajak Dr. Victor Silaen (almarhum), kini dosen Universitas Pelita Harapan, yang saat itu pemimpin redaksinya. Tapi karena ada dinamika sampai dua kali karena persoalan manajemen, maka kepemimpinan di media ini berubah, tapi tetap NARWASTU punya ciri khas sendiri sebagai media Kristiani alternatif. Artinya, media ini tidak hanya berbicara tentang doa, khotbah pendeta atau doktrin-doktrin Alkitab.

“Tapi, kami pun membahas fenomena yang ada itu dari sudut atau nilai-nilai Kristiani, baik itu masalah politik, sosial, hukum, budaya, pendidikan, teknologi maupun lingkungan hidup,” tukas Jonro Munthe yang pernah juga menerbitkan media komunikasi internal di Keluarga Besar Punguan Ompu Banua Munthe, Boru, Bere dan Ibebere se-Jabodetabek, dan disebarluaskan pada keluarga Munthe yang ada di berbagai kota di Tanah Air. Media komunikasi berupa buletin bernama Bona Ni Onan itu dimaksudkan sebagai media berkomunikasi, dan sajiannya seputar informasi berita keluarga, tulisan kesehatan, kerohanian, pengetahuan adat dan budaya serta pengenalan bahasa batak plus umpasanya beserta maknanya.

“Saya masih harus banyak belajar untuk memimpin media cetak seperti Majalah NARWASTU. Terus terang, saya kagum dengan perjuangan Goenawan Muhammad yang mendirikan Tempo, Surya Paloh yang bisa membesarkan Media Indonesia dan Metro TV, Jacob Utama yang membesarkan Kompas. Mereka bisa jadi sumber inspirasi untuk membangun media. Mereka sudah mengalami pahit getirnya membangun media,” tukas Jonro yang pernah diundang Kantor Kementerian Polhukam RI pada 2011 berbicara di dalam sebuah diskusi terbatas mengenai eksistensi media Kristen di dalam perannya untuk ikut serta membangun gereja, masyarakat dan bangsa.

Bahkan, Asisten Deputi VII Menkopolhukam RI Brigjen TNI Harsanto Adi bersama Kepala Bidang Humas Kementerian Polhukam dan Kepala Bidang Media Cetak Kementerian Polhukam pada awal 2013 lalu mendatangi kantor NARWASTU guna mengajak majalah yang dipimpinnya bekerjasama untuk mengadakan sebuah acara diskusi bersama media-media berbasis agama. Dan hingga kini Jonro tak berhenti menggelar diskusi yang mempertemukan tokoh-tokoh Kristiani.

Dan kini bersama tokoh-tokoh Kristiani pilihan NARWASTU yang tergabung di FORKOM NARWASTU (Forum Komunikasi Tokoh-tokoh Kristiani Pilihan NARWASTU), yang di dalamnya ada jenderal purnawirawan, advokat/pengacara senior, akademisi, mantan anggota DPR-RI, profesional, pengusaha, pimpinan ormas, pimpinan parpol, anggota dewan, pemuka masyarakat dan pimpinan sinode, ia tak pernah lelah menggelar diskusi untuk menyikapi persoalan di tengah negeri ini. Misalnya, mereka sudah menyikapi bahaya narkoba, bahaya korupsi, terorisme dan persoalan kebangsaan.

Hasil diskusi itu, tak hanya dibahas atau dirumuskan solusinya bersama tokoh-tokoh, namun juga dipublikasikan di Majalah NARWASTU, media-media Kristiani lainnya, bahkan didiskusikan di radio rohani. Kemudian diharapkan hasil diskusi itu dibaca para tokoh bangsa, eksekutif, legislatif, yudikatif, ormas agama, dan media massa agar diketahui dan bisa ditindaklanjuti demi kesejahteraan dan kedamaian di tengah masyarakat dan bangsa.

Baginya, hidup ini sarat dengan pergumulan dan tantangan, dan orang Kristen punya panggilan juga untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk bangsa dan negara ini, sesuai dengan tugas panggilannya. Orang Kristen mesti bisa menjaga garam” mencegah pembusukan, dan menjadi terang: menerangi kegelapan. Di situlah manusia itu berarti dan bisa menjadi berkat bagi sesama.

 

 

Pdt. Daniel T.A. Harahap, M.Th


 

Berjuang untuk Kesejahteraan Pelayan HKBP

Pdt. Daniel T.A. Harahap, M.ThNama lengkapnya Daniel Taruli Asi Harahap, nama tentu penuh arti. Bisa diartikan: kebagian belas kasih. Umumnya jemaat Gereja HKBP memanggilnya, amang (bapak) DTA. Tentu, ada juga menyapanya Dani. Pria kelahiran Sei Merah, Medan, pada 26 Agustus 1963 ini adalah anak kelima dari enam bersaudara.

Masa kecilnya dilewatkannya penuh kebahagiaan. “Usia empat tahun saya punya pesawat mainan KLM yang digerakkan oleh batere, kelap-kelip lampu dan bunyi raungannya membanggakan sekali. Saya juga punya banyak mainan mobil-mobilan besi. Saya sering dibelikan blok-blok kayu. Ulang tahunku pernah dirayakan di restoran Tiptop, yang masa itu tempat sisa-sisa Belanda dan Tionghoa kaya Medan berkumpul. Itu masa-masa sangat indah,” kenangnya memulai perbincangan.

Sejak kecil selalu fokus pada kesukaannya. “Saya lebih suka main sendiri atau bersama saudara-saudaraku di rumah, membuat kapal-kapalan dan pesawat-pesawat kertas, kereta kelos benang yang bisa jalan mendaki, telepon kotak korek api, dan atau paling sering kulakukan mengumpulkan belalang, kotak-kotak rokok bekas, mengacak-acak sarang semut, memancing undur-undur di debu atau ikan gobi di parit pake seutas benang. Kadang aku bermain jual-jualan dan masak-masakan dengan anak-anak perempuan. Kadang aku sendirian saja mengumpulkan biji-biji flamboyan,” tambahnya.

Ayahnya bernama Aminuddin Harahap, dulunya seorang staf asosiasi perusahaan perkebunan di Medan. Sedangkan ibunya, Sereuli boru Hutabarat adalah perempuan yang teguh pendirian. Karakter ibundanya, berkebalikan dengan ayahnya. “Ibu seorang perempuan tangguh kelahiran Tebing Tinggi, daerah Deli. Saat perang berkecamuk ibu yang bermarga asal lembah Silindung ikut mengungsi. Tetapi ibu dibesarkan di daerah Toba Holbung, persisnya di Lumban Bagasan, Kecamatan Laguboti,” jelasnya.

Alih-alih berbeda dengan ayahnya, ibunya suka “berkelahi” dan bertengkar terang-terangan, berjuang, apalagi jika menyangkut hak dan kebenaran. “Ya, berbeda dengan kami-kami orang Batak dari Selatan, ibu tak akan segan-segan menuntut haknya, namun sebaliknya dia sangat jujur. Bahkan, baginya kejujuran adalah segalanya, melebihi pentingnya ritus doa. Jauh mengalahkan ambisi pemilikan materi,” paparnya.

 

Sosok Batak Sejati

Menurutnya, dari ibu yang mengajarkan menjadi Batak yang sejati, termasuk mengajarkan soal prinsip. Dalam soal adat Batak, ibunya boru Hutabarat jelas-jelas punya pendirian, logika dan nurani. Bagi ibunya, adat bukan sekadar soal kebiasaan apalagi latah-latahan. Adat adalah prinsip berhubungan dengan sesama berdasarkan hormat, kejujuran, dan rasa sayang.

Itulah yang membuat dia sering membangkang atas hal-hal yang dianggapnya tak benar dalam kebatakan. “Ibu akan marah jika ephorus atau pendeta mau diulosi. Baginya, itu penghinaan. Ulos tak pernah datang dari bawah alasannya. Ikan mas harus dibungkus apik dalam tandok dan dijunjung di kepala, bukan dibiarkan telanjang dipamer-pamerkan,” tambah Daniel.

dta-hojot-2.JPGBeranjak dewasa, tahun 1982, dia ke Jakarta dan bermukim di daerah Pulomas, Jakarta Timur. Di Pulomas itulah, menurutnya, dia bisa berbahasa Batak. Sebab di Medan tak bisa, walau lahir di Medan tak lincah berbahasa Batak. “Maklumlah di Medan waktu itu, jarang ada orang berbahasa Batak. Saya bisa mengerti namun tak mampu lancar mengungkapkan. Tentu saya sangat iri kepada kemampuan kawan-kawanku di Pulomas bisa berbahasa Batak,” terang pendeta yang dikenal gaul ini.

Sejak ke Jakarta untuk kuliah di STT Jakarta, di Pulomas dia sering mendengar naposo bulung (pemuda) HKBP Pulomas berbahasa Batak, dia kemudian malu hati. Dan sejak itu berniat ingin belajar bahasa Batak. Pulomas yang kerap diidentikkan kampung orang Batak. Di sanalah dia belajar bahasa Batak hingga lulus dari STT Jakarta. “Sejak di Pulomas saya benar-benar belajar bahasa Batak. Apalagi setelah mengikuti vikaris dan kemudian ditahbiskan dan ditempatkan menjadi pelayan di Sibolga Julu. Mau tidak mau saya mesti belajar bahasa Batak,” cetusnya.

 

Anak Tukik

Pdt. Daniel menyebut dirinya bak anak tukik yang belajar menggapai lautan di kehidupan. Maksudnya, dia menetapkan diri menjadi manusia pembelajar di universitas kehidupan. Dia seorang pendeta pembelajar. Termasuk ketika internet baru hadir di negeri ini, dia sudah getol belajar dan berselancar di media sosial di awal-awal Friendster, sebuah situs permainan sosial.

Tatkala belum ada pendeta HKBP yang memiliki blog pribadi, dia sudah terlebih dahulu aktif membuat renungan di weblognya. Dalam bukunya Anak Penyu Menggapai Langit mengisahkan perjalanan hidupnya sebagai seorang pendeta yang membayangkan dirinya seperti penyu, merayap dengan berkeluget-keluget di pasir putih pantai, berusaha sampai ke lautan kehidupan. Tak ada yang menyangkal bahwa penyu merupakan makhluk menarik. Bayi penyu (tukik) keluar dari telur dan berebut menuju laut, itu filosofis.

“Penyu begitu mungil dan ringkih, apalagi dibandingkan dengan samudera dan angkasa luas, namun dia terus berjuang mengerahkan segala daya dan memelihara harapan. Ombak menjemput, si anak penyu pun berlari terus berenang dan menyelam, kadang di atas kadang di bawah. Kehidupan yang naik-turun, fluktuatif. Ada suka dan duka. Namun di balik itu semua ada senyum dan ada harapan,” terangnya.

Sebenarnya, buku itu lebih tepat disebut buku autobiografi yang tentu dibumbui dengan nilai-nilai moral. Lagi-lagi di dalam buku ini juga terlihat kecintaannya terhadap HKBP. Kalau bicara HKBP dia dengan getol mengatakan, darahnya dari nenek-moyangnya adalah militan sebagai HKBP. Dari keturunan nenek-moyangnya Harahap, amang (bapak) mangulahi dari bapaknya, lima generasi di atasnya adalah orang pertama yang masuk menjadi Kristen.

Kini, sebagai pendeta yang hampir 30 tahun melayani senantiasa enerjik, kreatif dan berpikir bebas. Nun  sebelum menetapkan hati kuliah di STT Jakarta, lama di benaknya berpikir untuk menetapkan diri menjadi pendeta. Namun, menjadi pendeta itu juga menyelayut dalam pikirannya, dua alasannya karena terpikir jika menjadi pendeta itu akan memasung kebebasannya, dan satu lagi dia takut miskin.

Karena itu, semalam-malaman dia berdoa apa maksud Tuhan atas itu semua. Hal itu jelas beralasan, sebab dia juga diterima kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Jakarta, ketika itu. Lalu, saat permenungan itu dia berkali-kali membuka Alkitab yang terbuka pertama adalah ucapan Yesus yang mengatakan, “Ikutlah Aku.” Kutipan Firman Tuhan itu tiga kali dia temukan.

Dia memahami bahwa maksud Yesus menyuruhnya untuk mengikutiNya. Tetapi ketika dia memutuskan mengikuti Yesus, sekolah di STT, dia menghadapi pergumulan, ujian berat. Ayah tercinta sakit keras. Sempat dia bertanya pada Tuhan, apakah demikian mengikuti Yesus? Dia lalu pahami, jikalau kita menjadi pengikut Kristus (Nasrani) itu enak, sudah tentu titah untuk bersukacita senantiasa rasa-rasa tak perlu.  Ketika kita sudah memasrahkan hidup kita kepadaNya, kita diuji. Pertanyaan itu terjawab dengan banyaknya pengalaman pergumulan yang mesti dijalani.

 

Pembaharu HKBP

Oleh proses pergolakan batin itu, kemudian dia meneguhkan hati atas panggilan Tuhan dan dididik di sekolah teologia Jakarta. Awalnya, baginya ragu menjadi pendeta karena takut miskin. Mengapa? Nyatanya memang, betapa banyak pendeta yang dia saksikan saat emeritasi, menjalani masa pensiun, tak memiliki tempat tinggal. “Saya miris melihat jika di umur 65 tahun setelah pensiun, pendeta belum punya rumah,” ujar lulusan S1 dan S2 dari STT Jakarta ini.

Tentu, ada begitu banyak persoalan yang dihadapi gereja HKBP yang sifatnya sangat kompleks dan kait-mengait, dan sebagian kronis karena dibiarkan terjadi bertahun-tahun. Namun, bila disederhanakan ada dua persoalan. Pertama, persoalan kerohanian atau spiritual, mental dan moral warga khususnya pelayan HKBP. Kedua, persoalan sistem organisasi dan manajemen HKBP.

Persoalan pertama yang menyangkut kerohanian atau spiritual itu membutuhkan seorang pemimpin puncak atau Ephorus HKBP yang benar-benar sanggup menjadi bapak rohani atau teladan. Sementara persoalan kedua yang menyangkut sistem membutuhkan seorang Sekretaris Jenderal HKBP yang cakap di bidang manajerial dan mampu menegakkan aturan, serta para kepala departemen yang juga cakap memimpin program pelayanannya.

Menurutnya, semestinya gereja mengatur jaminan kesejahteraan sosial bagi pendeta. Salah satu permasalahan yang mesti diselesaikan adalah kesejahteran pendeta, berupa perawatan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian. Tahapan sentralisasi penggajian pendeta saja masih belum merata. Inilah pergumulan gereja sejak lama. Itu sebabnya, pendeta yang sudah nyaman melayani di kota, jika dimutasi berbagai alasan dibuat. Tentu, pendeta itu manusia biasa yang mesti membutuhi keluarga. Paling tidak harapannya pendeta, anak-anaknya bisa sekolah sampai sarjana. “Saya kira, ini harus diselesaikan pusat,” ujarnya.

Menurutnya, ada dua hal yang harus dibangun dalam internal HKBP, yaitu membangun Bapak Rohani dengan menunjukkan figur-figur teladan HKBP di masa lalu, sehingga bisa menjawab tantangan zaman di era globalisasi. Kemudian menjalankan sistem yang sudah ada dengan mengedepankan Bapak Rohani sebagai tokoh sentral. Juga sistem kesejahteraan pendeta, sistem pensiun, kesejahteraan, remunisasi, sudah ada dalam sistem tinggal menjalankannya di bawah kepemimpinan Bapak Rohani.

Atas kerinduan pembaharuan ada di HKBP, dia bersedia mempersembahkan hidup melayani Tuhan di HKBP, khususnya di bidang pembenahan organisasi dan administrasi. “Saya punya rekam jejak bahwa saya mampu mengerjakannya. Saya sudah dua periode anggota MPS. Saya kontributor utama Pedoman Penatalayanan HKBP yang ditetapkan 2010. Saya anggota Tim Renstra 2012-2016. Saya dipercaya sebagai sekretaris Aturan Peraturan HKBP 2002 sesudah amandemen kedua yang memiliki tekanan transparansi dan akuntabilitas,” ujarnya lagi.

Kini, sebagai Kepala Badan Litbang HKBP dia bersama timnya sudah membangun sistem database HKBP yang benar-benar modern dan berbasis web atau online. “Bukan hanya wacana. Semua itu tentu merupakan bekal dan modal yang sangat baik untuk menjadi sekretaris jenderal. Jika sinodisten percaya pilihlah saya. Jika tidak, saya ikhlas. Semua calon adalah saudara dan sahabat,” ujarnya.

Selain itu, masih banyak pelayanan khotbah pendeta tak bisa memberikan kepuasan dahaga jemaat. Memang perlu pembaharuan khotbah dan ibadah. Warga jemaat sangat membutuhkan khotbah yang bernas dari pelayan terutama pendeta HKBP. Warga jemaat juga sangat membutuhkan ibadah yang benar-benar khidmat karena dilayankan dengan penuh kesungguhan dan kepenuhan hati.

Jika dia terpilih menjadi Sekjen HKBP, maka dia akan mendorong dan memfasilitasi agar semua pendeta HKBP selalu menyediakan khotbah yang bernas bagi jemaat. “Saya akan memberikan perhatian khusus kepada pelatihan-pelatihan khotbah, penyediaan buku panduan, dan sermon-sermon pendeta. Warga jemaat kita tak boleh lagi dibiarkan kehausan dan kelaparan secara spiritual sehingga pergi ke gereja lain memuaskan jiwanya,” tukasnya.

Lalu, ditanya apa yang urgen lagi untuk memajukan HKBP? Pembaharuan Sekolah Minggu. “Semua pendeta dan pelayan agar benar-benar memprioritas Sekolah Minggu. Saya akan mendorong agar Distrik membuat secara serius panduan sekolah minggu yang kontekstual dan relevan dengan kondisi di daerahnya, juga menyelenggarakan kursus-kursus pelatihan menjadi guru Sekolah Minggu. Saya juga akan meminta para pimpinan jemaat mengalokasikan anggaran yang signifikan untuk Sekolah Minggu, menyediakan ruangan terbaik yang dimiliki gereja untuk anak-anak itu juga alat peraga yang mereka butuhkan. Saya akan bekerja keras mencari cara agar setiap gereja HKBP memiliki perpustakaan anak SM agar anak-anak HKBP sejak dini diperkaya dengan pengetahuan dan wawasan,” terang pria yang ditahbiskan jadi pendeta pada 4 Agustus 1991 di HKBP Tanjung Balai Asahan, Sumut, itu.

dta-hojot-4Selain itu, menurutnya, HKBP sebagai gereja terbesar di Asia Tenggara mesti serius memprogramkan dana pensiun guna menjamin kesinambungan belanja gaji para pendeta, guru jemaat, bibelvrouw, diakones, evangelis dan pegawai non tahbisan. “Kami berharap seluruh pelayan partohonan itu, ketika pesiun paling tidak bisa memiliki rumah pribadi. Bagi saya, tujuan dana pensiun ini untuk menjamin kesinambungan,” ujar ayah dari Jessica boru Harahap, Regina boru Harahap dan William Harahap ini.

Lalu, bagaimana soal aturan peraturan dan sistem organisasi? Jelas, perlu revisi secara menyeluruh.  Jika jemaat dan parhalado HKBP memberikan kepercayaan kepadanya sebagai Sekjen HKBP. Maka, salah satu hal yang mesti diperjuangkan adalah hak-hak pelayan. Bagi dia, pelayan berhak memperoleh penghidupan yang layak agar pelayan fokus melayani jemaatNya. Sudah tentu dia setuju dengan pendeta berkreasi, berinovasi, mengembangkan bakat dan minat, memperoleh kehidupan keluarga yang layak. Misalnya, jika pendeta menulis buku. Hal yang lain yang dirindukannya para pelayan memperolah jaminan sosial.

“Saya miris melihat pendeta setelah emeritasi belum memiliki rumah tinggal. Lalu, juga keluarga dari pendeta yang meninggal menjalankan tugas, selama ini belum mendapat perhatian serius dari pusat,” ujar suami dari Dr. Martha Saulina Siregar, Sp.KK ini. Pembaharuan itu mesti dapat mendorong HKBP benar-benar berfungsi sebagai gereja dan bukan organisasi masyarakat belaka.

Selanjutnya, sistem organisasi HKBP harus benar-benar diefektifkan dan diefisienkan agar dapat bergerak lincah dan sigap melakukan tugas panggilannya. Kecintaan pada HKBP rindu terus ada perubahan. Tentu, perubahan diawali dari cara berpikir, proses mengembangkan kearifan budaya diterangi firman Tuhan. Hojot Marluga

Pdt. Robinson Butarbutar, D.Th.


Pdt. Robinson Butarbutar, D.Th.

“Hamba yang Tak Berhenti Memberi dari Kemiskinannya”IMG_7108bhMenjadi pendeta tak saja hanya butuh dedikasi, waktu, dan pendidikan yang mumpuni. Tetapi, juga berkarakter imam dan bersikap hamba sebagai pelayan yang memberi diri sepenuh kepadaNya, demikian awal perbincangan dengan Robinson Butarbutar. Lelaki kelahiran, 1 Januari 1961 di Bah Jambi, Kabupaten Simalungun. Putra dari Bapak J Butarbutar dan Ibu T boru Pardede. Masa kecil hingga akil balig dilaluinya dengan berbagai keruwetan hidup.

Sekolah dasar hingga SMP dilewatinya di Bah Jambi, sementara Pendidikan Guru Agama di Pematangsiantar. Lalu, menamatkan Sarjana Muda Teologi, tahun 1985, dilanjutkan Sarjana Teologi, tahun 1987 di STT-HKBP Pematangsiantar. Kemudian, Master of Arts dalam bidang Penafsiran Alkitab tahun 1990 di London Bible College, Inggris, dan Doktor Teologi tahun 1999 di Trinity Theological College, Singapura, dengan Tyndale House Cambridge, Inggris sebagai tempat penelitian lanjut.

Kehidupan di masa kecil membebat mentalnya. Setiap hari berjalan kaki berkilo-kilo meter, sesekali naik sepeda ke Nagojor untuk mengarap sawah di satu lahan milik orang tuanya dan di Afdeling lima yang disewa orangtuanya. Di sela-sela membantu orangtua di sawah, dia sedari kecil juga sudah biasa ke gereja untuk mengikuti Sekolah Minggu.

Selain itu, ia selalu mengikuti pengajaran seolah minggu di HKBP Bah Jambi. “Saya selalu memperhadapkan keyakinan iman saya sebagai anak petani. Saya sering berdoa di sawah, memohon agar Tuhan menjagai padi kami dari serangan hama, dari serangan tikus, dan dari serangan burung. Tak selalu doa saya kelihatan terjawab,” akunya.

Bahkan, pernah ketika melihat suatu pagi, bahwa padi yang siap dipanen, habis dimakan hama wereng. “Habis dibabat tikus, dan ludes dimakan ribuan burung,” ujar suami Srimiaty Rayani Simatupang MHum (Putri dari Bapak W Simatupang dan Ibu D boru Panggabean), dan ayah dari Martin, Melanchthon Bonifacio, dan Emely Katharina, mengenang masa kecilnya.

Apakah dia kecewa? Nyatanya, dia terus merasakan pemeliharaan Tuhan. Sebagai seorang teolog, makin mempelajari firman Tuhan dia menyadari kuasa Tuhan itu bisa dirasakan melalui doa. Hal itu makin kuat sesudah dia belajar di Sekolah Tinggi Teologi HKBP. Tak ada yang kebetulan, pembimbing rohaninya adalah Pdt Dr. David Leslie Baker yang kemudian memintanya membantu mengajar mahasiswa Pendidikan Agama Kristen di STT-HKBP di bidang Pengetahuan Isi Alkitab.

“Otomatis saya mesti belajar sungguh-sungguh. Beliau juga meminta saya memeriksa latihan-latihan bahasa Ibrani mahasiswa tingkat satu dan dua, ketika saya sudah menjadi mahasiswa senior, membantu dia mengedit hasil-hasil kuliah kami di bidang penafsiran surat Korintus dan Kejadian untuk diolah menjadi bahan Penelaahan Alkitab yang kemudian diterbitkan oleh Badan Penerbit Kristen  Jakarta. Buku ini sering dipakai oleh warga Kristen di jemaat-jemaat di Indonesia sampai saat ini,” ujar penulis buku Paul and Conflict Resolution yang diterbitkan oleh Paternoster Press, Inggris pada tahun 2007 itu.

Mahasiswa kritis

Dia merasakan, pembinaan rohani yang diterimanya dari Dr. Baker maupun hubungan yang dekat dengan keluarganya, istimewa dalam hal membentuk sikap iman maupun pengetahuan teologisnya, sangatlah bermanfaat di dalam hidupnya kemudian hari. Dia, sampai pada pemahaman bahwa kejahatan marak karena orang baik tak aktif berperan memperjuangkan yang baik. Dari Dr. Baker dia terus merasakan pembinaan rohani. Hubungannya dengan beliaulah  yang menyebabkan dia selalu membiasakan diri membaca Alkitab dan berdoa secara sungguh-sungguh. Hal itu bukan saja ketika mahasiswa, bahkan, sampai sekarang menjadi habitusnya. Bahwa hubungan pribadi itu harus terus terjalan pada Sang Sumber hidup, katanya.

Tetapi, ketika kejahatan di benaknya terlihat, dia selalu mengkritisinya. Masih bening diingatannya, saat menjadi Anggota Senat Mahasiswa, mengadakan perlawanan terhadap proses pemilihan Rektor STT-HKBP yang dilakukan ketika pejabat rektor, Dr. W. Sihite melaksanakan perjalanan dinas di luar negeri. Pada pemilihan itu Dr. S.M Siahaan terpilih dan disetujui oleh Ephorus HKBP GHM Siahaan. Tindakan ini baginya dan rekan-rekan sesama senat mahasiswa sebagai tak demokratis.

Karena itu, sebagai senat mahasiswa dia mengadakan protes. Akibatnya ia mendapat sanksi. Namun, dari pengalaman itu dia memetik hikmat. Dosennya Pdt TOB Simaremare MTh, dosen bidang praktika, ketika itu menasihatinya dan mengatakan bahwa sikap kritis dapat disampaikan dengan sopan, tanpa harus berteriak-teriak apalagi merusak.

“Nasihat inilah yang terus saya ingat. Termasuk ketika saya menjalankan tugas saya sebagai Ketua Badan Pertimbangan Mahasiswa (BPM) pada tahun terakhir, badan tertinggi di aktivitas mahasiswa, yang berfungsi menjembatani suara mahasiswa dengan suara para pengajar,” kenangnya.

Jebolan Cambridge

PendetaSejak mahasiswa kemampuan akademiknya di atas rata-rata sudah pekat terlihat. Saat menyelesaikan kuliah, menghadapi meja hijau, mempertanggung-jawabkan skripsinya tentang Rencana Allah menurut Roma 9-11. Salah satu pengujianya Dr. S.A.E. Nababan merasa terkesan dengan hasil ujian meja hijau dan hasil menyeluruh studinya yang sangat memuaskan. “Beliau bertanya kepada saya apa rencana saya setelah wisuda. Saya mengatakan, bahwa atas saran Dr. D.L. Baker saya sudah mempersiapkan untuk berangkat ke Inggris untuk mengikuti studi Master of Arts di bidang Hermeneutika.”

Hidup, belajar dan bergaul bersama orang percaya di Cambridge merupakan satu tahapan hidup yang berharga baginya, karena di Cambridge dia melihat dan mengalami bagaimana orang-orang percaya yang setia mengikut Kristus mencoba dengan sungguh-sungguh melihat relevansi iman orang percaya di dalam masyarakat sekuler yang intelektual.

“Di Cambridge, kota universitas terkenal, berkumpul dan belajar para mahasiswa dan para ahli dari berbagai negara untuk mencari jawab terhadap hal-hal yang masih belum mendapat jawaban yang pasti dari sisi ilmu pengetahuan. Tetapi, di Cambridge juga ditemukan orang-orang Kristen yang setia mengikut Kristus dalam masyarakat intelektual.”

Di Cambridge juga dia mencermati tingkat kemampuan berfikir secara objektif dari generasi muda usia sekolah, yang sudah mampu melihat satu masalah dari berbagai sudut pandang, dan sudah mampu memilih argumentasi mana yang paling kuat dari semuanya dalam mencari jawab terbaik terhadap masalah yang ada.

“Tentu ini terjadi karena sistim pendidikan yang dipakai bukanlah sistim banking, di mana peserta didik menelan begitu saja apa pun yang disampaikan oleh nara sumber, para guru, melainkan sistim hadap masalah, sistim demokratis, sistim partisipatif, sistim interaktif, di mana pengetahuan dari peserta didik dihargai dengan serius oleh pendidik, dan sistim kekerasan tak lagi dipakai oleh pendidik terhadap para peserta didik. Saya sangat terkejut melihat keadaan itu, dan memimpikan bahwa kelak di Indonesia, sistim yang sama harus segera diperkenalkan dan ditumbuh kembangkan.”

Alih-alih di Camrbidge juga dia menemukan kesukaan rakyat naik sepeda dari rumah ke tempat kerja atau ke kota, ke kampus dan ke tempat lainnya, bukan karena usaha menghemat uang parkir, melainkan untuk membantu usaha menjaga kesehatan tubuh dan jiwa.

Keramahtamahan orang percaya di sana juga sangat menggerakkan hati. Pernah Sekretaris Jenderal HKBP, Pdt OPT Simorangkir datang berkunjung ke Cambridge untuk menguatkan saya. Ia diterima sebagai tamu bekas Kepala Sekolah, dan tinggal di rumahnya selama satu minggu. Demikian berusahanya sang tuan rumah membantunya berbahasa Inggris sehingga sebelum pulang beliau menyebutkan begini: “Hari pertama dan kedua saya tak mengerti apa yang teman itu katakan kepada saya. Tetapi, setelah seminggu saya sudah dapat memahami dengan baik. Kalau saya tinggal bersama dia selama dua tiga minggu, saya akan menguasai bahasa Inggris dengan baik.”

Selesai kuliah di Inggris Oktober 1990, ia ditempatkan di HKBP Lumbanbaringin, Sipoholon, Tapanuli Utara dan pada bulan Januari 1992 dia menerima penugasan baru dari pimpinan HKBP, yaitu menjadi staff kantor pusat untuk bidang oikumene. Penugasannya yang baru untuk memberi kesempatan kepada Kepala Biro Oikumene waktu itu, yaitu Pdt Plaston Simanjuntak MMin untuk studi lanjut program Doktor of Ministry di Amerilka. “Sewaktu tugas di Pearaja Tarutung, saya tinggal di rumah sewa, mula-mula di Jalan Sisingamangaraja, kemudian di Siwalu Ompu, dan terakhir di Pardangguran.”

Memberi dari kemiskinan

Ketika bertugas di Biro Oikumene HKBP, tanda-tanda konflik besar di antara HKBP dengan pejabat pemerintah terjadi, berawal dari adanya ketidak harmonisan hubungan di antara Ephorus Dr. Nababan dengan Sekretaris Jenderal Pdt OPT Simorangkir.  Konflik itu kemudian dicoba diatasi di dalam sinode godang HKBP bulan Desember 1992 di Sipoholon, tetapi tak berhasil.

“Saya sendiri, yang belum lama bertugas di Pearaja, harus mengambil keputusan saya sendiri. Sebelum mengambil keputusan, saya tentu berdoa selama beberapa jam di kantor saya. Ada beberapa pertimbangkan waktu itu, yaitu: Pertama, meminta cuti, dan mempertimbangkan masuk kembali setelah konflik selesai. Pilihan ini memang paling aman. Tetapi pilihan ini berarti bahwa saya lari dari masalah, tak menghadapi masalah dengan segala resiko. Saya sudah bersekolah untuk HKBP. Dengan cuti, berarti saya berhenti memenuhi visi HKBP yang sebelumnya memberangkatkan saya sekolah.” 

Akhirnya, pemerintah ikut masuk pada pusaran konflik internal di tubuh HKBP. Beberapa orang yang setia menolak campur tangan pemerintah pun ditangkapi dan dianiaya. Termasuk dirinya juga ditangkap dan ditahan bahkan, mendapat berbagai tamparan dan tendangan yang tak pantas dilakukan terhadap pendeta. Setelah dibebaskan ia ke Jakarta. Di Jakarta kemudian dia bisa bergabung dengan teman-teman pendeta bersama Dr. SAE Nababan. Kemudian ia menerima pentahbisan kependetaan 9 Mei 1993 di HKBP Tangerang Kota.  Tiga tahun kemudian ia diberangkatkan mengikuti program studi S3 di Singapura, diselesaikannya kurang dari tiga tahun.

Mengingat bahwa selama studi doktor tiga tahun dia tak pernah mengadakan libur. “Setelah wisuda saya diminta Ephorus Pdt Dr. JR Hutauruk (Ephorus HKBP 1998-2004) untuk memimpin Biro Oikumene HKBP, yang dikenal sebagai Ephorus yang mengusahakan perdamaian, menyembuhkan luka-luka batin, menjembatani rekonsiliasi di tubuh HKBP. “Beliau meminta saya langsung menunaikan tugas sebagai Kepala Biro Oikumene HKBP, menggantikan Pdt BTP Purba, mantan Praeses yang beralih  tugas menjadi direktur Sekolah Guru Huria HKBP di Seminarium Sipohon.

Tugas utama saya adalah membangun kembali hubungan HKBP dengan mitra-mitra oikumenisnya di dalam dan di luar negeri, teristimewa karena selama krisis HKBP (1993-1998) dan sesudahnya (1998-1999) hubungan itu tak berlangsung baik. Banyak persekutuan gerakan oikumene yang memihak kepada kelompok yang ditekan pemerintah. Ada satu dua yang masih berhubungan dengan pihak yang didukung pemerintah. Tetapi, pada umumnya peran HKBP di dalam gerakan itu tak semaksimal seperti sebelum konflik dimulai.

“Saya diminta mengerjakan hal itu selama satu tahun, karena setelah itu ephorus berjanji akan mengijinkan saya mengajar di STT-HKBP, sebagaimana saya minta ketika melapor setelah selesai studi.”

Selama satu tahun dia bekerja siang malam untuk membangun hubungan itu, yang keberhasilannya ditandai dengan kesediaan beberapa pimpinan gerakan oikumene internasional mengunjungi HKBP secara khusus, yaitu Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Sedunia, Pdt Dr. Konrad Raiser, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Lutheran Sedunia (LWF) Pdt Dr. Ishmael Noko, dan Ketua Gereja-gereja Protestan di Jerman, Praeses Manfred Koch bersama beberapa Bishop lainnya seperti Bishop  Koppe.   Pembangunan kembali hubungan itu penting karena “HKBP merupakan gereja protestan terbesar di Asia Tenggara, yang kontribusinya di dalam gerakan oikumene sangat diharapkan.” Keberhasilan itu tercapai karena dia bekerja pagi-pagi buta dengan menggunakan komunikasi internet, yang pada waktu itu hanya bisa lancar ketika tak ada orang lain yang memakai jalur telepon di Tarutung dan khususnya di Pearaja.

Sebagai pendeta berjubel pengetahuannya tentang Alkitab terkhusus Perjanjian Baru, Robinson kemudian didaulat menjadi dosen Perjanjian Baru. Mengajar Perjanjian Baru di Universitas Silliman, Dumaguete, Philipina (2000-2002). Pada waktu itu, Ephorus Hutauruk menerima permintaan dari United Evangelical Mission (UEM) agar mengirimnya menjadi tenaga pengajar di bidang Perjanjian Baru di Silliman University, Dumaguete, Negros Oriental Philippines, yang bersama gereja protestan terbesar di Philipina (UCCP) meminta bantuan UEM untuk mengirimkan  tenaga itu, karena dosen Perjanjian Baru di sana ditugaskan untuk menjalani studi doktor.

Permintaan UEM ini disambut baik oleh Ephorus Hutauruk yang kemudian memintanya untuk mengajar di Philippina. “Ephorus Hutauruk mengatakan begini kepada saya. Saya tahu kerinduanmu untuk mengajar di STT-HKBP. Saya juga tahu bahwa kepersonaliaan kita masih miskin. Tetapi, dari kemiskinan personel kita di bidang pengajaran Perjanjian Baru, kita harus mulai memberanikan diri membantu misi UEM yang meminta tenaga kita untuk bekerja di Philipina. Kita harus berani meniru jemaat-jemaat di Makedonia di dalam Perjanjian Baru, yang memberi dari kemiskinannya,” kenangnya.

Sejak itu, dia berjanji dalam dirinya tidak akan menolak SK pimpinan. “Saya akan mengikuti keputusan pimpinan HKBP di dalam hal tempat tugas pelayanan saya. Karena itu, saya melaksanakan setiap keputusan pimpinan saya. Dan saya menyetujui berangkat ke Philipina, tetapi dengan pemahaman bahwa saya hanya mengajar di sana selama satu periode, tiga tahun, dan setelahnya kembali ke HKBP untuk mengajar di STT-HKBP.”

Akhirnya, dia kemudian ke Philipina. “Saya berhubungan secara intensif dengan Joerg Spitzer, Kepala Biro Personalia UEM di Wuppertal dan dengan Bishop Erme Camba, Dekan Fakultas Teologi di Dumaguete Philipina, untuk membicarakan pengaturan ketibaan, perubahan di kampus, dan uraian tugas mengajar dan persiapan-persiapan pengajaran itu sendiri. Saya tak punya banyak waktu untuk berbuat hal lain kecuali mempersiapkan materi-materi kuliah saya. Kami tinggal di bekas rumah Dekan yang jaraknya hanya dua ratus meter dari kampus Divinity School.”

Namun kemudian, sebelum tugas di Philippina berakhir, Ephorus Hutauruk menugaskan saya  bekerja di Wuppertal, Jerman (2002-2003). Hidup dan bekerja selama satu tahun di Wuppertal berlalu dengan cepat sekali, karena dia sejak awal sampai akhir masa tugas semangat, sibuk. “Saya bekerja mulai pukul tujuh pagi, karena teman saya di kantor, Pdt Peter Demberger juga bekerja seawal itu. Dia sudah kembali ke rumah pukul dua sore, dan kadang kala bekerja dari rumahnya. Kerjasama kami cukup baik, dan beliau merasa bersyukur karena berkat kehadiran saya tak ada sesuatu pekerjaan pun yang tertinggal untuk gereja-gereja Asia. Beliau melihat ketelitian saya bekerja, dan kerajinan saya meneliti kasus-kasus di Archiv UEM sebelum melakukan tindakan.”

Memimpin UEM Asia

Robinson menyadari bahwa keberhasilan pelayanannya bukan karena kepintaran dan kekuatannya semata-mata. Sebab dia sadar, bahwa jika menjiwai panggilan sebagai pelayan, niscaya diberiNya kekuatan. Dia telah juga punya reputasi memimpin kantor UEM Regional Asia (2003-2008) yang sebelumnya dipimpin Pdt Ruth Quiocho, seorang temannya dari Philipina. Sebelumnya kantor itu di Philipina. Tetapi kemudian oleh keputusan Council UEM kantor itu dipindahkan ke Medan, Indonesia karena lebih banyak anggota UEM berada di Indonesia.

“Hal yang paling utama saya kerjakan ketika memulai tugas di Medan adalah memindahkan kantor ke kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia wilayah Sumut (PGI-WSU) yang saat itu sedang dipimpin oleh Pdt Dr. Langsung Sitorus.”

Regional Asia UEM dilayani oleh tiga staf eksekutif, yaitu dari Philippina, dari jerman dan saya. Saya memimpin tim ini dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, mengintegrasikan program-program bersama UEM di regional Asia, yang berbentuk kunjungan, seminar, konsultasi, lokakarya, dan pelatihan-pelatihan untuk hal-hal yang oleh sidang raya UEM sebagai kebutuhan prioritas bagi gereja-gereja anggotanya.

Robinson.jpgProgram-program di Asia beraneka, seperti keadilan gender, hak-hak anak, keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan, evangelisasi, kepemimpinan khususnya di kalangan pemuda, HIV dan AIDS dan pendidikan edukasi pastoral. Tugas Butarbar waktu itu juga dalah mengorganisir rapat-rapat UEM di Asia, termasuk sidang saya regional Asia, rapat Council Asia dan Sidang RAya VEM, serta membantu mengorganisir program-program internasional UEM (Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan, Evangelisasi dan HIV/AIDS) yang diadakan di Asia. Ia juga mewakili staff UEM di Asia menghadiri rapat-rapat internasional UEM di lua Asia, yaiatu di Eropah dan Afrika.

Dia melakukan tugas ini dengan baik. Melalui pelaksanaan tugas ini, dia mengenal sekujur gereja-gereja, anggota UEM di Asia. “Saya juga berhasil menjalin hubungan yang sangat dekat dengan gereja-gereja anggota UEM yang berkantor pusat di Sumatera Utara yang memiliki pergumulan sendiri. Secara khusus, gereja-gereja ini berhasil mengembangkan sendiri program-program menyangkut hak-hak perempuan, hak-hak anak, penanganan HIV-AIDS dan KPKC.”

Misalnya, dia contohkan, HKBP telah memiliki komite HIV dan AIDS yang bekerja efektif. Gereja-gereja berkantor pusat di Pematangsiantar berhasil mendirikan Pondok Kasih, di mana penanganan HIV dan AIDS dilakukan dengan baik. GKPS mendirikan Crisis Centre untuk korban kekerasan di kalangan perempuan. GBKP terus dengan giat mengadakan, hal sama dengan memiliki rumah perlindungan. –

Satu tahun sebelum tugasnya berakhir di Asia, ia kemudian dipromosikan oleh Council UEM yang baru, yaitu memimpin Departemen Internasional untuk Pelatihan dan Pemberdayaan para pemimpin gereja-gereja anggota UEM, para pemuda dan perempuan melalui pelatihan dan beasiswa maupun pertukaran pemuda. Itu sebabnya ia harus pindah ke Jerman pada awal Januari 2009 ke Wuppertal Jerman. Dari sana ia mengorganisir pelatihan lebih dari seribu orang pemimpin gereja-gereja di Asia, Afrika dan Eropah. Tugas itu memberi kesempatan padanya untuk mengunjungi gereja-gereja di Rwanda, Kongo, Bostwana, Namibia, Tansania dan Kamerun selama kurun waktu hampir lima tahun (2009-2013). Ia kembali ke Indonesia akhir Agustus 2013.

Membawa Visi HKBP

Sejak September 2013, dia dipercayakan mengajar Studi Perjanjian Baru di STT-HKBP Pematangsiantar oleh Ephorus HKBP Pdt Willem TP Simarmata MA. Pada Rapat Pendeta HKBP di FKIP Pematangsiantar ia diusulkan menjadi salah seorang calon Ketua Rapat Pendeta. Namun ia mengundurkan diri.  Pengetahuannya yang luas di bidang teologi mendorong Ephorus HKBP mempercayakan tugas tambahan kepadanya, yaitu memimpin Komisi Teologi HKBP sejak Februari 2014. Teman-temannya para Doktor Teologi Bapak juga melihat komitmennya membangun teologi yang reformis. Mereka memberi kepercayaan padanya memimpin Forum Teolog Batak sejak Februari 2015.  Forum ini beranggotakan para teolog bergelar Doktor Teologi.

Sejak awal 2014, ia kembali didorong oleh para pendeta muda dan senior untuk mempertimbangkan kesediaan mencalonkan diri menjadi calon Ephorus HKBP. Ia tidak langsung menerima dorongan itu, melainkan membawanya di dalam doa selama 10 bulan pada tahun 2015 untuk bertanya pada Tuhan. Akhirnya pada bulan Februai 2016, didorong oleh panggilan Tuhan dan kecintaannya pada HKBP, ia pun mendeklarasikan diri bersedia mempersembahkan diri untuk dipilih di sinode Agung HKBP sebagai Ephorus pada Sinode Agung ke-63 HKBP di Seminarium Sipholon pada tanggal 12-18 September 2016. Ia bertekad merealisasikan visi HKBP menjadi berkat bagi dunia. Bersamanya Pdt. Daniel Taruli Asi Harahap M.Th, mencalonkan diri sebagai Sekretaris Jenderal HKBP.

Selain itu, muncul juga nama Pdt. Roida Situmorang D. Min disiapkan menjadi Kepala Departemen Koinonia, kemudian Pdt. Marolop Sinaga M.Th tetap menjadi Kepala Departemen Marturia. Sementara, Pdt. Dr. Hulman Sinaga sebagai calon Kepala Departemen Diakonia. “Tim ini jika terpilih akan membawa visi HKBP yang sudah ada, Menjadi Berkat Bagi Dunia. Sudah cukup bagi kita selama ini memikirkan diri sendiri,” katanya. Hotman J. Lumban Gaol (Hojot Marluga)

Sati Nasution


 

IskadarSati Nasution: Pendiri Perguruan Tano Bato

“Tinggal ma ho jolo ale

Anta piga taon ngada uboto

Muda uida ho mulak muse

Ulang be nian sai maoto

Lao ita marsarak

Marsipaingot dope au dio

Ulang lupa paingot danak

Manjalai bisuk na peto

Bait puisi di atas adalah puisi dari seorang pioneer pendidikan dari tanah Batak. Dialah Willem Iskander dengan nama lahir‎ ‎Sati Nasution, sedangkan gelarnya adalah Sutan Iskandar. Dia putra Nasution keturunan dari Sutan Diaru, dari generasi ke-11 marga Nasution di Mandailing. Dia lahir pada tahun1840, di Pidoli Lombang, Panyabungan Kota, Mandailing Natal, sekarang dikenal Madina.

Dia dikenal sebagai penulis, pujangga bahasa yang menyair banyak puisi, terutama untuk menggugah pendidikan dan cinta kampung halaman. Panggilannya tak hanya bersastra kemudian maujud menjadi pendidik, melawan virus kebodohan kaumnya. Di kemudian hari menjadi dia disebut salah satu tokoh perintis pendidikan Indonesia, walau hanya mendirikan Perguruan Tano Bato untuk calon guru, di Mandailing Natal.

Usia remaja yang terbilang muda, 13 tahun, dia hanya mengecap sekolah rendah selama kurang lebih dua tahun di Panyabungan. Menurut Basyral Hamidy Harahap seorang peneliti dan penulis memoar tentang Sati Nasution ini menyebut, kemungkinan besar dia merupakan guru paling muda dalam sejarah dunia pendidikan Indonesia. Asumsinya, sudah mulai aktif mengajar pada usia 15 tahun. Artinya, selulus pendidikan rendah itu dia sudah mendarma-baktikan hidupnya pada pendidikan.

Usia semuda itu, dia telah juga merambah kerja birokrasi bekerja sebagai sekretaris kantor pusat pemerintahan Mandailing-Angkola. Ada pencapaiannya itu, Alexander Philippus Godon, Asisten Residen Mandailing Angkola, pada masa itu kembali ke Negeri Belanda sekitar Pebruari 1857, dan membawa Sati turut serta untuk meneruskan pelajarannya pada salah satu sekolah guru di Belanda. Di Belanda dia banyak belajar tentang esensi pendidikan. Tak hanya itu, dia kemudian menemukan ketenangan batinnya, pengikut Kristus, dan menetapkan diri menjadi seorang Kristen.

Kemudian, ijazah guru bantu diperolehnya pada bulan Oktober 1860, sempat kembali ke Mandailing untuk memulihkan fisiknya yang sakit. Dua tahun kepulanganya  dari Belanda, tepat bulan Oktober 1862, dia mendirikan perguruan untuk guru di Tano Bato, sekarang di Kecamatan Panyabungan Selatan. Sekolah itu dia pimpin langsung, namun kurang lebih selama 12 tahun kemudian perguruaan itu pemidahannya ke kota Padang Sidempuan.

Masih menurut Basyral Hamidy Harahap, sejak Willem Iskander menerima beslit bertanggal 5 Maret 1862, yang mengizinkannya mendirikan Kweekschool di Mandailing, dia bergegas dan menetapkannya sebagai guru pada Kweekschool Tanobato. Walau perjuangannya sangat berat. Waktu itu, sedikit sekali orang yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah guru itu.

Alasannya, selain belum booming orang sekolah, sekelumit terlihat lulusan guru tak punya kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak, kalau tak disebut kata. Oleh pesimisme itu dijawabnya dengan sikap arif, diatasinya dengan sika bertekun, yang pada akhirnya kelangkaan murid itu pun dapat diatasinya.

Selanjutnya, pada September 1863, Gubernur Van den Bosche datang dari Padang melakukan inspeksi ke sekolah ini, di mana waktu itu bahwa pusat gubernur untuk daerah Sumatera berada di Padang. Gubernur kemudian melaporkan kunjungannya kepada Gubernur Jenderal dalam suratnya tanggal 13 September 1863. Ia menyatakan, kekagumannya terhadap kepiawaian Willem Iskander. Kesannya ia tulis dengan kata-kata; “zeer ontwikkeld, hoogst ijverig,” artinya sangat cerdik, terpelajar, dan sangat rajin dan tekun.

Kemudian Van der Chijs diutus untuk menyaksikan perguruan Taon Bato. Selama di Tanobato Van der Chijs menyaksikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah guru ini. Bahkan, mengagumi kebolehan Willem Iskander mengajarkan konsep-konsep ilmu pengetahuan dalam bahasa Mandailing dan bahasa Melayu. Sekalin itu, Van der Chijs juga kagum atas  kemampuan berbahasa Belanda para murid Willem Iskander.

Tulis Van der Chjis: “Cara Willem Iskander mengajarkan dasar-dasar fisika dalam bahasa Mandailing dengan metode sendiri, memakai alat peraga lokal yang dikenal baik oleh murid-muridnya.” Tulisan laporan tahunan pendidikan bumiputera tentang kekagumannya terhadap tiga kemampuan murid-murid di perguruan Tano Bato, bidang matematika, bahasa Melayu dan bahasa Belanda.

Memang, sebagai pendiri perguruan dia mencerahkan pikiran para murid, bahwa kemampuan berbahasa Melayu dan bahasa Belanda, adalah kunci gerbang ilmu pengetahuan. Maka, bahasa Batak Mandailing diajarkan ala kadarnya. Sementara Bahasa Belanda diajarkannya empat kali seminggu. Ada banyak prediksi bahwa salah satu kemampuan berbahasa itulah yang mengantar para murid-muridnya banyak menjadi pengarang, penerjemah dan penyadur.

Selain itu, konsep dari Willem Iskander melaksanakan ujian akhir, dimulai pada bulan Juni 1871. “Ujian dimulai dengan menyuruh murid-murid menulis esai, dilanjutkan dengan pertanyaan tentang ilmu alam, lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda. Kemampuan berbahasa Belanda dan bahasa Melayu diuji dengan cara membaca dan berbicara dalam kedua bahasa itu. Dan, ujian berhitung dilakukan dengan menjawab soal-soal dengan menulis pada batu tulis dan papan tulis.”

Pada 25 September 1860, Willem Iskander berjumpa dengan Eduard Douwes Dekker, alias Multatuli. Keduanya kemudian menjalin hubungan yang era, hangat sekali. Murtatuli kerap mengkritik pemerintahan Belanda atas jajahan, yang kemudian menganjalnya pada tuntutan di sidang pengadilan. Hadir dalam sidang itu Duymaer van Twist mantan Gubernur Jenderal yang memecat Eduard Douwes Dekker dari jabatan Asisten Residen Lebak. Ada 65 orang yang hadir di dalam sidang ini, 62 anggota, ketua Tweede Kamer, Reenen dan dua menteri, bahkan Menteri Urusan Jajahan J.J. Rochussen dan Menteri Keuangan Van Hall.

Hingga kemudian di tahun 1871, Van der Chijs mendekritkan pembaruan sekolah guru bumiputera. Ia membuat sejumlah syarat yang harus dipenuhi setiap sekolah guru bumiputera. Dekrit itu berkaitan dengan gagasan-gagasan Willem Iskander. Tiga syarat penting ialah pertama, sekolah guru harus menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kedua, guru sekolah guru harus mampu menulis buku pelajaran, dan ketiga, bahasa daerah harus dikembangkan sesuai kaidah-kaidah bahasa.

Namun kemudian oleh usulan Willem itulah membuka pintu bagi anak-anak pribumi untuk diterima beasiswa di Belanda. Kemudian 4 orang dari tanah jajahan Hindia Belada diberangkatkan untuk menjadi beasiswa, salah satunya Willim sendiri. Tahun 1873, telah diketahui hanya tiga orang guru muda yang berangkat ke Negeri Belanda bersama Willem Iskander. Mereka adalah Banas Lubis murid Willem Iskander di sekolah guru Tanobato, Raden Mas Surono dari Kweekschool Surakarta, dan Mas Ardi Sasmita guru sekolah rendah di Majalengka lulusan Kweekschool Bandung.

Namun proyek beasiswa itu gagal. Tiga orang calon guru itu meninggal pada tahun 1875. Banas Lubis dan Ardi Sasmita meninggal di Amsterdam karena kesehatan mereka menurun disebabkan berbagai hal, antara lain rindu tanah air, cuaca buruk, dan masalah lain-lain yang menyebabkan mereka bertiga stres berat. Ketika Raden Mas Surono jatuh sakit, pemerintah mengambil keputusan untuk memulangkannya ke Tanah Air. Ada harapan Raden Mas Surono akan sembuh dalam perjalanan. Tetapi, takdir menentukan lain. Raden Mas Surono meninggal dalam pelayaran ke Tanah Air. Nakhoda dan kelasi melarungkan jenazah Raden Mas Surono ke laut.

Oleh kematian tiga sahabatnya itu, memukul perasaan Willem. Cita-citanya yang luhur untuk mencerdaskan bangsa melalui pendidikan, ternyata gagal. Dalam keadaan berduka itu, Godon memberikan nasihat kepada Willem untuklah menikah. “Kehadiran seorang isteri pastilah akan meringankan beban pikiran, karena ada teman berbagi duka,” katanya.

Atas nasihati itu, Willem pun menikah dengan Maria Christina Jacoba Winter. Pada tanggal 27 Januari 1876 keduanya diberkati di gereja di Amsterdam. Hanya saja, jalan Tuhan berbeda dengan rencana manusia. Pernikahannya tak berumur panjang, Willem kemudian dipanggil Bapa di sorga, wafat tanggal 8 Mei 1876, kemudian dimakamkan di Zorgvlied Begraafplaats, Amsterdam. Sementara istrinya, Maria Jacoba Christina Iskander-Winter tetap setia menjanda, hingga kemudian di usia 69 tahun, Maria mengalami sakit Witte Kruis. Dan wafat 25 April 1920. Jasadnya dimakamkan di pekuburan Nieuwe Oosterbegraafplaats, Amsterdam. (Hojot Marluga)

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=tCN_-DMSd20

 

Sondang Hutagalung


SOndangSondang Hutagalung adalah priak kelahiran Bekasi, Jawa Barat, 12 November 1989. Dia meninggal di Jakarta, 10 Desember 2011 pada umur 22 tahun. Sondang adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, Jakarta yang meninggal karena membakar diri pada Rabu sore 7 Desember 2011 di depan Istana Negara, Jakarta. Kala itu, Sondang menjabat ketua Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenisme untuk Rakyat Indonesia yang aktif dalam kegiatan “Sahabat Munir”. Di mata teman-temannya Sondang adalah aktivis yang sering terlibat dalam upaya advokasi dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Sondang dilahirkan sebagai anak bungsu dari empat bersaudara keluarga Victor Hutagalung dan Dame Sipahutar. Ayahnya bekerja sebagai sopir taksi, sementara ibunya hanyalah penjual sayur. Aksi bakar diri yang dia lakukan di depan Istana Negara itu juga mendapat simpati dari berbagai tokoh. Seminggu setelah kejadian itu, termasuk Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya di pembukaan Rakernas PDI Perjuangan menyebut, kematian Sondang Hutagalung merupakan tragedi yang harus diperingati sebagai tamparan keras  atas kesalahan pengelolaan bangsa.

“Beberapa hari lalu kita menyaksikan seorang anak negeri, Sondang Hutagalung membakar diri di hadapan istana sebagai protes atas pengelolaan politik dan pemerintahan, yang jauh dari gambaran ideal generasi muda bangsa,” ujar pada saat pidato pembukaan Rakernas I PDI Perjuangan di Bandung, Senin (12/12/11). Bagi Mega, pesan Sondang dalam aksi bakar diri tersebut jelas tertuju pada kekecewaan terhadap perilaku elit pemerintah. “Sondang telah pergi, tapi pesannya terasa keras menampar telinga kita. Kita tidak membutuhkan teguran keras lainnya, hanya untuk menyadari bahwa ada yang salah dengan pengelolaan bangsa ini,” ujarnya ketika itu.

Mega meminta agar aksi Sondang tersebut menjadi bahan renungan dan mempertanyakan sikap pemerintah atas tragedi tersebut. “Saya minta setiap warga PDI Perjuangan, bahkan setiap anak negeri untuk merenungi tragedi ini. Kita pantas bertanya, apakah pemimpin di negeri ini tidak terbetot hatinya melihat seorang mahasiswa yang karena prinsip dan keyakinannya melakukan tindakan itu? Merinding rasanya bulu kuduk saya sebagai seorang ibu melihat derita anak negeri ini.”.

Dia menambahkan, sebagai pribadi dan pimpinan partai saya menyampaikan duka cita atas kepergian Sondang. Bukan karena dia Sondang, tapi ia adalah gambaran dari generasi muda bangsa, sambil tetap berharap tidak akan ada lagi anak negeri yang kehilangan nyawanya karena prinsip dan keyakinannya, katanya.

Tak ada yang menyangka Sondang akan melakukan aksi nekat, Rabu 7 Desember 2011 lalu. Dari arah Monas, dia tiba berlari mengguyur bensin ke tubuhnya dan menyulut api. Aksi itu dilakukan sekitar pukul 17.30. Sejam sebelumnya, di tempat itu para kepala desa melakukan unjuk rasa. Akibat luka bakar 98 persen di tubuhnya, Sondang akhirnya pergi, Sabtu 10 Desember 2011. Mungkin berbagai diskusi terhadap aksinya itu. Tetapi, sesungguhnya Sondang adalah pahlawan. Walau dikenal sesaat, setelah itu dilupakan.

Johny Pardede


Ev Johny Pardede

“Dulu Terjerembab Lumpur Dosa, Kini Termotivasi Amanat Agung”

Jhonny Pardede_CoverKemajuan peradaban ternyata tak menjamin keadaan dunia makin baik. Nyatanya, keadaan dunia malah semakin mencekam. Bahkan, keadaannya makin mencekam. Situasi itu diperparah dengan harga-harga barang bertambah, ketakutan dan ketidakpastian melanda seluruh jagat raya ini. Apalagi amat sering terjadi fluktuasi ekonomi. Tentu, jika tanpa berpegangan erat dengan firman Tuhan, seseorang bisa makin terperosok makin dalam terjerembab. “Hanya orang yang menyerahkan hidup total pada Tuhanlah tak takut menghadapi badai, kondisi yang sulit seperti sekarang ini. Hanya orang-orang yang dipanggil dan diurapilah yang dapat menang mengatasi keadaan sulit. Karena itu, kita harus bertobat dan menjadi pemberita firman Tuhan,” ujar Ev Johny Pardede.

Ajakan itu kerap kali disampaikannya, baik di acara KKR, acara seminar dan kebaktian-kebaktian gerejawi yang dipimpinnya. Asal ada kesempatan menyampaikan  firman Tuhan, Jhony pasti menyampaikan prinsip-prinsip  dan kiat-kiat agar orang percaya dapat menang atas situasi yang sulit. Bahkan, di dalam khotbahnya, Jhony juga amat sering mengisahkan kesaksian hidupnya. Pengalamannya sebagai pengusaha  sebelum dan sesudah bertobat. “Saya dulu adalah pengusaha yang hanya memikirkan dunia ini. Saya melakukan dosa. Tetapi itu sebelum mengenal anugerah Tuhan,” kenangnya. Namun, lika-liku kehidupan pribadi yang panjang, penuh onak menghacurkan hidupnya membawanya pada pertobatan.

Sejak bertobat, Jhony terpesona dengan ajakan untuk pergi (Matius 28:19-20) “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Dia menambahkan, kita terkadang suka menggembar-gemborkan Amanat Agung, tanpa pemahaman yang dalam bahkan tak berusaha sebagaimana pesan yang dimaksud, dituntut dari Amanat Agung.

Siapakah Jhony? Johny Pardede, lahir di Medan, 24 April 1954. Anak ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan orangtua (ibu) Hermina Napitupulu dan (ayah) Tumpal Dorianus Pardede, yang dikenal dengan nama TD Pardede. Almarhum ayahnya adalah seorang pengusaha di masa pemerintahan Soekarno, hingga kemudian menjadi Menteri Berdikari. Sebagai pengusaha, bahkan, pernah menjadi salah satu pengusaha terkaya di Indonesia pada era-nya.

Jhony sendiri mengikuti jejak sang ayah menjadi pengusaha. Dimulai dari mengasuh club bola, dulu dikenal sebagai pemilik club bola Harimau Tapanuli. Memang, sejak dia bertobat dan menjadi penginjil, Jhony tak lagi mengembangkan club bola itu. Hanya menjadi pengusaha tetap dikembangkan. Maka, walau sudah lama meninggalkan dunia bola, jika ditanya soal bola, mengapa persepakbolaan di Indonesia tak maju-maju?

Jawabannya, pengurusnya harus bertobat. “Jika konsep yang diterapkan sekarang masih dilakukan, jelasnya persepakbolaan di Indonesia tak akan maju. Mesti harus ada perubahan total. Pertobatan total agar persepakbolaan Indonesia maju,” ujarnya. Menurutnya, jika pengurus persepakbolaan tak loyal, dia pesimis sepakbola Indonesia, niscaya maju.

Sebagai anak pengusaha  Batak yang kaya raya, dari kecil sampai SMP Jhony tinggal di Jerman. Sudah terbiasa hidup nyaman. Bahkan menghambur-hamburkan uang untuk kesenangan sesat. Tentulah, tingkah lakunya banyak dipengaruhi kehidupan bebas di Jerman, sehingga ketika kembali ke Indonesia kebiasaan itu menjadi semakin tak karuan, kalau tidak disebut makin jahat. Tetapi, puji Tuhan, oleh cara Tuhan dia kemudian bertobat dan dipanggil menjadi pemberi firman Tuhan oleh kematian sang ayah. Kematian ayahnya pada 18 November 1991, yang sebelumnya didahului ibunya, meninggal 20 Mei 1982. Membuat hatinya hancur berkeping-keping.

Kematian orangtuanya, terutama ayahnya membuat Jhony bertobat. Di akhir tahun 1991, momentum yang membuat dia meninggalkan hidup yang penuh kemunafikan. Yang dulu nyaman hanya memikirkan dirinya, kini memikirkan sorga. Sejak menetapkan diri menjadi pemberita firman Tuhan, dia senantiasa antusias membagikan kabar kesukaan. Jhony di mana pun, kapanpun  ia berada. Bahkan, setiap hari melayani dan menyampaikan Firman Tuhan, hingga ke seluruh penjuru dunia.

Alih-alih sebagai anak dari latar belakang anak yang kaya raya, dulu dia telah menikmati semua kesenangan dunia sampai akhirnya ayahnya meninggal dunia dia bertobat. “Beliau memberi pesan kepada anak-anaknya bahwa sepertiga harta dari keluarga haruslah dipakai untuk pekerjaan Tuhan,” ujarnya. Mengingat pesan dari almarhum ayahandanya, Jhony memetiknya menjadi peringatan untuk menjadi evangelis.

Akhirnya, melalui pesan tersebut, Johny Pardede dipanggil Tuhan dari hidup yang pada untuk menginjili ke seluruh Negara tentang pentingnya hidup bersama Tuhan Yesus. Tentu, tak otomatis seluruh keputusannya untuk menjadi penginjil, berhasil. Dia dengan rendah hari memberi dirinya dibebat seperti bejana tanah liat, dibentuk berkali-kali hingga kemudian tentang melayaniNya seperti sekarang ini.

 

Aktif di FGBMFI

Kini, Jhony tak saja hanya melayani kaum awam, tetapi juga melayani para bisnisman. Iya, itu tadi dimana pun ada kesempatan dia selalu mengajak para bisnisman, bahkan rekan-rekan hamba Tuhan dengan hati yang damai janganlah lagi benih dosa, tetapi berubah oleh pembaharuan budi.

Sejak menyerahkan hidupnya pada tuntunan Tuhan, Jhony terus telaten memberitakan Injil. Sebagai pengusaha, tetap memprioritaskan pelayanan Firman Tuhan. Oleh pelayanannya tentu banyak diapresiasi hamba Tuhan, dan para bisnisman. Tak heran dia sering didaulat untuk menjadi pembicara. Salah satu contoh misalnya, Acara Couple Dinner Gabungan yang diadakan pada hari Jumat 12 juni 2015 bertempat di resto Hongkong Garden, Padang Galak, Sanur Bali. Jhoni didaulat menjadi salah satu pembicara. Acara tersebut tentu berlangsung dengan baik dan sukses.

“Semua yang hadir sangat bersuka cita, dan mereka semua turut memuji Tuhan,” tambahnya mengingat acara FGBMFI itu. Sebagai pembicara, lagi-lagi kesaksian hidupnya yang luar biasa dan sangat memberkati semua bisnisman yang hadir. Bahkan, saat altar call banyak yang maju ke depan untuk didoakan, bahkan menerima Tuhan Yesus sebagai Juruslamat. “Mereka didoakan untuk mendapat jamahan dan lawatan Tuhan, didoakan untuk kesembuhan dan kelepasan. Luar biasa Roh Kudus melawat mereka,” ujarnya.

Inilah hidup, perjalanan hidup setiap orang siapa yang tahu. Jhony telah menyaksikannya, dulu lama hidup dalam kebinasaan, terjerembab dalam lumpur dosa. Tetapi, kini, Tuhan mengangkatnya bahkan, dipercayakan menyampaikan Amanat Agung, sebagai hamba Tuhan. Bahkan, yang dulu dia mengggap kekayaan adalah yang terpenting, kini menemukan yang lebih penting, memikul beban, memberitakan firman Tuhan sebagai yang termulia.

Hotman J Lumban Gaol (Hojot Marluga)

 

Luhut Pangaribuan


LUHUT Pangaribuan dikenal luas sebagai seorang advokat ketika kerap muncul dalam wawancara di televisi dalam kapasitas sebagai penasihat hukum Presiden Abdurrahman Wahid. Bicaranya lancar dan jernih, tutur katanya halus tapi di sana-sini masih terdeteksi timbre Batak, pikirannya runtut dan strategis, terasa segudang referensi hukum menancap di benaknya.

LUHUT Pangaribuan dikenal luas sebagai seorang advokat ketika kerap muncul dalam wawancara di televisi dalam kapasitas sebagai penasihat hukum Presiden Abdurrahman Wahid. Bicaranya lancar dan jernih, tutur katanya halus tapi di sana-sini masih terdeteksi timbre Batak, pikirannya runtut dan strategis, terasa segudang referensi hukum menancap di benaknya.

Namun, di kalangan pembaca surat kabar, nama ini sudah terbaca sejak pertengahan tahun 1982 ketika membela tertuduh dalam sidang orangtua memakan anaknya di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Intensitas pemberitaan di surat-surat kabar yang menyertakan perannya sebagai pembela meningkat sejak pertengahan dasawarsa 1980-an ketika ia jadi pembela dalam perkara Tanjungpriok dan pemboman BCA. Yang ia bela sejak itu banyak dari kaum papa yang berhadapan dengan negara dan kekerasannya; juga politikus, aktivis, dan mahasiswa yang oleh rezim Orde Baru dianggap sebagai pembangkang. Advokat Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ini kemudian sering dikutip pers sebagai otoritas dalam bidang hukum maupun dalam gerakan memperjuangkan masyarakat sipil. Pada tahun 1992 ia diundang ke New York untuk menerima Anugerah Hak-hak Asasi Manusia dari Lawyer Committee for Human Rights. Waktu itu ia duduk semeja dengan Bianca Jagger, mantan istri penyanyi rok Mick Jagger. Selama 18 tahun ia bekerja di LBH Jakarta dan, karena itu, ia lebih dikenal sebagai seorang advokat aktivis. Tahun 1997 ia meninggalkan LBH kemudian membuka Kantor Pengacara LMPP dan menjadi advokat individual. Keluarga Luhut Marihot Parulian Pangaribuan adalah “keluarga Fakultas Hukum UI”. Ia bersama istri dan ketiga anaknya semua kuliah di Fakultas Hukum UI. Istrinya Rosa Agustina T. Sopearno bahkan dosen di sana. Ia menerima P. Hasudungan Sirait dan Nabisuk Naipospos dari TATAP di kantornya di bilangan Kuningan, Jakarta untuk sebuah wawancara akhir Oktober lalu. Berikut nukilannya. Mengapa anda menjadi advokat? Saya sebenarnya nggak mau jadi advokat. Ketika masih SMA, saya justru ingin menjadi hakim sebab bapak saya seorang panitera. Dia panitera, bisa berbahasa Belanda, dan sekelas dengan Midian Sirait di SD berbahasa Belanda di Narumonda. Panitera adalah amtenar, pegawai negeri, dulu sangat terhormat, sekarang saja dianggap hanya sebagai jurutulis semata. Dalam konteks Balige dulu, menjadi amtenar adalah sebuah kebanggaan sebab kontras dengan orang kebanyakan yang adalah petani. Saya bangga sebagai anak seorang panitera dan ingin lebih tinggi dari bapak saya. Sebagai anak seorang panitera, saya sesekali pergi ke pengadilan menyaksikan sidang. Saya lihat di pengadilan, hakim itu berwibawa. Dia masuk, semua pada berdiri. Dia ngomong, semua harus diam dan minta izin kepadanya bila hendak berbicara. Jadi, itulah yang pertama: saya ingin jadi hakim. Keinginan yang kedua, saya mau jadi seniman, tepatnya pelukis, sebab saya suka melukis. Ingin masuk ASRI Yogya. Cuma, dalam masyarakat Batak, menjadi pelukis itu aib dan tak jelas. Pedagang saja aib, kok. Yang benar adalah amtenar. Akhirnya saya masuk Fakultas Hukum karena mau jadi hakim. Saya diterima kuliah di Fakultas Hukum UI pada tahun 1975. Kemudian masuk LBH dan tak pernah jadi hakim? Tunggu dulu, cerita tentang melamar jadi hakim belakangan. Diterima di UI, saya tinggal di Asrama UI di Pegangsaan Timur, kuliah di kampus Rawamangun. Setiap hari sebelum naik bemo menuju Rawamangun, saya jalan kaki dulu dari asrama ke samping RSCM, persimpangan Jalan Kimia dan Jalan Diponegoro. Di depannya persis gedung LBH. Waktu itu LBH masih berusia enam tahun. Pemberitaan mengenai LBH di surat kabar sedang gencar-gencarnya. Di dalamnya ada semangat, ada cita-cita. LBH sedang naik daun. Saya bilang di dalam hati, saya mau kerja di LBH. Ini yang kemudian merangsang saya jadi advokat. Tapi, bukan advokat di luar LBH, melainkan advokat di dalam LBH. Begitu lulus dari UI tahun 1981, saya diterima di LBH dan ketemu Adnan Buyung Nasution. Nggak ada proses. Dua tahun sebelumnya saya memang sudah jadi asisten advokat, yang berhubungan dengan LBH. Waktu itu YLBHI baru terbentuk, sementara LBH sudah berusia lebih dari sepuluh tahun. Nah, saya diterima menjadi sekretaris eksekutif Dewan Pengurus YLBHI selama tiga bulan. Waktu itu pengurusnya Bang Buyung, Ali Sadikin, dan Princen. Anda diterima tanpa tes? Lazimkah saat itu? Untuk jadi sekretaris eksekutif Dewan Pengurus YLBHI, saya diterima tidak melalui tes. Untuk jadi pembela umum, saya kemudian tes. Saya bilang ke Bang Buyung, “Bakat saya jadi advokat, bukan jadi sekretaris atau menangani manajemen.” “Maksudmu apa?” kata Bang Buyung. Saya jawab, “Mau tes.” Dia bilang, “Ya, teslah.” Saya lulus. Mulailah jadi pembela umum LBH. Kapan melamar jadi hakim? Ketika testing jadi hakim, saya sudah beberapa bulan bekerja di LBH. Tes pertama, yaitu tes tertulis, di Senayan. Lulus. Nggak pernah ngomong kepada siapa pun untuk dibantu lulus. Jadi, memang ada sekian persen yang lulus murni. Waktu itu sudah punya nama? Belum, wong baru lulus. Ini akhir 1981. Belum siapa-siapalah, orang kebanyakanlah. Terus tes wawancara. Saya kebagian jam 3. Saat itu, sebagai pembela umum LBH, saya menangani kasus pembunuhan di Penjara Cipinang dengan pesta narkoba. Kasus ini terkenal. Mungkin saya ceritakan dulu kasus ini sebelum menjawab anda tentang melamar jadi hakim. Saya ditugaskan membela dan pergi ke Cipinang. Saya tanya [pelakunya], centeng dari Jawa Timur. Panggilannya si Macan. Saya tanya, “Kenapa kamu berkelahi?” Itulah, Pak, pesta. “Pesta apa?” Pesta narkoba. Ada yang mau bebas. “Lo, di sini, ada narkoba?” Ya, Pak. “Apa?” Heroin. “Yang benar, kamu. Kamu bisa beli?” Bisa. Lalu, saya minta duit kepada Tuty Hutagalung, bendahara LBH waktu itu. “Mbak Tuty, saya mau duit, mau beli narkoba.” Dia kasih. Saya berpikir lagi, kalau saya beli di sana, keluar dari sana ketahuan, bisa-bisa dianggap narkoba itu saya bawa dari luar. Gimana caranya? Saya bawalah wartawan Pos Kota, Terbit, dan Sinar Pagi. Berempat kami menemui si Macan. Ketemu si Macan, saya bilang, “Mana barangnya?” Dia kasih. Wartawan melihat dan besoknya dimuat di koran. Dipecat itu orang-orang penjara. Nah, saat tes wawancara untuk jadi hakim, saya datang sekitar pukul 3.30. Terlambat setengah jam. “Lo, sudah terlambat!” kata pewawancara. Mungkin dia berpikir, mau masuk jadi hakim, tes datang terlambat. Ditanya, “Kenapa terlambat?” Mulai pintar ngarang. Saya bilang, “Maaf, Pak, soalnya ini darurat.” Daruratnya apa? “Tadi saya bawa heroin.” Bingung lagi mereka. Saya bilang, “Menurut UU, kalau saya pegang heroin, itu menyimpan. Saya harus serahkan kepada Kapolda.” Padahal, saya menyerahkan heroin itu kepada polisi saja, bukan Kapolda. Mereka tertarik. Itulah jadinya topik wawancara. Setelah kisah heroin itu, mereka bertanya, “Kamu sudah jadi pengacara, untuk apa lagi melamar jadi hakim?” Saya bilang, “Beda, Pak! Kalau jadi hakim, saya bisa membuat hukum. Kalau jadi pengacara, saya nggak bisa membuat hukum. Kalau ingin perubahan, kita harus jadi hakim supaya bisa membuat hukum.” Itulah singkatnya. Pendeknya, saya menguasai pembicaraan. Setelah panjang lebar ngomong, salah satu pewawancara yang psikolog minta saya menggambar pohon. Yang saya ingat, di dalam formulir pendaftaran ada gambar beringin. Saya gambar saja itu, lengkap dan bagus, apalagi saya pintar gambar. Saya tahu kemudian dari seorang petugas, salah satu penguji bilang, “Dari pagi kita mewawancarai, ini yang cocok jadi hakim.” Jadi, saya sudah lulus begitu keluar dari ruang wawancara dan saya tidak pernah berkomunikasi dengan siapa pun untuk bisa lulus. Sampai dapat SK dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1983, saya tidak pernah pergi ke Departemen Kehakiman. SK itu diantar oleh pegawai ke asrama sebab saya masih tinggal di asrama. Dalam SK itu, saya ditempatkan di Pontianak. Tapi, saya nggak pernah pergi sebab sudah sangat menjiwai pekerjaan di LBH. Tahun 1986 saya dipanggil oleh Departemen Kehakiman, mau dikenakan PP 30 karena tidak menjalankan tugas. Direktur Teknis Peradilan, Bu Halimah, bilang, “Kenapa saudara tidak pergi? Ada laporan dari ketua Pengadilan Tinggi.” Saya jawab tidak keberatan ditempatkan di Pontianak. Tapi, saya tidak ada rumah di sana, tidak punya uang, sementara saya punya istri dan satu orang anak. Gaji saya menurut SK cuma Rp 28.200. Tidak diberi ongkos, rumah tak dikasih, dan air di sana katanya beli. Di sana kan rawa-rawa. Akhirnya tak jadi hakim? Setelah bekerja di LBH, saya berpikir jadi hakim itu nggak mungkin, deh. Dari gaji, saya tidak mungkin hidup. Bagaimana bisa dengan Rp 28.200 menghidupi istri, anak, bahkan diri sendiri? Dari dulu saya sudah berpikir, mungkin tertanam di bawah sadar, ya, kalau kita menerima pekerjaan, terima segala risikonya. Artinya, kalau gajimu sedikit, terimalah segitu. Saya bilang saya tidak mungkin hidup dengan gaji segitu, ya, saya tidak terima pekerjaan itu. Saya ingat tulisan Satjipto Rahardjo yang intinya menyarankan supaya psikolog menciptakan modul-modul tes untuk penerimaan pegawai negeri yang dapat menyaring mereka yang bersedia hidup sederhana. Ada cita-cita jadi hakim, tapi dengan pertimbangan harus menerima risiko hidup sederhana, saya tidak ambil itu. Kemudian saya jadi advokat. Saya menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Saya mulai dengan asisten advokat tahun 1979, kemudian diterima resmi tahun 1981 di LBH, sampai kemudian semua kedudukan yang ada di LBH pernah saya jabat, kecuali jadi ketua YLBHI. Seluruhnya 18 tahun ketika saya meninggalkan LBH dan YLBHI pada tahun 1997. Terakhir saya direktur LBH. Akhirnya, di ujung itulah muncul PBHI. Mengapa muncul PBHI? Masing-masing punya alasan. Hendardi, Mulyana, dan saya dapat dukungan dari Mochtar Lubis meski Mulyana kembali ke YLBHI. Saya jadi ketua majelis nasional untuk PBHI selama dua periode. Selama 18 tahun di LBH, kasus apa yang paling menarik menurut anda yang pernah anda tangani? Saya pernah baca di beberapa media, dan diulangi oleh seorang pejabat DKI, bahwa Ali Sadikin mengatakan, “Kalau ditanya siapa advokat yang terhebat di dunia, saya jawab itu Luhut Pangaribuan.” Saya kaget. Artinya, saya punya banyak kesempatan di LBH dan saya berusaha maksimal dengan segala talenta yang ada pada saya membuat kasus itu mendapat perhatian orang banyak sehingga bisa diselesaikan. Secara kategoris kasus-kasus itu menyangkut politik Islam, mahasiswa, sampai yang individual. Salah satu kasus sehubungan dengan politik Islam adalah perkara Tanjungpriok. Coba tanya A.M. Fatwa. Saya cukup lama menangani kasus Tanjungpriok. Yang menemukan seluruh tersangka pertama kali itu adalah saya, di daerah Kelapadua. Ada tahanan politik di situ. Saya bertemu dengan semua tokoh itu. Beberapa kali kesempatan saya diminta jadi jurubicara Keluarga Amir Biki untuk berbicara dengan wartawan, terutama wartawan asing, karena saya begitu intens menangani kasusnya. Kasus menarik lain yang saya tangani adalah H.R. Darsono dan Bang Buyung dalam contempt of court. Yang paling seru waktu menangani Fatwa. Saya mau berkelahi benaran dengan hakim, juga dengan jaksa Bob Nasution. Bob berteriak waktu Fatwa mau dibawa, “Siapa yang menghalang-halangi, saya katakan ini melawan UU.” Saya bilang, “Atas nama hak asasi manusia, saya bawa dia karena sakit ke Rumah Sakit Islam.” Ada tarik-menarik. Tapi sekarang, kalau saya ketemu dengan Bob Nasution, cium pipi saya dia itu. Kira-kira sebulan yang lalulah. Fatwa akhirnya bisa saya bawa ke RS Islam sebab dia pingsan. Memang sandiwara, maksud saya dibuat. Yang tahu sandiwara itu dulu kami bertiga saja: Fatwa, istrinya, dan saya. Dari mulai mencari obat supaya dia mencret sampai kemudian supaya dapat keterangan dokter. Advokat lain tidak tahu. Saat itu tarik-menarik waktu, sebentar lagi Fatwa bebas demi hukum. Yang namanya pledoi cuma sehari. Tiba-tiba ia mencret, pingsan, dibawa ke klinik pengadilan. Kebetulan ada dokter Bariah di sana sedang menangani kasus pembunuhan. Hampir ketahuan sandiwara ini ketika dr. Bariah membuka matanya kemudian menyenternya. Fatwa melawan waktu matanya dibuka. Berarti, nggak pingsan. Untung dia tanggap waktu saya bilang, “Jangan, Pak!” Akhirnya dia bisa masuk RS Islam, dibawa dengan ambulans. Baik Abdul Hakim Garuda Nusantara maupun Denny Kailimang tidak tahu ini. Saya ngomong begini karena Fatwa sudah membukanya waktu peluncuran bukunya di Hotel Shangrila. Imam Prasodjo mengatakan waktu itu: kalau begitu, kurang nilai perjuangan Fatwa ini. Mengapa anda mau menciptakan sandiwara itu? Waktu itu saya melihat perkara ini perkara jadi-jadian, perkara politik. Kedua, ada peluang mencari bebas demi hukum. Dia tahanan dan waktu itu sudah ada KUHAP. Kasus menarik lain? Kasus si Macan di LP Cipinang yang tadi saya ceritakan. Dari situ orang percaya bahwa kejahatan dan pelanggaran hukum yang paling banyak terjadi berlangsung di LP. Mulyana bilang, “Kalian advokat itu berhenti di pintu penjara, padahal di penjara begitu banyak persoalan hukum.” Kemudian kasus yang menyangkut tokoh-tokoh mahasiswa: Budiman Sudjatmiko dan PRD (termasuk Romo Sandyawan), mahasiswa ITB yang dipecat Rudini seperti M. Fadjroel Rachman dan Syahganda Nainggolan, lalu Bonar Tigor Naipospos di Yogya. Selama 18 tahun di LBH dan YLBHI sepertinya anda tak pernah berhenti? Dalam 18 tahun itu saya nonstop. Anak saya tiga. Satu pun saya tak ikut menunggui istri waktu kelahiran mereka. Waktu itu saya di Manado, kemudian di Bogor dalam kasus Johnny Sembiring. Pikiran kami dulu di YLBHI: kalau kami nggak bekerja, dunia Indonesia itu seolah-olah berhenti. Lalu, mengapa anda berhenti dari LBH dan YLBHI, kemudian jadi advokat individual? Tidak terasa, ketika bekerja di YLBHI, ternyata sampai tahun 1997 saya masih menumpang di rumah mertua. Ada cerita yang lucu, mungkin mukjizat dalam kaca mata rohani. Waktu membela Romo Sandyawan, anak saya yang pertama diterima di SMP Kanisius. Perlu uang empat juta rupiah. Saya nggak punya duit. Dari mana? Gaji saya di YLBHI tak sampai satu juta. Bahkan, ketika saya keluar dari YLBHI tahun 1997 gaji saya Rp 900 ribu sekian, tak sampai Rp 1 juta. Istri saya dosen di UI. Nggak ada uang segitu. Nah, kami rapat di Driyarkara dalam rangka membela Romo Sandyawan. Hadir Gubernur Serikat Yesus, Pastor Danu. Dari balik pintu dia memanggil saya dan kasih duit. Saya tanya, “Untuk apa?” Tarik-tarikan, akhirnya duit pindah ke tangan saya. Jumlahnya Rp 4 juta. Itu yang saya pakai mendaftar anak saya di Kanisius. Dari pastor ke pastor. Ini mukjizat. Saya kira mereka tidak ada komunikasi. Kemudian saya sakit, batu di empedu, operasi di Cikini, tapi tidak sukses dalam arti, malah kemudian penyumbatan semakin banyak. Akhirnya dokter bilang harus direparasi. Ada yang mengusulkan ke Belanda, tapi saya tidak punya duit. Di situlah saya mulai merenung. Saya mulai kesulitan uang untuk berobat di rumah sakit, kesulitan membiayai sekolah anak yang sudah mulai besar-besar. Di sini pun datang mukjizat. Saya tertolong hanya karena satu omongan dari Sidney Jones. Dia bilang, “Luhut, kau coba pergi ke Kedutaan Belanda karena waktu Gus Dur berobat ke Australia, dia dapat bantuan dari Kedutaan Australia. Mungkin kedutaan punya dana untuk itu.” Saya disarankan ke Kedutaan Belanda. Waktu itu sekretaris politiknya saya kenal. Saya telepon mau ketemu dengannya dan cerita mengenai kesehatan saya. Dia bilang, nggak ada dana di Kedutaan, “Tapi tiket bisa saya kasih.” Jadi sudah dapat dua tiket KLM untuk saya dan istri. Dia bilang akan coba kirim saya ke Den Haag. Terus kemudian ada pendeta di sana yang mau menolong. Rupanya kawan-kawan NGO sudah mengabarkan. Begitu saya sampai di Belanda, pendeta ini menjaminkan depositonya untuk pengobatan saya. Saya tak kenal pendeta ini, tak pernah ketemu. Jadi ini berkat omongan Sidney Jones. Selama 18 tahun, apa strategi anda sebagai advokat? Saya nggak tahu, ya. Mungkin ada talenta dan punya motivasi. Saya kira banyak kasus yang saya tangani yang mendorong lahirnya Undang-Undang tentang legal standing. Dulu saya lawyer Walhi untuk menggugat Indorayon. Ketika itu Bupati J.P. Silitonga dan mantan Dubes Indonesia untuk Australia August Marpaung mau berkelahi tentang hutan lindung. Legal standingnya diterima, di mana-mana dikutip, itu yang kemudian menjadi substansi dalam Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup. Selalu ada kreasi-kreasi, termasuk juga waktu saya mendampingi Bang Buyung dan Yap Thiam Hien dalam kasus contempt of court. Mungkin sudah ada motivasi, ada talenta, kemudian ada kesempatan. Kebetulan di LBH itu, bantuan hukum itu ada aspek politiknya. Tidak hanya teknis saja apa yang disebut dengan konsep bantuan hukum struktural. Jadi, kami tak hanya menyembuhkan penyakitnya, tapi juga sebab musbabnya. Itu sebabnya jadi serba keras. Kami tidak hanya menyerang—kalau perkara itu antara jaksa dan advokat—tapi juga siapa yang membuat perkara ini. Kasus-kasus politik lebih banyak dan pemerintah yang membuat perkara ini. Jadi, kami berhadap-hadapan dengan pemerintah. Makanya ada di antara orang-orang LBH yang lebih radikal ditahan. Bang Buyung, Princen, dan Yap pernah ditahan. Saya termasuk penganut Suardi Tasrif: advokat walau melawan jangan sampai ada alasan untuk menahannya. Kalaupun melawan-lawan, saya tak pernah ditangkap. Menurut anda, model pengacara seperti apa yang cocok di negeri ini? Sebenarnya model advokat dengan bantuan hukum di LBH itu mungkin yang cocok. Pertanyaannya, apakah advokat seperti itu bisa bertahan hidup secara individu. Saya terus terang lebih suka bekerja di LBH dibandingkan dengan pekerjaan saya sekarang sebagai advokat individual karena, sebagai advokat individual, saya lebih terbatas. Sementara itu, sebagai advokat bantuan hukum itu tidak terbatas dalam arti, kita memikirkan hukum atau kebaikan hukum di Republik ini. Kenapa? Karena hanya dengan pendekatan yang lugas, terus terang, dan langsung itu kemudian yang bisa mengubah [keadaan] ke arah yang lebih baik. Masalahnya, sebagai personal, sebagai individu, saya harus hidup. Menjelang keluar dari LBH sepuluh tahun lalu, saya bilang kepada The Jakarta Post dalam wawancara, ternyata orang tidak bisa hidup hanya berdasarkan idealisme sebab dengan idealisme, saya sudah membuktikan tidak bisa membeli obat, membayar rumah sakit, tidak bisa melunasi uang sekolah anak saya. Oleh karena itu, saya harus mencari uang, kemudian saya ada di kantor ini. Tapi, sebagai pembawa perubahan, advokat individual itu sangat terbatas karena dibatasi oleh kepentingan klien. Kami tak boleh mengatakan jangan peduli dengan kepentingan klien, jangan didikte, hukum dong yang terutama. Itu tidak feasible, itu nonsense. Bahwa setiap orang punya kepentingan, itu sah. Bahwa kepentingannya itu dispute, itu soal yang kedua. Mungkin di situlah kami perlahan-lahan, tapi karena perlahan-lahan itulah perubahan jadi lambat. Kepentingan klien itu sah-sah saja. Tidak berarti kami dengan sendirinya pegawai si klien. Ada keseimbanganlah di sana, tapi ini yang membuat jadi lambat. Yang diperlukan langsung, kami bikin jadi tak langsung. Ada nggak ukuran sejauh mana kepentingan klien dibela seorang advokat? Memang ada kode etik advokat. Kode etik itu lebih ke tataran etika, sanksinya abstrak. Lebih pada kesadaran yang bersangkutan. Memang dikatakan semakin tinggi kode etik suatu profesi, semakin mulialah profesi itu. Walaupun ada nonsense-nya. Berkaca dari situ, advokat kurang memperhatikan kode etik karena kode etik mengatakan harus mendahulukan kepentingan hukum, kepentingan masyarakat, tidak menangani perkara yang tidak ada dasarnya. Posisi advokat di Indonesia dalam kaitan dengan penegak hukum lain—hakim, jaksa—bagaimana? Formil dalam Undang-Undang Advokat dikatakan bahwa advokat sekarang penegak hukum walaupun menurut saya, secara konseptual itu tidak pas. Yang namanya menegakkan hukum itu to enforce the law. Advokat tidak enforce the law sebab bila enforce the law, dia harus memiliki alat-alat kekerasan seperti senjata, pentungan, borgol, dan penjara. Advokat tak punya itu. Yang punya itu adalah polisi atau negara. Lagi pula, sistem peradilan kita juga tidak memberi tempat yang memadai bagi pengacara. Cara bekerja hukum di negeri ini masih didominasi negara; polisi, jaksa, dan hakim masih mendominasi. Dalam banyak hal, menurut saya, advokat itu masih ornamen. Karena strukturnya begitu, maka tak banyak sebenarnya yang bisa langsung dilakukan oleh advokat. Hakim kita sangat monopoli. Di Amerika hakim pasif. Di sini hakim aktif. Aktif tidak hanya bertanya di pengadilan, tapi juga menentukan kesalahan dan hukuman. Di AS yang menentukan adalah juri, yang berasal dari masyarakat. Di pengadilan kita, hakim bisa bilang, “Jaksa cukup ya, jangan bertanya lagi”; “Advokat sudah cukup, ya, jangan bertanya lagi.” Posisi advokat di Amerika apakah lebih leluasa? Ya, sebab di sana untuk menemukan keadilan, dua yang merasa benar itu diadu, ya seperti cerita Salomo dan bayi di dalam Alkitab. Untuk mengetahui anak siapa yang diperebutkan masing-masing, Salomo mengadu kedua ibu yang masing-masing mendaku bahwa bayi itu anaknya. Singkatnya, konsep mereka [Amerika], kebenaran itu muncul dari percikan, dari tubrukan, seperti api. Di Indonesia: berunding, modelnya seminar, seperti musyawarah untuk mufakat. Jadi, peran advokat di Amerika besar. Kalau kita lihat sejarah, advokat itu diadakan karena perkembangan hak-hak asasi manusia. Kalau tak ada advokat, nanti dikritik. Tapi dalam arti struktur, masih belum ada tempat sebenarnya bagi advokat. Di sana sudah merupakan bagian. Posisi organisasi advokat sendiri, dari Peradin sampai yang sekarang ini, bagaimana? Yang pernah dicatat berperan cukup lumayan dalam konstelasi pembangunan hukum di Republik ini adalah Peradin. Yang masih saya ingat, kontribusi Peradin yang pertama adalah ketika membela orang-orang PKI yang sudah dianggap manusia tidak berguna. Mereka [Peradin] bersuara lantang sehingga kemanusiaan orang itu terangkat: bagaimanapun perbedaan politik, mereka manusia di hadapan hukum. Kontribusi kedua ialah mendorong hak-hak asasi manusia menjadi substansi [peraturan perundang-undangan] di Republik ini. Ide tentang Mahkamah Konstitusi datang dari Peradin. Saya ingat persis: di awal 1980-an, waktu MPR bersidang, Peradin yang dimintai pendapat memasukkan ide Mahkamah Konstitusi. Juga ide-ide tentang hak-hak asasi manusia di dalam KUHAP berasal dari Peradin. Setelah itu, yang ada adalah kesibukan mengurus diri sendiri. Muncul Ikadin, muncul AAI, masing-masing belum terkonsolidasi, muncul Peradi. Yang pasti, organisasi-organisasi itu masih dalam proses konsolidasi, belum ada yang substansial mereka gagasi. Artinya, advokat itu belum terkonsolidasi dalam satu organisasi yang melakukan suatu gerakan nyata dalam perubahan hukum di Republik ini. Belum! Harus dalam satu wadahkah advokat itu? Bukan itu yang saya maksud, tapi mereka terkonsolidasi dalam satu organisasi masing-masing sebab sekarang malah diperlukan organisasi advokat berdasarkan spesialiasi, misalnya yang menyangkut hukum pasar modal, hak atas kekayaan intelektual, dan sebagainya. Baik. Apakah anda melihat korelasi kemahiran orang Batak bicara dengan profesi advokat yang mereka pilih? Itu harus dicek. Saya tak tahu apakah itu kesan atau fakta. Dugaan saya itu adalah kesan, seolah-olah Batak mendominasi profesi advokat. Apakah betul? Coba lihat persentasenya. Cukup banyak. Di daftar AAI DKI hampir 20 persen Batak? OK, tapi nanti harus dilihat periodisasinya. Saya kira ada hubungannya dengan bagaimana praktik-praktik diskriminasi dalam masyarakat kita sekarang ini, lo. Ini ada kaitannya dengan politik kontemporer di Indonesia sekarang. Ketika memasuki wilayah-wilayah publik sekarang ini, kita ditanya, “Kamu datang dari mana?” Maka, keterbatasan masuk wilayah publik menyebabkan orang memilih masuk wilayah privat. Jadi, ada hubungannya saya kira, ketika belakangan ini hampir tersumbat pintu memasuki wilayah-wilayah publik, pilihan menjadi tidak banyak. Dari segi jumlah, saya amat-amati bahwa kesempatan yang semakin rendah untuk memasuki wilayah publik memaksa kita mencari alternatif di wilayah privat. Seperti yang dialami orang Cina—mungkin ini bisa jadi blessing in disguise untuk kita—mengapa masyarakat Cina bisa menguasai ekonomi Indonesia ini. Menurut saya, faktor yang terbesar adalah karena kita mendiskriminasi orang Cina. Dulu tak bisa terbayang Cina jadi menteri. Belakangan ada. Pernahkah kita membayangkan kepala sekolah, Kapolsek, lurah itu Cina? Buat kita hal itu aneh karena pikiran kita sudah terjajah. Jadi, yang terbuka buat dia adalah sektor privat. Ia meninggikan entrepreneurship-nya sehingga dia mahir di sana. Nah, dalam situasi negara semakin memberi kesempatan kepada swasta, dia semakin mendominasi karena dia sudah punya sejarah panjang. Justru orang Batak tidak mendukung ke arah partikelir ini. Saya punya pengalaman untuk menjelaskannya. Ketika saya SD di Balige, setiap sore jam 3 ada orang Cina menjual bakpao naik sepeda. Waktu kecil saya melihat makanan itu enak sekali, tapi saya tak punya duit. Bapak saya pegawai negeri. Tak ada uang jajan. Makan hanya boleh di rumah. Hari Minggu uang diberikan untuk kolekte, maka saya rajin ke gereja walau pas kolekte saya kabur supaya uang itu bisa dipakai untuk jajan. Entah dari mana gagasan ini datang. Saya bilang kepada Li Kiung, tukang bakpao itu, “Kalau saya bantu jual bakpao, saya dapat apa?” Kamu mau? Kalau kamu jual tiga, dapat satu. Karena tak mau sendiri berjualan, saya ajak tetangga, keponakan Midian Sirait itu. Kami berjualan mula-mula tanpa sepengetahuan orangtua, hingga suatu kali ketahuan oleh bapak teman saya itu. “Kamu jadi partiga-tiga,ya?” Partiga-tiga itu aib rupanya. Rendah. Sekolah kamu tinggalkan. Jangan ikutin dia itu. Saya kebetulan tak ketahuan orangtua saja. Sekolah dan amtenar itu terhormat. Saya kira itu umum pada masyarakat Batak. Saya tidak melihat ada budaya Batak yang potensial membuat dia mahir berprofesi sebagai advokat. Barangkali betul bahwa orang Batak selalu bicara, tapi yang namanya advokat tidak sekadar bicara, tapi drafting juga. Harus hati-hati mengambil kesimpulan bahwa ada budaya orang Batak yang mendukung keberhasilannya menjadi advokat. Hipotesa bisa, tapi belum tentu bisa jadi teori. Tapi, dari dulu Fakultas Hukum favorit bagi orang Batak. Cukup banyak orang Batak di jurusan itu? Ya, mereka jadi hakim, jadi jaksa, bukan advokat. Saya kira masih hipotesa budaya Batak berpotensi jadi advokat sebab advokat itu lebih entreprenuer, lebih mandiri, sementara kita masih amtenar. Bagaimana dengan kemahiran marhata? Itu kalau anda batasi advokat dalam urusan litigasi saja, tapi advokat itu drafting juga, bukan ngomong tok, tidak hanya di pengadilan. Secara umum bagaimana anda melihat advokat Batak. Ada yang khas? Saya nggak tahu apakah ini khas. Yang pasti, sama juga seperti yang lain, saya malah—kalau kita berbicara uang dalam hukum—curiga budaya uang ini ikut berpengaruh. Ini misalnya dengan pinggan panungkunan. Dulu pinggan itu berisi sirih, sekarang duit. Kalau itu dipraktikkan di pengadilan, salah lagi ‘kan? Uang do na mangatur sude hukum on. Jadi saya nggak tahu, mungkin budaya dalam arti negatif. Nggak tahu. Anda kelihatannya jauh dari kelompok pengacara Batak itu? Kimianya lain saya kira, tapi saya juga say hello kepada mereka. Mungkin ada segi-segi yang membedakan. Yang pasti soal background. Saya 18 tahun penuh dengan ideologi, perjuangan, dan lagu-lagu kebangsaan. Mereka itu kan branded, merek-merek terkenal. Mereka sudah bicara Versace dan sebagainya, saya masih dengan lagu kebangsaan. Jadi agak beda. Kalau saya melihat Otto Hasibuan dulu selagi saya masih di LBH, mobilnya Honda Civic, saya masih dengan lagu “Maju tak Gentar”. Sekarang tentu sudah bukan itu lagi mobilnya Advokat sering dikaitkan dengan mafia peradilan. Seperti apa situasinya? Orang mungkin akan langsung cenderung pada oknum, mentalitas yang rendah. Saya melihatnya karena kemacetan sistem. Sistem peradilan kita sudah cukup lama macet. Otomatis: di mana ada kemacaten, di situ ada jasa. Sederhana saja, macet lalulintas Jakarta , ada polisi cepek. So simple situasinya. Nggak tahu nanti dari yang anda wawancara, di antara advokat ada yang bilang apakah saya salah dengan cerita ini. Seorang advokat mengatakan tentang para penegak hukum lain: mereka bergaji kurang, saya tambahi gajinya; mereka bahagia, anak mereka bahagia. Apa yang salah? Tentu saja dia ngotot bisa obyektif. Itu nonsense. Nggak mungkin bisa obyektif. Saya kebetulan ikut beberapa tim untuk perancangan Undang-Undang. Di antara anggota tim itu ada pejabat tinggi. Salah satu menceritakan pengalamannya ketemu dengan seorang advokat. “Bang, ini ada perkara. Ada duitnya. Kita bagi dua saja; buat abang separo, buat saya separo.” Itu dia bilang. Di mana obyektifnya begitu? Nonsense. Saya tidak melihat hal ini sebagai imoralitas, tapi lebih sebagai kemacetan sistem. Sistem kita sendiri sudah tidak mampu membaca—kalau diumpamakan sebagai software—instruksi, apa yang dia lakukan. Itu yang terjadi sekarang. Saya ada contoh ketika menjadi anggota tim seleksi untuk Komisi Yudisial. Ada seorang bekas Kapolda, saya kira, ditanya. “Pak, gaji anda berapa?” Disebutkanlah sebab semua sudah tahu berapa sebenarnya gajinya. “Olahraga Bapak apa?” Golf. “Sudah berapa tahun?” Sudah 20 tahun. “Lo, bapak gaji segini kok bisa main golf.” Dibayarin orang. Makanya, banyak hakim agung main golf. Duitnya dari mana? Ya, seperti Kapolda tadi: dibayarin. Pertanyaan saya, “Emangnya ada yang gratis? Dua puluh tahun dibayari golf, emang ada yang gratis?” Begitulah. Maksud saya banyak yang kontradiktif dan tak ada satu kebijakan atau pemikiran ke arah pembenahan itu. Kalau sidak-sidak, itu nonsense. Nah, keadan hari ini macet dan tidak ada yang menyadari, apalagi memikirkan bagaimana supaya tidak macet. Apa menurut anda obat untuk kemacetan ini? Tentu saya tidak berpretensi punya jawaban yang sudah jadi. Paling tidak, saya menyadarinya, bisa menjelaskan bahwa kemacetan memang sudah terjadi. Sederhana saja: coba ambil satu putusan di pengadilan. Baca apa yang dikatakan jaksa dalam rekuisitor, dakwaan, pleidoi; apa berita acara polisi; apa yang ada di berita acara pengadilan! Nggak nyambung itu! Diktum-diktumnya tidak nyambung dengan apa yang dibicarakan. Ada pengalaman saya ketika jadi asisten advokat semasa mahasiswa dulu. Saya membuat pleidoi dan, menurut saya, itu pleidoi terbaik di dunia. Saya dengan serius mengikutinya di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Perkaranya sumir sehingga langsung diputuskan seketika itu juga. Terus hakim baca putusan: “Menimbang pleidoi dari penasihat hukum yang pada pokoknya meminta supaya membebaskan terdakwa…” Padahal, saya tidak bilang membebaskan terdakwa dalam pleidoi itu. Nggak nyambung ‘kan? Begitulah saya kira keadaannya. Lalu, saya baca puluhan putusan Mahkamah Agung. Itu copy-paste. Pertimbangannya copy-paste. Nah, itulah sebabnya tidak ada yurispudensi tetap. Masih ngutip Regentschapsgerecht gitu. Tak ada dikutip menurut Mahkamah Agung Republik Indonesia, padahal sudah 62 tahun merdeka. Macetnya sistem hukum atau sistem peradilan membuat banyak jasa ekstra. Itulah yang kita sebut sebagai mafia peradilan. Semakin pintar dia menunjukkan jalan (seperti di Puncak kalau macet jalur Jakarta-Bandung atau sebaliknya), semakin dipilih dia sebagai penunjuk jalan. Tapi, jangan lupa, dengan menggunakan jasa seperti itu, anda bisa tembus betulan, bisa juga tersesat. Probosutedjo tersesat. Orang yang menawarkan jasa nggak bisa disalahkan. Belakangan ini muncul kritik dari kawan-kawan yang berlatar aktivis dalam posisi anda sebagai pembela Newmont. Bagaimana anda mengklarifikasi itu? Saya juga mendengarkan itu dan ingin berdialog dengan mereka. Saya kan masuk di tengah jalan. Sebelum masuk, saya tidak tahu banyak. Ada dua hal yang saya lakukan. Pertama, saya tanya sahabat saya yang bernama Mas Achmad Santosa. “Ota, saya diminta Newmont untuk ikut. Apa saran dan informasi yang boleh saya tahu?” Dia bilang bahwa dia tak punya lagi informasi karena tidak terlibat langsung. “Itu kan profesional biasa saja,” katanya, walaupun belakangan saya tidak tahu apakah dia termasuk yang mengkritik saya. Yang kedua, saya pergi ke Teluk Buyat. Paling tidak, menurut mata telanjang saya, saya tidak melihat seperti yang dituduhkan. Saya kemudian bertanya apakah LSM tidak tunduk pada cek dan ricek atau introspeksi. Apakah yang mereka katakan sudah pasti benar? Berhadap-hadapan seperti ini sejarahnya, sih, sudah panjang. Ketika di LBH pun, saya selalu berposisi begitu. Itu sebabnya hubungan saya dengan aktivis di LBH tetap baik-baik saja walau tidak mesra sebab walaupun saya NGO, saya harus tanya dong profesionalitasnya. Tidak berarti pengusaha pasti salah, orang miskin selalu benar. Belum tentu. Itu sebabnya bila pejalan kaki atau pengendara motor ditabrak mobil, pasti pengendara mobil yang salah. Setuju nggak dengan stereotipe ini? Nggak dong. Motor bisa salah, pejalan kaki bisa salah. Kita bisa salah. Ada kecenderungan itu. Yang terakhir ini ada sidang perdata sebab Newmont digugat lagi setelah putusan pidana. Ada pemeriksaan tempat ke Teluk Buyat. Tadinya hakim yang berkeinginan. Saya bilang [kami] setuju. Sebab apa? Yang menjadi barang bukti utama adalah Teluk Buyat. Lalu, kawan-kawan LSM mengatakan bahwa ia tercemar dan rusak. Nah, Teluk Buyat masih ada di sana, mari kita pergi ke sana dan kita lihat. Mereka menolak. Mereka bilang tidak relevan lagi sebab limbahnya tidak lagi dibuang di situ. Gimana ini? Mustinya dia bilang, “OK, kita bawa ke laboratorium.” Kami juga usulkan ini. Apa kesimpulan yang bisa diambil dari sini? Sebagai advokat aktivis, anda cukup bisa mengerti nggak jalan pikiran kawan-kawan dengan sikap seperti itu? Saya kurang bisa melihat karena begini. Di LBH itu kan ada litigasi dan nonlitigasi. Yang di litigasi melihat segi teknis dan aspek profesionalitasnya. Yang di nonlitigasi pada pokoknya berpihaklah: yang namanya tambang itu kurang ajar, pencoleng semua, perusak lingkungan. Saya tidak dalam posisi begitu. Di tambang mungkin ada perusak lingkungan, ada pencoleng, tapi mungkin ada juga yang baik sebab advokat pun ada yang pencoleng, ada pencuri, ada juga saya kira yang baik. Pertanyaan saya, apakah NGO itu semua orang baik? Beda dengan manusia yang lain? Saya tidak tahu. Saya kira sama juga dengan manusia lain bahwa di NGO ada pencoleng, ada juga yang baik. Posisi saya yang begini bukan sekarang saja. Waktu di LBH pun saya begitu. Makanya saya katakan hubungan saya dengan aktivis itu baik-baik saja, tapi tidak mesra. Anda terusik dengan sikap mereka? Media termasuk yang bersikap seperti para aktivis itu. Dinamika saja sih, menurut saya. Artinya, buat saya hal itu sebagai balancing dalam membela. Saya tentu butuh orang yang mengingatkan saya sebab saya bisa juga khilaf dalam perjalanan itu. Tapi, tidak berarti mereka pasti benar, lalu saya ikut mereka. Lalu, ada juga sebutan—tapi, susah sebenarnya mengatakan ini—anda sekarang sudah kaya. Sekaya apa sebenarnya? Saya kira dari dulu saya kaya, ha-ha-ha. Yang namanya kaya itu subyektif. Tinggal bagaimana anda mendefinisikan apa yang anda nikmati. Kita sekarang minum kopi [sambil wawancara]. Nah, minum kopi seperti ini bagi saya hanya bagian orang kaya, ha-ha-ha. Kita memang mau mendapatkan uang supaya dengan uang itu, kita bisa hidup. Tapi, uang bukan merupakan tujuan, melainkan sarana. Kita perlu hidup layak. Memang dibandingkan dengan waktu di LBH, tentu saya sekarang jauh lebih layak. Dulu gaji saya yang terakhir di LBH tidak sampai Rp 1 juta, sekarang bergantung pada negosiasi [dengan klien]. Ada tugas begini. Ya, saya katakan kalau bertugas begini, golom-golomnya mesti sekian. Kayak pendeta juga, ha-ha-ha. Ya, itu saja. Dibandingkan dengan pengacara lain, kalau soal yang begitu, saya nggak ada apa-apanya. Sebagai implikasi dari satu sistem, memang betul bahwa kemungkinan advokat mempunyai uang lebih dibandingkan dengan sarjana hukum yang ada di birokrasi jauh lebih besar. Karena apa? Karena advokat bekerja berdasarkan konsensual dan—tentu—ada nasib-nasibannya. Saya cerita sedikit. Sekarang saya ketua dewan kehormatan Ikadin dan anggota kehormatan di Peradi. Begitu UU Advokat lahir—di situ diatur soal fee advokat yang disebutkan “secara wajar”—saya memimpin rapat di Hotel Indonesia. “Saudara-saudara, saya mau bicara soal fee. Saya mengusulkan kita membuat standar, seperti dokter melakukannya buat praktek mereka, supaya ada kepastian. [Tarif] dokter kan ada standarnya. Dokter umum sekian, dokter spesialis sekian.” Saya dimaki-maki semua orang. Kata mereka, “Nggak relevan itu!” Dan ini dulu bagian yang paling susah ketika mau jadi advokat. Waktu saya mau keluar dari LBH, salah satu yang terpikir ialah bagaimana cara minta duit menentukan jasa itunya. Saya keliling-keliling. Saya dengarkan Hotma Sitompul, saya dengarkan Surya Nataatmadja, mungkin juga Otto Hasibuan sebab saya nggak punya ide tentang ini. Saya berpikir sedehana saja: perihal ini nggak diajarkan di Fakultas Hukum. Di buku pun tak ada. Sekali waktu saya ketemu Hotma. Saya tanya, “Lae, gimana sih caranya?” Hotma menjawab, “Wah, saya juga nggak tahu. Tapi, bukan menentukan berapa itu yang mengagetkan saya.” Dia membuka laci dan mengeluarkan cek yang nilainya sangat besar, tidak pernah saya bayangkan ada cek sebesar itu. Sepuluh atau satu miliar [rupiah]. “Ini Lae,” kata Hotma. “Ketika ditanya berapa, tiba-tiba datang saja angka itu. Nah, yang mengagetkan saya, kok klien mau.” Sampai sekarang, kata Hotma, dia begitu saat menentukan berapa. Katanya dia berdoa dulu setiap pagi. [Ha-ha-ha.] Pelajaran kedua dari Hotma. “Jadi, Lae, kamu jangan menggerutu sama Tuhan. Periksa dulu doamu, sudah benar atau belum.” Maksudnya apa? “Mobilnya apa, Lae?” Saya nggak punya mobil. Itu mobil LBH. “Ya, sudah, kau periksa doamu. Kalau kau berdoa, ‘Tuhan, tolong saya diberikan kendaraan’. Banyak kan kendaraan? Masak kau tugaskan Tuhan mencari kendaraan apa yang pas.” Mesti bagaimana, dong? “Kau bilang sama Tuhan, ‘Tuhan, saya mau Mercedez Benz seri S 500 warna hitam.’ Ya, begitu.” Dengan B sekian, ha-ha-ha… Ya, betul. Spesifik, katanya. Jadi, saya dengarkan mereka waktu berkeliling-keliling untuk mengetahui bagaimana cara menentukan jasa. Pengalaman Hotma dan advokat lain dalam menentukan [harga itu] memperlihatkan bagaimana kemungkinan advokat secara umum memang bisa mendapatkan lebih. Itu sebabnya sekarang advokat menjadi cita-cita semua sarjana hukum yang ada di mana-mana. Sekarang ini advokat adalah puncak karier sebagaimana halnya: Kapolri, ketua Mahkamah Agung, jaksa agung, jenderal. Siapa advokat ideal di Indonesia, selain Yap Thiam Hien? [Lama berpikir] Nggak ketemu itu. Kelebihan Yap apa? Ya, dia itu nyaris sempurna. Tentu tak ada manusia yang sempurna. Pertama, dia nggak pernah berbohong. Kedua, dia nggak pernah sesen pun ambil uang. Rumahnya di Jalan Mawardi, yang ia beli tahun 1950-an, nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan rumah kebanyakan advokat lain. Nggak ada apa-apanya! Makanya, saya ditraktir oleh dia dulu dengan bubur ayam dan gudeg di warung pinggir jalan. Dia wajar apa adanya. Bagaimana dengan Suardi Tasrif? Dia bilang ke saya, “Saudara Luhut, kalau jadi advokat yang sukses, anda harus main golf.” Kenapa, Pak? “Karena di lapangan golf putusan-putusan diambil. Kalau anda nggak main golf, anda di luar putusan.” Sampai sekarang saya masih berpikir sebab saya belum main golf. Saya nggak tahu benar apa nggak itu. Jadi, saya tak menyebut Pak Suardi Tasrif sebagai advokat ideal karena dia menasihati saya main golf. (selesai) Tulisan ini termuat pada Majalah TATAP edisi 03 November-Desember 2007. Bila tertarik ingin memilikinya, tersedia paket eksklusif Majalah TATAP (7 edisi) seharga Rp200 ribu plus bonus buku Dampak Operasi PT Inti Indorayon Utama terhadap Lingkungan Danau Toba, editor Jansen Sinamo. Call 021 480 1514 untuk info dan pemesanan. Stok terbatas.

Morgan S. L Batu, S.E


unnamed

Kehidupan ini memang seperti misteri, sepertinya kebetulan. Tetapi sesungguhnya tak ada yang kebetulan di jagat ini, semuanya telah diatur oleh sang khalik yaitu Tuhan. “Tugas kita manusia hanya menjalankan peran semaksimal, sebisa mungkin mengembangkan talenta yang diberiNya. Karena memang kita semua diberikan talenta, hanya persoalannya bagaimana kita memanfaatkannya.” Kira-kira itulah yang diamini Morgan Sharif Lumban Batu, Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia Perum Perhutani, yang dulu seorang kondektur. Pria kelahiran Desa Pansurbatu, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, tahun 1958 ini. Sebelum dipercayakan menjadi direktur, tentunya cerita kehidupannya sebagai anak desa pada umumnya, biasa-biasa saja.

Nama Morgan memang bukan nama Batak, nama itu diperoleh bapaknya dari nama seorang jagoan di film yang pernah ditontonnya. Adapun huruf “S” Sharif adalah nama teman bapaknya, asal dari Minangkabau yang saat itu keduanya sama-sama menjadi kuli pengangkut garam di Sibolga, Tapanuli Tengah. Anak keempat dari sembilan bersaudara ini adalah anak pertama laki-laki. Konon ceritanya, sebelum Morgan lahir, ompungnya (orangtua bapaknya) sempat menyuruh bapaknya untuk menikah lagi, karena belum punya anak laki-laki. Dulu kala masih kental dalam tradisi Batak jika tak memiliki anak laki-laki umumnya keluarga mendorong anak menikah lagi.

Waktu ibunya hendak melahirkan Morgan, bapaknya sengaja tak mau pulang dari tempatnya bekerja. Sebenarnya, hanya ingin menghindari kekecewaan, kalau-kalau yang lahir perempuan lagi. Puji Tuhan yang lahir ternyata laki-laki. Kabar itu pun sampai di telinga bapaknya. Atas berita itu bapaknya pun antusias datang melihat anaknya yang lama dinanti-nanti, baru lahir. Tentu kelahiran Morgan membawa semangat tersendiri, tak saja bagi kedua orangtuanya, tetapi juga pada ompung-nya. Atas cerita itu semua, Morgan kecil diperhatikan begitu khusus, kalau tak disebut dimanjakan. Bapaknya punya harapan besar padanya, karena dia kelak memundak kehormatan keluarga. Sedari kecil bapaknya membimbing dan mengasah mentalnya dengan keras. Sebagai laki-laki terbesar, Morgan selain keras dididik, bapaknya juga mengajarkan tanggung jawab. Termasuk mempersiapkan sekolah yang lebih baik.

Sekolah di kota

Sekolah dasar dilewatkannya di kampung halamannya Dolok Sanggul. Menjelang akil balig, sadar, bahwa kesenjangan mutu pendidikan di kota dan desa berjarak sekali. Morgan pun mengusulkan diri sekolah di kota Medan (Jarak dari Medan ke Dolok Sanggul sekitar 275 km jika melewati Pematang Siantar). “Saya melihat bahwa faktor pendidikan merupakan tolok ukur kemajuan,” ujarnya. Akhirnya, orangtuanya mengijinkannya untuk sekolah di Medan dengan menumpang di rumah kerabat dekat, uda-nya. Namun, konsentrasi sekolahnya pudar, karena sebelum sekolah dia mesti membantu-bantu inang-udanya yang punya klontong. Karena sering kelelahan tak sempat belajar, nilai rata-ratanya jeblok. Karena itu, dia meminta dipindahkan ke Jakarta. Terakhir, dia hanya sampai kelas dua SMA di kota Medan dan melanjutkan ke Jakarta. Ke Jakarta ingin pendidikan yang lebih baik. Bapaknya setuju, hanya saja permohonan untuk dipindahkan itu dibarengi semacam perjanjian. Agar di Jakarta benar-benar menunjukkan hasil, jika lulus sekolah bisa mendaftar ke universitas negeri.

Restu pun diperoleh dari sang bapak. Pendek cerita dia menjalani hidup di Jakarta. Hari-harinya diisi dengan sekolah dan giat belajar. Morgan ikut menumpang hidup di rumah kakak perempuannya di kawasan Rawasari, Jakarta Timur. Studi dilaluinya di satu sekolah daerah Halim Jakarta Timur. Ternyata, tak gampang mengikuti pelajaran di Jakarta yang sebelumnya dilaluinya di Medan. “Cara belajar di kampung dengan Jakarta berbeda jauh.” Morgan tak bisa mendapat nilai bagus.

Impian yang sebelumnya direncanakan harus dijalani berbelok. Nilai yang diperolehnya tak sesuai, semuanya gagal tes di perguruan tinggi negeri. Kabar kegagalan itu pun tenyata sampai juga ke telinga bapaknya. Dua bulan berjalan, sejak pengumuman gagal tes perguruan tinggi tersebut, bapaknya tanpa pemberitahuan datang ke Jakarta. Morgan sendiri tak tahu. Hari itu seperti biasa dia pulang ke rumah kakaknya, sementara bapaknya sudah duduk bersilah dengan raut wajah masem. “Saya tanya bapak, kapan datang pak, saya dijawab ketus.”

unnamed (1)Malam itu, bapaknya bicara: sesuai janji saat sebelum ke Jakarta, “jika kau gagal masuk universitas, maka kau tak boleh lagi mendapat bantuan keluarga, kau harus keluar dari rumah ini.” Kata bapaknya dengan tanpa ragu. Tanpa sempat Morgan mempertanyakan keputusan itu, Morgan disuruh angkat kaki dari rumah kakaknya. Sedih. “Perasaan perih sekali, cara bapak melatih mental.” Tapi Morgan sebagai lelaki harus siap dengan konsekwensi yang sudah disepakati. “Wajah bapak saya waktu itu dingin. Kakak-kakak saya menangis tanpa berani berkata apapun,” kenangnya.

Saat itu, juga Morgan mengemasi pakaian dan beberapa buku dimasukkan ke dalam kardus mie instan. Dengan perasaan terpukul, Morgan pergi menenteng kardus menyusuri malam. Tujuannya satu, menumpang hidup sementara pada kerabat satu kampung, bermarga Simorangkir, yang tinggal di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. “Istrinya boru Lumban Batu semarga dengan saya. Pekerjaannya sopir metromini yang menyusuri trayek Kebunjeruk-Tanah Abang.” Malam itu semuanya diceritakan pada keluarga Simorangkir, dan diakhir ceritanya Morgan meminta agar dia diikutkan jadi kondektur. Tetapi, dengan satu kesepakatan, di hari  tertentu diberikan libur untuk mengikuti kursus.

Sementara urusan bagi hasil tak dia pikirkan. Baginya, bisa makan, menumpang tidur, dan bisa mengikuti bimbingan belajar masuk perguruan tinggi, sudah cukup rasanya. Cita-cita untuk menggapai sekolah yang tinggi tak surut. Kehidupan terminal yang riuh dan keras di Jakarta pun mulai dilakoninya. Di suatu malam, selesai mencuci metromini, dia tidur di pol. Sejak menjadi kondektur hal ini biasa dilakoninya, karena jarak pol dan rumah kerabatnya jauh. Sesaat hendak memejamkan mata, datang adik pemilik metromini meminta agar Morgan untuk membelikan rokok.

“Permintaan ini tentu saya tolak. Alasan saya semua penghasilannya hari itu dibawa pulang oleh lae Simorangkir. Alasan tersebut tak diterima adik pemilik metromini, malah jadi menampar saya berkali-kali,” ceritanya mengenang. Maklum Morgan muda walau berperawakan kecil dan kurus ketika itu, tetapi sebagai laki-laki tak terima perlakuan tersebut. Dia bersiasat membalas dendam, mencari dukungan dan mendatangi udanya di bilangan Cibinong, Bogor. Setelah Morgan menceritakan semuanya, keduanya kemudian menyusun rencana. Namun, dua hari kemudian, pikiran yang semula balas dendam urung dilakukan. Udanya memikirkan nasib keluarga Simorangkir bila mereka berdua melampiaskan dendam. Atas alasan itu, niat itu diurungkan.

Inilah hidup, seperti misteri. Baru beberapa hari berselang Morgan mendapat perlakukan yang tak pantas, kini berubah menjadi kebahagiaan. Tak jadi balas dendam, saat itu yang dipikirkannya adalah bagaimana mencari kerja dengan ijazah SMA, tak lagi menjadi kondektur. Seperti kebetulan, dia datang ke kantor Depnaker. Disana dia menyaksikan sekumpulan orang lagi memperhatikan papan pengumuman. Ternyata, orang banyak itu sedang melihat pengumuman tes pegawai negeri sipil (PNS). Morgan baru teringat, setelah lulus SMA beberapa bulan sebelumnya, dia sempat melamar ke Kementerian Keuangan. Lalu, Morgan pun membuka dompetnya mencari fomulir tanda nomor penyerahan berkas lamaran. Kertasnya sudah lapuk, tetapi tulisannya masih bisa terbaca walau sudah kabur. Dan ternyata, namanya termasuk yang lulus.

Sukacita yang tak terkira itu pun dia beritahu pada kakaknya. Oleh kakaknya menyampaikan kepada bapaknya. Atas diterima jadi PNS, oleh kakaknya mengundang seluruh keluarga dekat Lumban Batu menggelar syukuran. Saat diawal-awal di terima departemen ini, Morgan menyebut salah satu yang berjasa di awal karirnya, Ir Humuntar Lumban Gaol. “Waktu itu beliau sudah menjadi pejabat, saat saya diterima di Departemen Keuangan. Ada keluarga yang kenal beliau menceritakan tentang saya, lalu saya dipanggil ke kantornya. Beliau waktu itu menulis catatan kecil untuk saya sampaikan pada seorang temannya,” kenang Morgan. Tentu bukan nepotisme, tetapi dulu cara demikian mujarab.

Setelah diterima menjadi PNS, Morgan memanfaatkan waktu sembari kuliah Universitas Krisnadwipayana di Jalan KH Mas Mansyur Tanah Abang, Jakarta Pusat, sebelum pindah tahun 1979 pindah ke kampus yang terletak di Jalan Jatiwaringin, Jakarta Timur sekarang ini. Tanpa harus meninggalkan pekerjaan, kuliah malam. Cita-cita jurusan ekonomi sebagai jalan karier yang mulai ditatanya.

Sikap memotivasi

Dia meniti karir dari level yang paling bawah. Berbagai tugas pernah diterimanya selama mengabdi di Kementerian Keuangan yang kemudian dialihkan ke Kementerian BUMN. Karirnya pun terus menanjak hingga menduduki posisi Asisten Deputi Bidang Usaha Industri Primer I Kementerian BUMN. Beberapa jabatan komisaris BUMN pernah diembannya, termasuk pernah menjadi komisaris di PT Kertas Kraft Aceh (KKA) dan PT Perkebun (PTPN) V Riau. Sejak tahun 2012, Morgan dipercayakan menjabat Direktur Keuangan Perum Perhutani. Dan, tahun 2015 dipercayakan menjadi Direktur Sumber Daya Manusia. Sebuah jabatan karier prestisius bagi seorang anak desa. Jabatan yang penuh tantangan, karena mesti terus mengembangkan potensi, sumber daya manusia yang ada di Perum Perhutani.

Sementara untuk mengembangkan diri, dia terus mengasah diri lewat membaca dan membangun relasi. Dia terus mengupgrade diri. Sadar bahwa tak mungkin pencapaian langsung dapat melejit tanpa gigih dan belajar terus-menerus. Sebagai seorang pemimpin di perusahaan negara, dia juga telaten membangun hubungan relasi dengan tokoh-tokoh nasional. Termasuk, misalnya, ketika Dahlan Iskan menjadi Menteri BUMN, Morgan selalu belajar pada para seniornya. Namun, di balik itu semua dia tak lupa membantu banyak orang. Sikapnya memotivasi. Sebagai seorang yang sudah menikmati pencapaian mesti membagikan, mentransfer pengalaman pada orang-orang muda. Sikap memotivasi itu, termasuk mendatang ke sekolah-sekolah di kampung halamananya.  Memotivasi para pelajar, upayanya untuk memberikan semangat bagi mereka agar tekun dalam menggapai cita-cita.

Morgan berharap agar kelak makin banyak lagi putra-putri Humbang Hasundutan yang termotivasi untuk menjadi salah satu pemangku kepentingan di negeri ini. Selain memberikan pendidikan dan motivasi terhadap pelajar, dia juga tak lupa memberikan bantuan ke sekolah berupa peralatan pendukung pendidikan seperti LCD proyektor, dan buku-buku. Selain itu, juga dia juga menyantuni, memberi beasiswa bagi pelajar setingkat SLTA terbaik dari Humbang Hasundutan.

Lalu, apa yang mesti dimiliki untuk bisa eksis berkarier dimanapun? Sarannya, sebagai seorang yang menata karier mesti memiliki kredibiltas. “Kredibilitas adalah atribut yang susah diperoleh. Dan itu adalah kualitas manusia yang harus terus dikembangkan. Ini diperoleh menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tetapi, ini bisa hilang dengan sekejap kalau tak dipelihara. Seorang pengikut bisa memaafkan ketidaktepatan janji pemimpin, salah omong, keseleo lidah, tindakan yang kurang hati-hati atau beberapa kesalahan penting,” sembari menambahkan. “Akan tetapi, akan tiba saatnya ketika batas kesabaran seorang pengikut apabila ketidak-konsistenan berlangsung terus-menerus. Disitu pemimpin kehilangan kredibilitas, dan amat susah untuk mendapatkannya kembali,” ujar jemaat Gereja Santo Yakobus, Paroki Kelapa Gading, Jakarta Utara ini.

Tak ada yang mengira bahwa Morgan semula hanyalah seorang anak desa, pernah menjadi kondektur. Dan, sekarang menjadi direkur sebagai pengemban potensi Sumber Daya Manusia di Perum Perhutani. Semua tahu bahwa pada bidang SDM seluruh kemampuan atau potensi perusahaan dapat diberdayakan. Sesuatu tugas yang tak gampang, tetapi karena kasih Tuhan semuanya indah pada waktunya, dan baik diembannya. “Tak ada impian yang tak akan terwujud jika kita menggandalkan Tuhan. Mari syukuri hidup ini,” katanya takzim. Sebagaimana kutipan di facebooknya: “Pergi ke pasar membeli bubur. Bubur dibeli untuk sarapan. Jika kita banyak bersyukur, rejeki akan ditambah Tuhan.” Hojot Marluga

Belajar Hidup Lir Air