Jack Marpaung


Jack Marpaung Jack Marpaung-3“Di Kamar 13 Hutobus Dosaki” Oleh: Hotman J. Lumban Gaol Namanya pernah menghiasi pentas hiburan nasional dengan grup musiknya, Trio Lasidos. Di jagat tarik suara, Jack Marpaung tidak asing lagi. Dia memang bukan Jack Brown aktor film-film romantis itu. Jack punya talenta beryanyi. Suaranya yang melengking, karangannya berjubel. Jack, cukup dikagumi di musik Batak, tak heran banyak pengemarnya. Ciri khasnya memang susah dilupakan. Salah satu lagunya yang terkenal itu: Kamar 13. Sebuah lagu yang berkisah tentang pengalaman dipenjara. Sesungguhnya syair itu memiliki makna, cerita sungguhan. Dulu, anak Siantar ini memiliki masa lalu yang kelam. Sebelum namanya terkenal. Jack pernah terjerembab pada kubangan dosa narkoba dan minuman keras. Dunia hiburan yang melambungkan namanya, tetapi dunia itu juga membawanya ke jurang kehidupan terlarang. Sesungguhnya kehidupan yang keras dia jalani oleh karena sikap orangtuanya yang kurang mengerti mendidik anak. Ayahnya seorang tentara, mendidiknya terlalu keras. “Orangtua saya keras. Sewaktu kita masih kecil kalau rumah kotor, bapak marah. Dia ambil sapu, saya disuruh duduk langsung dihajar. Itu saya alami berulang-ulang. Saya tidak nyaman di rumah, saya lalu mencari kenyamanan di luar,” ujarnya, mengingat masa lalunya itu. Itu sebabnya saya tidak pernah betah di rumah, kata Jack. “Sejak kecil hingga remaja saya tidak betah tinggal di rumah. Saya memilih hidup di jalanan bersama teman-temannya. Ganja menjadi pelarian hidup saya ketika itu. Perkelahian adalah pelampiasan emosi. Hal itu terus berlanjut hingga dewasa. Saya kemudian memilih meninggalkan rumah, dan hidup di terminal. Bergaul dengan para preman-preman membuat saya semakin keras. Bahkan pada aparat pun tidak takut.” Kekasaran Jack makin menjadi-jadi. Satu waktu, tatkala bermain dengan teman-temannya. “Satu waktu, saya kalah main gundu, saya pukul orang itu. Lalu, ada orang mengadu ke ibu saya. Ibu saya ambil sapu, saya dihajar sampai sapu itu patah. Habis itu baru bapak saya ganti pukul saya,” kenang Jack. Sejak itu, Jack mengisi kehidupannya di terminal. Terminal menempanya menjadi laki-laki keras, tak jarang berkelahi, itu kerap kali membuat Jack dan temannya berurusan dengan aparat. Satu waktu, ada temannya tertakap polisi karena berkelahi. Teman Jack dipukuli polisi. Tak terima perlakukan itu, Jack kemudian dia datang sambil menghunuskan golok ke arah polisi. “Saya kejar polisi dengan golok. Polisi lalu mengambil pistol dan menembak saya,” ujar Jack. Perut Jack terkena timah panas, akibatnya dia tidak sadar diri. Sukurlah dia lolos dari maut. Meskipun demikian, lolos dari maut tetapi Jack tidak lolos dari jerat hukum, dan akhirnya dibui. Walau sudah beberapa lama mendekam di penjara orangtuanya tidak pernah melihat Jack. “Orangtua saya sudah tidak peduli lagi. Walau sudah dipenjara tidak pernah besuk saya sama sekali. Saya sudah dianggap tidak berharga lagi,” tambahnya lagi. Bebas dari bui membuat Jack dan teman-temannya jera. Dan kemudian melihat jalan lain untuk kehidupan. Jack bersama teman-temannya mencoba mengubah jalan hidup dengan mengejar impian untuk menjadi penyanyi di Jakarta. Sesampainya di ibukota itu, harapan mengubah nasib ternyata jauh panggang dari api. Jakarta bukan seperti yang diharapkan. Di Terminal Grogol, Jack memulai hidupnya di Jakarta, mencoba menaklukan ibu kota. “Ketika itu harapan kami Jakarta menjanjikan. Namun, begitu sampai Jakarta, saya ingin pulang. Rasanya tidak seperti yang saya bayangkan,” kenangnya. “Hidup gelandangan pun kita jalani. Bahkan, hampir terjerumus melakukan tindak kejahatan. Saya naik bus, lalu saya melihat ada uang di kantong orang. Kalau saya ambil pasti bisa, tetapi saya terbayang kembali janji kepada orangtuaku. Saya langsung turun dari bis itu supaya jangan tergoda dan melakukan hal itu,” ujarnya lagi. Tak tahan hidup di terminal. Jack dan teman-temanya mengubah perutukkan nasib. Jack bersama teman-temannya, kemudian mencoba menawarkan jasa menghibur lewat suara ke hotel-hotel. Ternyata itu pun bukanlah sesuatu yang mudah. Penolakan demi penolakan mereka alami.“Berkali-kali kami ditolak sebelum diterima menjadi pengisi acara di cafe-cafe hotel. Satu tahun baru dapat pekerjaan di Hotel Borobudur. Sejak saat itulah berdatangan undangan mengisi acara. Semenjak itu juga mereka bentuk Trio Lasidos [Trio Lasidos personilnya Hilman Padang, Bunthora Situmorang dan Jack sendiri. Trio ini digandrungi anak muda di tahun 80]. Ketika meniti karir sebagai penyanyi dari satu hotel ke hotel. Jack bertemu dengan seorang perempuan cantik yang memikat hatinya, bernama Anita, yang kemudian hari menjadi pendamping hidupnya. Dan untuk menikahi Anita pun bukan proses yang mudah, karena ayah mertuanya menolak punya menantu seorang penyanyi. Tetapi, bukan pemuda Siantar namanya kalau tidak nekat, akhirnya, Jack dan Anita nekat kawin lari. Sejak berkeluarga Jack pun mulai makin bersinar. Tawaran kepada Trio Lasidos untuk rekaman pun makin padat. “Kaset saya meledak, saya mulai sombong. Mulai sudah merasa hebat. Show dari satu daerah ke daerah lain, kadang-kadang satu bulan di daerah, dan kita ngga pernah pikirkan istri dan anak.” Tidak hanya melupakan keluarganya, Jack pun mulai terlena dengan popularitas dan hidup dalam pesta pora. Minuman keras dan narkoba menjadikan Jack semakin lupa diri. Pulang pagi dalam keadaan mabuk menjadi bagian dari kesehariannya. Percecokan suami-istri kerap kali terjadi. Bahkan, bahtera rumah tangganya di ambang kehancuran. Walaupun sudah berkali-kali diingatkan istri agar Jack jangan lagi mabuk. Dia tetap saja mabuk-mabukan. Beruntunglah Jack punya istri yang sabar dan tabah menghadapi kelakuan Jack. Istrinya menjadi tiang doa. Sang istri tak jemu-jemunya berdoa, dan istinya tetap bertahan, walau Jack sudah memintai cerai saja. Karena tidak ingin melihat Jack hancur, istrinya selalu berdoa. Saat pulang dalam keadaan mabuk, tanpa setahu Jack, sang istri selalu mendoakannya. Itu berlanjut terus hingga doa istrinya dijawab Tuhan. Satu waktu, tahun 1987, berita Jack tertangkap polisi. “Berita saya ditangkap polisi karena membawa ganja 100 kilo di Jakarta sudah, beritanya gempar. Karena berita itu, anak saya [Dewi Marpaung-artis] telepon ke saya sambil menangis. Papa dipenjara iya? nggak, saya lagi di hotel, kata saya. Di sini sudah tersebar berita bapa disebut dipenjara.” Inilah kehidupan seperti roda pedati, yang kadang di atas kadang di bawah. Saat Jack kembali ke Jakarta dia menemukan sebuah kenyataan yang pahit, semua shownya telah dibatalkan, bahkan semua karangannya tidak dipakai produser. Kejadian  itu, membuat Jack bersolo karir. Sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya. Waktu itu, tidak ada pemasukan sama sekali, cerita Jack. Istrinya kemudian membantunya berbisnis. Namun malang, seperti sudah jatuh dari tangga tertimpa pula pula. Bisnis itu bangkut karena mitranya menipu. Akibatnya hutang pun melilit keluarga Jack dan memaksa Jack harus menjual mobil dan rumah. Sejak saat itulah Jack memutuskan bertobat. Lagu Di Kamar 13 Hutobus Dosaki…. [di kamar 13 ini kutebus, kujalani hukumanku] menemukan maknanya, kata lain bertobat. Berlahan Jack melepaskan keterikatan dengan narkoba. Hubungannya dengan Tuhan pulih. Hubungannya dengan istrinya kembali bersemi. Sejak itu pertobatan itu, dia bersama istri dan anak-anaknya semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. “Sekarang saya sudah meninggalkan hidup yang pana. Sekarang hidup ini saya sukuri. Saya menikmatinya. Damai sejahtera, sukacita yang belum pernah saya rasakan sebelumnya, saya rasakan sekarang. Berjalan bersama Yesus benar-benar mengubah jalan hidup saya,” ujarnya.  

14 tanggapan untuk “Jack Marpaung”

  1. Mantap lagunya bah! Aku suka lagu ” Tu Jolom O. .Debata ” dohot ” Marhamonangan Ahu ”. . . . .

    Salam Hutajulu;;;

  2. KEHIDUPAN DULU YG KELAM AKAN BERAKHIR BAHAGIA DAN DAMAI JIKA KITA KENAL DAN PERCAYA KEPADA YESUS

Tinggalkan Balasan ke junjungan nainggolan Batalkan balasan